Beato Alojzy Liguda, SVD (1898-1942): Misionaris di Kamp Dachau

205
Beato Alojzy Liguda, SVD/https://pbs.twimg.com/

HIDUPKATOLIK.COM – “Kamp Dachau dapat saja merampas hak asasi saya, tetapi kehormatan saya sebagai anak Allah tidak dapat diambil oleh siapapun,” ujarnya BeatoAlojzy Liguda, SVDsuatu ketika.

Rumahnya memang tidak jauh dari paroki sekaligus rumah misi milik Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah/SVD). Setiap hari ia sering bermain di halaman rumah misi dan bertemu para pastor yang siap bermisi ke belahan dunia.

Pastor Bronisław, SVD menceritakan, suatu hari rekannya Pastor Krzysztof, SVD yang baru kembali dari misi di Amerika Latin meminta AlojzyLiguda untuk membeli sebungkus rokok di sebuah toko yang tak jauh dari rumah misi itu. Karena belum tahu harga sebungkus rokok, Pastor Krzysztof memberi uang yang dirasa cukup ternyata kurang. Demi menjaga nama baik pastor, remaja 12 tahun itu rela mengutang sisa harga rokok tersebut. Keesokan harinya,penjual rokok menagih sisa utang kepada orang tua Alojzy.

“Saya tahu ayahnya begitu marah kepada Alojzy. Sang ayah tidak tahu bahwa utang rokok itu karena uang kurang yang diberikan Pastor Krzysztof. Sampai Pastor Krzysztof berpindah tugas ke Jerman, rahasia ini tidak diberitahunya, hanya disampaikan kepada penjaga rumah misi bernama Ludwik yang kemudian diberitahukan kepada kami,” cerita Pastor Bronisław mengingat masa kecil Beato Alojzy Liguda, SVD.

Altar Misa

Sejak kecil, Alojzy sudah berkeinginan menjadi seorang imam. Hal ini terbukti dari kehidupan rohaninya. Dalam beberapa cerita yang berkembang di wilayah Opole, Polandia, Alojzy senang menyusun batu menyerupai altar di belakang halaman rumahnya untuk memimpin Misa. Ia mengambil baju putih sang ayah secara diam-diam untuk dikenakan sebagai pengganti jubah lalu merayakan Misa.

“Sering ia mengajak teman-temannya untuk menyaksikan aktivitas Misa yang ia buat. Dengan senang teman-teman menurutinya sebab ia akan membagikan biskuit coklat untuk mereka sebagai ganti hosti. Sebelum pulang ia memberikan berkat tanda salib kepada mereka di dahi dan setelah itu meminta mereka untuk kembali lagi besok di waktu yang sama,” cerita Pastor Mikolaj Ralph, temannya di masa kecil.

Alojzy lahir dari keluarga sederhana di Winów, Nysa, dekat Opole, Polandia pada23 Januari 1898. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini memiliki pengaruh besar kepada kehidupan rohani keluarga Liguda. Entah kenapa, sang ibu selalu memberinya kesempatan untuk mengikuti Misa setiap pagi di parokinya yang tak jauh dari rumahnya. Pada Pukul 05.00 subuh ia sudah bangun ke gereja dan membantu Kepala Paroki Pastor Nicolas Pawel, SVD untuk menyiapkan perlengkapan Ekaristi. Sering ia menjadi misdinar bagi sang pastor. Tugas ini ia jalani hingga menerima Komuni Pertama.

Ia mengungkapkan:“Betapa gembira hatiku, saat mengetahui bahwa Tuhan bersemayam di hatiku. Aku tidak punya alasan lagi untuk melupakan Tuhan dalam Ekaristi. Bila ingin memahami misteri terbesar dalam hidup kita, pergilan ke Ekaristi, santaplah Tubuh Kristus dan biarkan misteri-Nya menjadi nyata dalam hidup.”

Kedekatannya dengan para Pastor SVD membuat Alojzy begitu bersemangat menjadi imam. Ketika menyampaikan ketertarikan hatinya pada imamat, para imam yang berada di rumah misi SVD begitu senang. Mereka terbuka membantunya untuk masuk Seminari Menengah di Polandia. Pada usia 15 tahun, Alojzy sudah menjadi seorang seminaris. Tapi perjalanan imamat seorang Alojzy terbilang tidak mudah. Perang Dunia I (1914-1918) menghentikan pendidikannya.

Seminaris teladan dengan kemampuan Bahasa Latin dan Jerman yang baik ini harus mengikuti Dinas Militer dan terlibat dalam pertempuran di Flanders dan di Prancis. Dalam dunia peperangan iniia sering menguatkan banyak tentara yang sakit dan tidak punya harapan hidup. Hingga akhirnya setelah perang usia, ia kembali ke Nysa, Polandia untuk studi lanjut.

Misionaris Teladan

Tahun 1920, ia diterima di Novisiat SVD St. Gabriel di Austria. Masa pendidikannya berakhir dengan ditahbiskan imam tahun 1927 dengan mengambil moto, “Karena itu pergilan, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman,” (Mat. 28:19-20).

Moto ini diambilnya dari sebuah harapan untuk ingin bermisi ke negeri Cina dan Papua Nugini. Ia ingin mengalami cinta Tuhan di tempat misi yang menurut cerita masih sulit kehadiran ajaran Kristus. “Papua Nugini adalah cita-cita dalam misiku. Aku ingin makan bersama mereka, menari, dan hidup di alam dengan para domba di sana. Tapi itu tidak tercapai sebab para pembesar menempatkanku di Polandia,” ujar Pastor Alojzysuatu ketika.

Tahun 1926, formatornya menulis: “Kemampuan intelektualnya sangat baik. Ia cocok untuk mengajar sebagai dosen. Ia sejak dahulu sudah diarahkan ke bidang ini.” Demi memperdalam bidang intelektualnya, tahun 1920 ia diterima belajar Sastra Polandia di Universitas Poznan hingga ke gelar Master dan menjadi guru di Seminari Menengah Gorna Grupa. “Ia sangat menyukai profesi ini. Para siswanya senang dengan pengajarannya. Caranya bergaul juga sangat baik sehingga ia dipilih sebagai rektor Seminari Gorna Grupa,” ujar rekan imamnya Pastor Karol Wojciech.

Di samping mengajar, Pastor Alojzy juga membantu memberikan retret. Ia juga seorang bapa pengakuan untuk beberapa komunitas religius. Sejumlah renungan dan khotbahnya diterbitkan sebagai buku yang sangat terkenal untuk kaum muda. Dalam karya-karyanya di Gorna Grupa, ia menerbitkan buku Audi Filia (Dengarkan, Wahai Putri), sebuah kumpulan khotbah hari Minggu untuk siswi-siswi sekolah menengah. Buku ini menjadi best seller di bidang homiletika. Menyusul dua buah buku yang lain, yakni Chleb i Sol (Roti dan Garam) dan Naprzod i Wyzej (Maju Terus dan Lebih Tinggi Lagi).

Selain perhatiannya terhadap pembentukan hidup religius, ia menaruh minat khusus dalam bidang kerasulan kaum muda. Pembawaan serta latar belakang pendidikannya membantu dia bisa berkomunikasi secara baik dengan kaum muda.

Misionaris Nazi

Tahun 1929, Nazi menduduki Polandia. Rumah SVD Gorna Grupa dijadikan kamp tawanan untuk para imam dan seminaris, termasuk Pastor Alojzy. Tanggal 5 Februari 1940, para tawanan dipindahkan ke sebuah kamp konsentrasi di Gdansk, lalu ke Stuttof dan dan Sachsenhausen, sebelum akhirnya disekap di Kamp Dachau.

Di Kamp Dachau, kemampuannya berbahasa Jerman sehingga ia ditugaskan sebagai penerjemah bagi para tawanan lainnya. Tapi terkadang apa yang diterjemahkan tidak sesuai dengan penyampaian dari tentara Jerman.“Pernah orang meminta saya menerjemahkan arti kalimat bahasa Jerman ke Polandia ‘kalian hari ini harus bekerja.’ Saya dengan sengaja menerjemahkan, ‘hari ini tidak ada kerja’ alias libur.”

Kalimat ini membuat koordinator kamp begitu marah. Ketika dicek kebenaran informasi ini, Pastor Alojzy malah membantah bahwa yang dia dengar adalah ‘hari ini tidak bekerja’ sehingga ia menyampaikannya kepada para tawanan. “Atas dasar kemanusiaan, saya bisa berbohong. Lagian mereka sudah cukup lelah bekerja,” ujarnya menambahkan.

Dalam sebuah kesempatan juga ia menulis, “Orang boleh  memperlakukan saya secara hina tetap tidak sanggup menjadikan saya seorang budak. Dachau dapat saja merampas semua hak asasi saya, tetapi kehormatan saya sebagai anak Allah tidak dapat diambil oleh siapapun.”

Dalam kurun waktu tersebut, ia mengalami kerja paksa, kelaparan, penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, namun kehadirannya merupakan sebuah dukungan bagi tahanan lain. Sikapnya yang tenang dan penuh rasa humor membantu banyak orang untuk menanggung penganiayaan tersebut. Bahkan dalam situasi-situasi yang sangat berat pun ia menemukan kata-kata hiburan atau lelucon untuk diceritakan kepada orang-orang lain.

Pastor Alojzy menghembuskan nafas terakhir pada 9 Desember 1942. Dalam laporan resmi tertulis bahwa Pastor Alojzy meninggal karena pneumonia, tetapi sejumlah saksi mata mengatakan dirinya meninggal karena ditenggelamkan dalam bak berisi air.

Pastor Alojzy Liguda, SVD dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada 13 Juni 1999 bersama 108 martir Perang Dunia II yang berasal dari Polandia.

 Yusti H. Wuarmanuk

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini