Paroki Lubang Buaya, Kalvari, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ): Perjuangan Tanpa Henti

1722
Ki-ka: Kepala Paroki Kalvari Romo John Ferdinand Wijshijer, Gubernur Anies Baswedan, Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo memperlihatkan prasasti yang sudah ditandatangani.

HIDUPKATOLIK.COM – Tidak hanya memperjuangkan IMB, paroki ini terus berkomitmen hadir bagi masyarakat. Sang gembala paroki pun kerap ‘ngronda bareng warga.

SENYUM merekah menghiasi setiap wajah umat Paroki Lubang Buaya, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) pada Selasa, 21/12/21. Semuanya menunggu dengan hati penuh harap dan sukacita. Merekahnya senyuman ini merupakan luapan kebahagiaan yang dirasakan setelah menanti puluhan tahun untuk menerima Izin Mendirikan Bangunan (IMB) secara definitif. Di samping tebaran senyuman yang menghiasi wajah tiap insan, didirikan juga tenda bernuansa merah putih tanda dihormatinya semangat kebangsaan yang mencintai toleransi dan menghargai pluralisme.

Di dalam tenda itu, telah terjadi sebuah sejarah besar bagi paroki yang terletak di Jalan Masjid al Umar No.1B, RT1/RW12, Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur ini. Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Rasyied Baswedan memberikan IMB kepada Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo disaksikan Kepala Paroki Lubang Buaya, Romo Johan Ferdinand Wijshijer dan khalayak ramai baik secara luring maupun daring. Tidak hanya itu, Anies bersama Kardinal Suharyo meletakkan batu pertama bagi pugar bangun Gereja Kalvari kelak. Peletakan batu pertama ini juga dilakukan oleh K.H. Abi M.Syakrim, K.H. Ibnu Mulkan, dan K.H. Asy’ari Akbar.

Meski hati riang, di balik sukacita itu tersemat semangat perjuangan yang tiada henti, peluh yang bercucuran, dan air mata yang tak sedikit terurai. Kerja keras tahap demi tahap mereka lakukan untuk meniti puncak impian.

Dengan diberikannya IMB secara definitif, perjuangan mereka memiliki gereja yang layak, yang memberikan rasa aman karena dalam kurun waktu beberapa tahun ini perasaan waswas melingkupi. Ada ketakutan jika sewaktu-waktu atap ambruk akibat kayu yang telah lapuk dimakan usia dan banjir yang kerap kali menggenang berhari-hari.

Awal Perjuangan

Kepala Paroki Kalvari yang akrab disapa Romo Fe mengisahkan, proses menerima rahmat IMB ini melalui proses panjang dan berliku. Dimulai dengan meneguhkan kembali semangat umat Kalvari yang sempat terpuruk lalu menjadi takut akibat penolakan warga sekitar 10 tahun yang lalu. Sebelum ditetapkan berdiri berdasarkan Dekrit KAJ  tanggal 1 Juli 1995, paroki ini berawal dari pemekaran Paroki Cililitan, Jakarta Timur.

Pada bulan Juni 1979, Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr. Leo Sukoto, SJ mendukung pemekaran. Dari situ, Kepala Paroki Cililitan saat itu, Romo Muji Santara, SJ membentuk “Panitia Sementara Pembangunan Gereja Pondok Gede” dan Stasi Pondok Gede berdiri.

Kala itu, Misa diadakan sebulan sekali di rumah seorang umat, R. Soerodjo dan kemudian meminjam tempat di aula Komplek Kologad, TNI Angkatan Darat, Pondok Gede.

Pada tahun1918, KAJ melalui Paroki Cililitan memberi lahan sekitar Lubang Buaya, di samping Sungai Sunter yang berbatasan dengan Pondok Gede, Bekasi, di sebelah lahan yang lebih dahulu dibeli KAJ melalui Yayasan St. Markus untuk Sekolah St. Markus II.

Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1987, Romo Muji memberi nama umat di Pondok Gede dengan nama Kalvari. Tanggal 4 April 1993, Gereja Bedeng Kalvari yang dipimpin Romo Arko Sudiono, SJ diberkati oleh Mgr. Leo. Hingga keluarlah dekrit tersebut dan paroki menetapkan pesta nama akan diadakan setiap tanggal 14 September saat Pesta Salib Suci.

Dalam perjalanannya, tongkat kegembalaan beralih. Semula oleh para Jesuit lalu kepada Kongregasi Oblat Maria Immaculata (OMI). Sosok imam asal Australia, Romo Peter Subagyo, OMI adalah gembala yang paling populer melayani umat saat itu.

Tahun 2006, OMI menyerahkan kembali tongkat penggembalaan kepada KAJ. Uskup Agung Jakarta menyerahkannya kepada para imam projo. Berturut-turut para imam yang melayani Kalvari, pertama, Romo Hadi Nugroho. Ia membangun tembok dinding gereja sehingga bisa menggunakan AC. Kedua, Romo Martinus Hadiwiijoyo yang membangun pelayanan kunjungan rumah umat. Ketiga, Romo Yustinus Ardianto yang  merenovasi Gereja Katarina, TMII dan interior serta panti imam. Keempat, Romo Fe yang berjuang gigih mewujudkan gereja untuk memiliki IMB.

Romo Johan Ferdinand Wijshijer

Mengerahkan segala daya upaya, Romo Fe bersama Dewan Paroki Harian (DPH), Dewan Pastoral Paroki (DPP), khususnya Panitia Pembangunan Gereja (PPG) berusaha untuk meneguhkan kembali semangat umat.  Berbekal petuah Kardinal Suharyo bahwa umat Katolik harus bisa menunjukkan kepada sesama warga adalah orang baik. Identitas pengikut Kristus dikenal lewat kasih.

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, umat paroki ini diajak untuk menjalin kerja sama dengan Gereja Kristen dan terutama dengan warga Muslim di sekitar gereja. Membantu masyarakat sekitar dengan berbagi sembako gratis atau murah pada perayaan Natal, HUT Paroki, Paskah dan peristiwa istimewa lainnya. Di saat pandemi, pemberian sembako kepada masyarakat dilakukan. Paroki juga turut memberikan dana santunan pendidikan secara perorangan kepada warga Gereja maupun warga non-Katolik yang membutuhkan bimbingan belajar gratis.

Secara rutin, Romo Fe mengajak pengurus Gereja melakukan silahturahmi ke rumah warga sekitar pastoran. Sebagai contoh, seorang warga Katolik tetangga pastoran,  Antonius Sunaryo terlibat aktif dengan kehidupan masyarakat. Semakin terinspirasi, pada hari Idul Fitri pengurus Paroki berlebaran dengan warga dan pada Hari Raya Idul Adha menyumbang hewan kurban ke masjid sekitar dan ke pondok pesantren terdekat. Misalnya  Paroki pernah mengadakan pelaksanaan sunatan massal  bekerja sama dengan Pondok Pesantren Minhaajur Rosyiddin dan Pondok Pesantren Nurul Ibad. Keduanya berlokasi di wilayah Kelurahan Lubang Buaya. Tidak berhenti di situ, paroki juga memberikan layanan kesehatan terbaik dengan membuka Klinik Kalvari. Ditangani oleh para dokter dan tenaga paramedis yang adalah umat paroki berdedikasi untuk melayani pengobatan dan pemeriksaan gratis kepada masyarakat sekitar gereja.

Tim Senyap

Agar gerak semakin mulus, dibentuklah “Tim Senyap”. Seperti namanya, tim ini bergerak dibawah radar namun sangat aktif membangun komunikasi dengan para warga, tokoh masyrakat, dan tokoh agama. “Tim melakukan prosedur yang wajar sesuai dengan aturan umum untuk mendapatkan dukungan tanda tangan,” jelas Romo Fe.

Ia melanjutkan, tim ini dimulai dari akhir tahun 2019 dan malahan sangat aktif ketika pandemi mulai merebak di Indonesia. “Mereka bekerja keras mengumpulkan tanda tangan sebab izin prinsip dan IMB definitif bagi pembangunan gereja ini prosesnya sangat panjang dimulai sejak tahun 1993,” imbuhnya.

Saat dua anggota Tim Senyap diwawancarai oleh HIDUP, mereka mengkonfirmasi bahwa benar dinamika kerja mereka tidak banyak diketahui bahkan oleh umat. Wakil Dewan II, F.X. Susilo Hudiono menuturkan bersama rekannya, Anastasia Promosiana dalam tim PPG, merupakan “duet maut” mengenai data dan terjun langsung ke masyarakat. Jika Susilo jago blusukan dan rajin mencari kawan, Promosiana siap membantu dengan melancarkan administrasi berupa surat menyurat. “Kami membaur dengan semboyan ‘dari altar turun ke pasar.’ Semua kalangan harus kami sapa. Inilah yang membuat kami dapat mencapai target tandatangan 60-90,” ungkap Susilo.

Stefanus Yahya Gozali

Keduanya pun sembari mengenang peristiwa tak terlupakan dimulai dari kisah tanggal ajaib. Tanggal 26 Oktober adalah tanggal ajaib itu. Hal ini bermula pada 26 Oktober 2009 saat paroki menerima penolakan berupa tanda tangan dari tokoh agama sekelurahan Lubang Buaya. Ajaibnya, ditanggal yang sama tahun 2021 itu mereka justru mendapatkan tanda tangan dua tokoh masyarakat. “Ini seperti mukjizat bagi kami,” ujar Promosiana diamini Susilo. Proses mendapatkan tanda tangan kedua tokoh ini tidaklah mudah. Agar menyamakan jadwal temu, keduanya bahkan rela bertemu dan berbincang dengan lurah hingga pukul 02.00 WIB. Pengorbanan mereka terbayar. Tanggal 26 Oktober 2021, mereka tidak hanya mendapat tanda tangan lurah tetapi sekaligus camat.

FX Susilo Hidiono

Lebih lanjut Susilo menjelaskan, tim ini mulai berkirim surat dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) pada Oktober 2020, tetapi baru bersurat resmi ketika 20 Februari 2021. Dari situ mereka lebih dalam berproses, meminta tanda tangan dari satu rumah ke rumah. Selama delapan bulan mereka mengurus persyaratan administrasi dan khusus  dengan belajar dari pengalaman sebelumnya serta mencermati setiap prosesnya. Hingga akhirnya tanggal “ajaib” itu tiba. FKUB sendiri memberikan rekomendasi dari tingkat Jakarta Timur sampai Provinisi DKI Jakarta. Diakui, sebetulnya Paroki telah mendapatkan surat pra IMB yang berarti sudah boleh memasang pagar dan peletakan batu pertama pada bulan November. “Ini semua Penyelenggaraan Ilahi,” tegas Promosiana.

Anastasia Promosiana

Meskipun jalan berliku namun keduanya senantiasa bersemangat mengejar cita-cita bersama ini. Keduanya mengaku dikuatkan juga dengan melihat gembalanya, Romo Fe yang terjun langsung bergaul dengan masyarakat. “Romo Fe itu ikutan ngeronda loh,” sebut Promosiana dengan mata berkaca-kaca. Selain itu, ia secara pribadi dikuatkan dengan Kidung Zakharia yang menguatkan umatnya di tengah gempuran pencobaan.

Sementara Susilo memiliki keterikatan batin dengan sejarah berdirinya Paroki yang bermula dari Kologad. Sebagai umat lingkungan Kologad, ia terpanggil untuk meneruskan mimpi dan bertekad mewujudkannya bersama-sama. “Romo boleh pindah paroki tetapi paroki ini harus punya surat IMB,” ungkapnya bersemangat. Perjuangan ini betul seperti mendaki Bukit Kalvari.

Ramah Lingkungan

Pembangunan gereja mengedepankan konsep bangunan ramah lingkungan, sehingga turut memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. “Kami mencoba membangun gereja yang ramah lingkungan ini berarti dia sustain dan green design,” terang arsitek pugar bangun gereja, Stefanus Yahya Gozali.

Ia menjelaskan bahwa dalam perancangan gereja berusaha memenuhi kondisi dasar hijau hampir mencapai 40%. Segala sesuatu yang berkaitan dengan regulasi lingkungan hidup senantiasa dipenuhi secara maksimal.

Di kawasan gerja ini juga disertakan drainase vertikal yang berfungsi untuk menampung genangan air pada saat musim hujan dan menjadi cadangan air pada musim kemarau. “Ke depan, kami akan terus mendorong umat untuk elaborasi bagaimana umat saling ikut menghijaukan lingkungan gereja. Kami juga pikirkan di salah satu sudut menyediakan tempat pembuatan kompos, pengolahan sampah yang mudah-mudahan bisa dikembangkan,” tambahnya.

Selain aspek hijau bangunan, aspek ramah yang diperhatikan adalan desain. Yahya menuturkan desain ramah lingkungan mengarahkan bentuk bangun gereja yang tidak mencolok. Sebab itu, desain gereja ini menghindari desain vertikal. Ia mengaku desain bentuk segitiga terinspirasi dengan falsafah Trinitas. “Ternyata bentuk ini dipandang dari fungsi praktis dan simbolisnya cukup kuat terpenuhi,” sebutnya optimis. Gereja yang akan didesain dengan kapasitas tampungan 800 hingga 1000 umat ini diproyeksikan akan memakan waktu satu hingga dua tahun.

Anies Baswedan pun berharap agar pembangunan berjalan lancar. “Semoga kehadiran gereja baru bukan hanya dirasakan manfaatnya oleh jemaat, tapi juga oleh warga di sekitarnya,” ujarnya. Sebagai model kehangatan bersama, ia berharap pembangunan ini sesuai dengan `3 On` yaitu On Budget, On Schedule, and On Quality.

Felicia Permata Hanggu/Karina Chrisyantia

HIDUP, No. 01, Tahun ke-75, Minggu, 2 Januari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini