Sukacita Keluarga, Sukacita Gereja

342
Pasutri yang hadir sebagai peserta Konferensi Keluarga yang diselenggarakan Diskateri Awam, Keluarga, dan Kehidupan di Vatikan, 24 Mei 2019.

HIDUPKATOLIK.COM– Pandemi Covid-19, perkembangan zaman dan modernitas ikut menciptakan masalah pelik yang menggerogoti kehidupan keluarga. Keluarga diminta berjalan bersama Gereja dalam sukacita.

PADA tanggal 27 Desember 2021, tepat pada Pesta Keluarga Kudus, Paus Fransiskus mencanangkan tahun khusus yang didedikasikan untuk meningkatkan jangkauan pastoral terhadap keluarga. Penetapan ini mengacu pada Seruan Apostolik Amoris Laetitia. Tahun Keluarga Amoris Laetitia dimulai pada 19 Maret 2021 bertepatan dengan Hari Raya St. Yusuf, di hari yang sama, lima tahun lalu Paus Fransiskus menandatangani Seruan Apostolik tersebut.

Surat bertemakan “Kasih dalam Keluarga” itu dirilis sekitar tiga minggu setelah penandatangannya. Meskipun disebut sebagai “tahun”, perayaan Amoris Laetitia sebenarnya akan berlangsung sekitar 15 bulan karena akan berakhir pada 26 Juni 2022.

Kepada keluarga, Paus Fransiskus meminta agar Gereja lebih memahami kenyataan moderen. Dokumen ini tidak mengubah doktrin ajaran Katolik tetapi membuka jalan bagi para uskup di masing-masing keuskupan agar menafsirkan doktrin sesuai dengan budaya dan perkembangan zaman.

“Ini akan menjadi tahun refleksi pada Amoris Laetitia. Saya mengajak semua orang untuk mengambil bagian dalam refleksi tahun ini yang akan dikoordinasikan oleh Diskateri bagi Kaum Awam, Keluarga, dan Kehidupan,” ujarnya, Maret 2021.

Harapan dan Kekhawatiran

Di Indonesia, Ketua Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia, Mgr. Christophorus Tri Harsono menjelaskan, dokumen sembilan bab ini memuat pandangan Paus tentang kehidupan keluarga, perkawinan, kontrasepsi, dan cara membesarkan anak.

Mgr. Christopher Tri Harsono   

Pandangan Paus Fransiskus ini berdasarkan jawaban keluarga-keluarga Katolik di seluruh dunia tentang harapan dan kekhawatiran mereka. Dalam Sinode Keluarga di Roma tahun 2014 atau Sinode Biasa Para Uskup tahun 2015, pada dasarnya persoalan-persoalan utama yang mencuat, misalnya terkait menawarkan Komuni kepada pasangan yang bercerai maupun pasangan yang menikah dua kali, penggunaan kontrasepsi, dan perlakuan atas umat Katolik yang lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Menurut Mgr. Tri Harsono, berbagai masalah yang melanda kehidupan keluarga dewasa ini begitu kompleks. Perkembangan di berbagai bidang kehidupan sedikit banyak telah membentuk karakter dan identitas keluarga dalam mengarungi hidup sebagai satu komunitas basis. Mentalitas konsumtif menjadi ciri khas keluarga-keluarga moderen. Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana dunia moderen dengan segala instrumennya telah memberi perubahan yang luar biasa terhadap seluruh aspek hidup keluarga.

Senada dengan itu, Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Alexander Erwin Santoso, MSF dalam seminar “Perkawinan dalam Pandangan Gereja Katolik”, Agustus 2020, menjelaskan Gereja tidak menutup mata atas fenomena modernitas ini. Gereja menyadari kemajuan yang terjadi dalam dunia adalah hasil kemampuan serta kecerdasan manusia yang diyakini sebagai rahmat dari Allah.

Masalahnya adalah ketika manusia berkontak dan mengalami perubahan, kerap kali tidak menempatkan diri secara benar dan bijaksana. Ketidakmampuan ini pada akhirnya menimbulkan masalah pelik yang menggerogoti setiap aspek kehidupan manusia termasuk keluarga. “Perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, seks bebas, bahkan sikap koruptif adalah rentetan masalah yang lahir dari kelemahan manusia,” kata Pastor Erwin.

 Perhatian Gereja

Di tengah situasi demikian, keluarga sebagai sel terkecil dari komunitas sosial hendaknya merefleksikan kembali makna serta arti terdalam dari panggilannya. Gereja, lewat Diskateri untuk Awam, Keluarga, dan Kehidupan, mengajak keluarga-keluarga Katolik untuk mampu membaca dan menafirkan tanda-tanda zaman serta menyuarakan suara kenabian melalui sikap hidup dan tindakan-tindakan nyata.

Sekretaris Diskateri, Gabriella Gambino menyebutkan tahun ini akan sarat dengan ragam program mengingat banyak keluarga Katolik di belahan dunia sedang mengalami krisis, menderita kemiskinan, atau merasa sendiri. Banyak keluarga yang membutuhkan perhatian Gereja dan sapaan para gembala. “Mereka sedang berteriak karena tekanan ekonomi, sosial, budaya, dan perkembangan zaman yang merongrong moral dan etika keluarga-keluarga Katolik,” sebutnya.

Diskateri menawarkan kepada keluarga Katolik program membantu ekonomi pascapandemi, melindungi martabat keluarga lewat pembinaan keluarga-keluarga muda, membuat pedoman persiapan perkawinan, program-program pelatihan yang berfokus kepada keluarga prasejahtera di berbagai negara, diberi perhatian khusus dengan keterampilan kepada suami istri yang tidak memiliki kemampuan, kepada suami istri yang disabilitas. Memberikan pendidikan kepada anak-anak dalam keluarga agar menemukan makna hidup mereka.

“Program-program ini akan dibicarakan dalam Pertemuan Keluarga Katolik Sedunia dan berharap dari pertemuan itu banyak orang diselamatkan dan mencapai tujuan utama dalam membangun keluarga,” tutur Gabriella.

Program Pastoral

Menjawab program-program diskateri, Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus menyebutkan Gereja perlu membantu keluarga agar bisa menemukan dalam berbagai penderitaan hidup, ada Kristus yang hadir. Di tahun keluarga ini, Gereja harus menjangkau keluarga-keluarga khususnya keluarga yang terpinggirkan, kecil, dan tak memiliki akses dalam banyak bidang.

Mgr. Agustinus Agus

Melihat hal itu, di Keuskupan Agung Pontianak (KAP), para pastor paroki diajak memberi “napas panjang” kepada keluarga-keluarga Katolik yang napas kekatolikannya mulai “ngos-ngosan”. Hal ini ditujunjukan dengan ragam program seperti menyelenggarakan pendidikan dan pendampingan bagi keluarga-keluarga Katolik. Ada pendampingan khusus bagi keluarga-keluarga Katolik di bawah lima tahun.

Dalam Surat Gembala Aksi Puasa Pembangunan 2020, KAP mengangkat tema, “Membangun Kehidupan Ekonomi Keluarga yang Bermartabat”. Menindaklanjuti tema ini, salah satu program pengembangan adalah di beberapa paroki diselenggarakan aksi sosial beda rumah warga prasejahtera. Ada juga bantuan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu.

Hal yang sama terjadi di Keuskupan Surabaya. Uskup Surabaya, Mgr. Vincentius Sutikno Wicaksono menyebutkan, Keuskupan Surabaya memiliki enam biro pelayanan. Biro kerja sama yang menangani kerja sama dengan kelompok kategorial; biro remaja yang menangani penyuluhan remaja termasuk kenalakan remaja, narkoba, dan pacaran; biro persiapan perkawinan menangani pasangan untuk menikah secara Katolik baik spiritualitas perkawinan, psikologis pria dan wanita; biro pasca menikah menangani pembinaan keluarga; biro pembinaan khusus menangani persoalan relasi dalam perkawinan; dan biro lansia dengan ragam program seperti ceramah lansia tentang kesehatan dan kebugaran lansia.

“Biro-biro ini menjawab kebutuhan pribadi sebagi bagian dari keluarga dengan program-program pengembangan yang diharapkan menjawab kebutuhan keluarga. Sebab berkeluarga tidak boleh dipandang hanya sebatas kesepakatan untuk membangun kebersaman hidup demi mewujudkan kebahagian. Lebih dari itu, keluarga adalah tempat dan sarana bagi Allah, untuk menghadirkan diri-Nya dalam aneka pengalaman dan pergulatan hidup berkeluarga,” papar Mgr Sutikno.

Sedangkan Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM menegaskan bahwa keluarga menjadi fokus utama pastoral wilayah kegembalaannya selama pasca pandemi.

Mgr. Adrianus Sunarko, OFM

Menurutnya, pandemi berpengaruh besar terhadap rencana dan pelaksanaan agenda pastoral yang sudah dibuat tahun 2020, yang kemudian mengalihkannya pada keluarga. Karena itu, ada tiga tujuan yang hendak disasar.

Pertama, agar keluarga semakin berpusat pada Kristus. Kedua, agar keluarga semakin membangun dan mengembangkan communio atau persekutuan, terutama agar relasi antaranggota keluarga dan keluarga di sekitar semakin diperkuat. Ketiga, agar keluarga-keluarga dibantu dan didorong untuk melaksanakan misi mewartakan Kerajaan Allah melalui aksi-aski nyata dengan tetap mempertimbangkan situasi saat ini. “Aksi-aksi nyata itu konkretnya adalah saling peduli satu sama lain, saling membantu satu sama lain, baik (dengan yang) seiman maupun sesama yang berbeda keyakinan,” terangnya.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 2, Tahun ke-76, Minggu, 9 Januari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini