HIDUPKATOLIK.COM – ADA dua cerita yang tercecer tentang tamu yang Natalan di rumah saya. Moga-moga ada manfaatnya kalau dibagikan.
Yang pertama tentang Abigail, cucu-keponakan. Usianya sekitar 7 tahun. Kelas 2 di SD Marsudirini, Jalan Pemuda, Semarang.
Pertanyaan saya adalah bagaimana teman-temannya sekelas. Manis-manis? Pinter-pinter? Lucu-lucu? Atau nakal-nakal?
Abigail terdiam. Dia kelihatan bingung. Saya tak tahu mengapa.
Untung, eyangnya masuk ke arena percakapan.
“Bigail belum pernah masuk kelas dan bertemu teman-temannya”.
Saya tersadar. Ini zaman pandemi. Ini era digital. Bigail mengalami keduanya.
Dia belajar dari rumah menggunakan laptop ayahnya. Pantas kebingungan saat ditanya bagaimana suasana kelas dan teman-temannya. Hampir dua tahun dia belajar seperti itu.
Saya membayangkan saat duduk di bangku SD. Masuk sekolah adalah saat-saat bergembira-ria. Berceloteh, bermain, makan-minum dan tentunya duduk manis di kelas, sambil sekali-kali mengganggu teman sebangku.
“Nasib” Abigail jauh berbeda. Tak tahu siapa yang lebih “bernasib baik”, tapi itulah “kehidupan baru” yang dialaminya
Kisah kedua adalah tentang Danan, mahasiswa jurusan Teknologi Pertanian Universitas Soegijapranata, Semarang.
Ini tahun ketiga Danan tercatat sebagai mahasiswa. Status sosial yang membanggakan.
Jawabannya mirip Abigail.
Danan hanya satu semester tinggal di Semarang. Selebihnya tetap di Tangsel dan “hidup nyaman di alam segar”, di rumah orang tuanya. Danan belajar jarak-jauh. Entah bagaimana dia harus praktikum atau kunjungan lapangan.
Abigail dan Danan adalah dua contoh bagaimana cara belajar yang berubah drastis dan dramatis gara-gara “dihajar” pandemi.
Kebetulan, pada saat yang sama, teknologi mengalami revolusi yang datang tak disangka-sangka. Kombinasi keduanya membentuk cara baru dalam belajar. Tanpa hadir, tanpa kelas, tanpa teman, tanpa bergaul, tanpa suka-cita, tanpa bersama-sama.
Tidak hanya “cara” belajar. Materi pembelajaran pun juga gonjang-ganjing. Simak cerita berikut tentang teknisi AC yang jebolan kelas 2 SMTP.
Namanya Tono. Kala itu dia sedang memperbaiki AC di kamar saya. Remot gagal-sambung ke AC. Dia kesulitan mencari sebab-musababnya, apalagi memperbaikinya.
Dia minta waktu untuk “mempelajarinya”. Dibukanya youtube. Dicarinya video yang dengan murah hati memberitahu caranya.
Tak sampai setengah jam, masalah terpecahkan. Remot AC berfungsi kembali.
Tono berhasil memecahkan masalah yang tak pernah dipelajarinya di bangku sekolah atau kursus montir AC. Tak ada guru, tak ada buku, tak ada papan tulis. Sebagai gantinya adalah ponsel dan internet. Hanya sebentar semuanya beres. Abigail, Danan dan Tono adalah saksi hidup yang melakoni proses pembelajaran yang jauh berbeda dibanding sepuluh, lima atau bahkan dua tahun lalu.
Tak hanya anak-didik, semua pihak harus menyadari datangnya perubahan ini. Pihak sekolah (juga kampus), guru, orang tua, perusahaan, organisasi dan masyarakat harus secepatnya menyesuaikannya. Metoda, proses, materi dan kebutuhan sudah sangat berubah.
Dulu, “belajar” hanyalah di sekolah. Sekarang tak harus lagi di dalam kelas.
Dulu, materi pembelajaran mempunyai konstruksi. Ada kurikulum baku dan standar-standar tertentu. Sekarang, jauh lebih cair dan disesuaikan kebutuhan.
Dulu anak-didik mempunyai jenjang yang kaku. Sekarang bisa meloncat sesuai kebutuhan.
Masih banyak daftar perbedaan antara “dulu” dan “sekarang” yang bisa menghabiskan halaman berlembar-lembar.
Dan yang paling memusingkan adalah, kebutuhan di luar sana bisa berubah-ubah tanpa bisa diprediksi sebelumnya.
Pengembangan SDM di perusahaan pun idem dito. Apa yang dialami Abigail, Danan dan Tono persis dialami para karyawan di lapangan atau di kantor. Bedanya, para atasan dan pengelola SDM di banyak perusahaan mungkin tak paham jika transformasi perlu diarungi seperti yang sedang dialami siswa sekolah formal.
Standarisasi kompetensi yang menggunakan metoda seperti yang dipakai 2-5 tahun lampau, hampir pasti tak lagi pas karena tak bisa menjawab kebutuhan yang cepat berganti rupa.
Belajar formal di kelas atau meningkatkan kemampuan di lapangan bukan pilihan dikotomis. Yang pertama punya konstruksi, tentunya lebih tahan lama. Yang kedua punya fleksibilitas, tentunya lebih cepat menjawab kebutuhan. Hanya satu yang pasti, kecepatannya sama-sama tinggi, hingga mudah srempetan satu sama lain seperti di jalan raya.
Pembelajaran di kelas bukan lagi satu-satunya pilihan. Pengembangan diri agar inovatif, bekerja keras, terus belajar dan pantang menyerah jauh lebih dibutuhkan oleh zaman. Yang penting adalah libatkan anak-didik dan anak-buah agar mereka bisa belajar dengan efektif.
“Tell me and I forget, teach me and I may remember, involve me and I learn”. (Benyamin Franklin – 1706-1790, penulis, imuwan, negarawan, diplomat dan politisi Amerika)
P.M. Susbandno, Penulis buku kreatif, Kontributor