“Ibu, Mengapa Mereka Hitam?”

192

HIDUPKATOLIK.COM – Diskriminasi bukan soal perbedaan warna kulit, tapi masalah pola pikir.  

SEORANG ibu dengan puterinya, Sarah,  duduk di bangku panjang sebuah taman.  Mereka berkulit putih.

Di sebelahnya, duduk ibu lain, juga bersama puterinya,  sedang bermain “lumpur putih”.  Mereka berkulit hitam.

Sarah memandang ke arah bangku sebelah, dan tiba-tiba bertanya kepada ibunya.

“Mom, why are they black?”.

Sang ibu terperanjat.  Pertanyaan yang “tidak sopan”. Tetangga duduk  menengok ke arah mereka dengan wajah kecewa dan  tanda tanya.

Sang ibu putih belum juga menjawab.  Sarah mempertegas sekali lagi.  “Ibu, mengapa mereka hitam?”.

“Ketidaksopanan” terjadi kembali.  Wajah kecewa semakin  menggumpal.

Untung, Ibu Sarah segera menguasai keadaan.  Jawaban brilian keluar dari bibirnya

“Ya, mereka hitam, tapi cantik bukan?”

Diikuti oleh penjelasan yang mengesankan.

Pada awalnya Tuhan mencipta manusia berkulit hitam dengan hati yang cantik.  Tuhan sangat mencintai ciptaanNya.

Suatu saat, Dia melintas di sebuah taman.  Dilihatnya seorang anak perempuan yang sedang bermain.   Tangannya yang mungil  penuh dengan lumpur putih.  Puteri hitam sedang membuat boneka berwarna putih untuk teman bermainnya.

Terkesanlah Dia.

Diputuskan-Nya untuk mencipta manusia berkulit putih, agar puteri hitam mempunyai teman bermain.

Ibu putih menutup ceritanya dengan sebuah kalimat yang  menyentuh.

“Inside we all are black.  We all are same”.

Cerita usai.  Kedua puteri cantik, hitam dan putih, bergandengan tangan menuju lapangan hijau yang luas.

Ibu Sarah menarik lapas lega.  Kemanusiaan dan persahabatan yang menang.  Perbedaan pantas dirayakan.

Penonton video tahu itu kisah fiktif, lakon carangan (bukan sebenarnya).  Tapi, sebagai alat pendidikan, drama itu luar biasa.  Cerita happy ending.

Video pendek gubahan Stan Sieradzki berdurasi 3:28 menit itu dibuat tahun 2017.   Sebagai alat kampanye anti rasisme, anti diskriminasi.  Luar biasa. 

Kemudian, timbul pertanyaan yang menggelitik.

“Apakah rasa rasis sudah ada sejak manusia  lahir?”. 

“Apakah bayi sudah membawa sikap diskriminatif?.  Apakah gen atau DNA rasis melekat sejak seseorang dilahirkan?.” 

Is racism −  in the sense of discrimination against “the other” − innate in us?”.   (Gil Diesendruck,  Bar-Ilan University, Psychology  Department).

Membedakan “saya” versus “dia” atau “kami” bukan “mereka” melekat sejak manusia lahir.  Ia merupakan self-defense mechanism,  alamiah, menyertai hidup manusia.  Mekanisme itu diciptakan dan (mula-mula) bermanfaat.

Namun, naluri bisa berkembang liar dan berubah negatif dan kontra-produktif,  “didukung” atau “diperparah” oleh lingkungan sekitarnya.  Masyarakat bisa  “memeliharanya menjadi alat yang berguna” atau “menjerumuskannya menjadi senjata pembunuh”.

Kisah Lain

Derek Chauvin, pelaku pembunuhan George Floyd di Kota Minneapolis, Minnesota, 25 Mei 2020 membuat Amerika Serikat luluh-lantak.  Dia dituduh lahir dan besar sebagai seorang rasis.  Tapi, kisahnya tidak persis seperti itu.

Stempel bahwa Derek seorang rasis, terbantahkan.   Isteri Derek seorang mantan ratu kecantikan  dari Laos.  Namanya Kellie May, berkulit sawo matang.  Kellie  berkulit berwarna, meski “bukan hitam”.   Derek bukan anti kulit berwarna.

Derek sulit disebut rasis.  Intervensi psikologis dalam jiwanya, yang berlangsung sepanjang hidupnya, di Amerika, telah mencetak kepribadiannya menjadi dual personality.  Memadu kasih dengan Kellie, berlaku kejam  terhadap George.  Sekali lagi, keduanya bukan kulit putih.

Proses pembentukan karakter dan kepribadian  Derek rumit dan taut-menaut karena berada  dalam masyarakat yang  serba multi: etnis, ras, bangsa dan agama.

“Psychological process are complex”.  (Margareth Matlin, Distinguished Teaching Professor of Psychology)

Rasisme muncul di  negara maju sampai miskin, di masyarakat kulit berwarna putih, hitam, sawo matang, merah, atau kuning.  Tak hanya itu.  Rasis “berteman” dengan diskriminasi dalam segala  bentuk dan beraneka ragam, seperti agama, tingkat sosial, suku, gender, pekerjaan, atau posisi di tempat kerja.

Orang yang menjadi korban diskriminasi di suatu aspek, bisa menjadi pelaku di aspek yang lain.  Begitu seterusnya, berbelit, rumit dan kompleks, bak “dadung kepuntir”.

Ironisnya, itu bisa terjadi di mana saja.  Di pusat tempat-tempat di mana  kemanusiaan seharusnya  dimuliakan.  Tempat ibadah, rumah sakit, kantor pemerintahan, jalan raya, lapangan olahraga, atau tempat kerja.    Kadang sporadis, tak jarang  masif.  Praktek diskriminatif melawan hakekat kemanusiaan yang paling hakiki, yaitu bahwa manusia diciptakan setara.

Tragedi diskriminatif dan rasis sudah terjadi sejak dulu kala.  Kisah pilu yang sering diputar ulang adalah tentang Mohandas Karamchand Gandhi.  Sudah sangat lama,  7 Juni 1893, tapi inspirasinya terus memancar hingga kini.

Gandhi, seorang pengacara muda yang idealis naik kereta api di dekat kota Durban, Afrika Selatan.   Celakanya, dia ditolak  oleh sang kondektur.   Bukan karena dia tak berkarcis.  Dia salah masuk.

Gandhi diusir karena kulitnya berwarna, sementara gerbong itu khusus untuk kulit putih.  Nampaknya, begitulah aturannya.

Gandhi protes keras, meski akhirnya kalah tak berdaya.  Yang dilawan adalah kekuasaan raksasa yang diskriminatif.  Namun,  peristiwa memalukan di Stasiun KA Pietermarittzburg itu justru menandai titik balik  keangkuhan kapitalis.

Gandhi tak menyerah.  Dilawannya kekuatan setan itu dengan damai sampai kemudian waktu berkata lain.

Diskriminasi terjadi juga di dunia sepakbola.  Padahal, olahraga  dicatat sebagai lahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas.  Tapi tidak selalu begitu, terutama untuk kulit berwarna.

Seperti saat mantan penyerang Chelsea, Demba Ba, yang sedang bermain di Liga Super Cina bersama klub Shanghai Shenhua.  Demba mengalami penghinaan rasial dari lawannya. Itu terjadi pada Sabtu, 4 Agustus 2018.

Saat itu Shanghai Shenhua dan Changchun Yatai sedang bermain imbang 1-1. Kemudian Demba  bertabrakan dengan pemain Changchun, Tan Tiancheng.  Penyerang asal Senegal itu kemudian tampak marah setelah pemain Changchun lainnya, Zhang Li, memberikan komentar yang bernada rasis kepadanya.

Simak kisah lain yang dialami bek kanan Barcelona, yang juga  skuat tim nasional Brasil, Daniel Alves. Dia sedang bertanding di Liga Spanyol, saat dijamu bertanding kesebelasan Villareal, 27 April 2014.

Alves ancang-ancang mengambil tendangan sudut, tiba-tiba penonton melempar pisang ke arahnya.  Alves bersikap  positif, diambilnya pisang itu, dan dimakannya.

Penistaan serupa terjadi juga di negara kita, Republik Indonesia tercinta yang berlandaskan Pancasila.

Yang sempat dicatat adalah saat suporter Persija, “The Jakmania”, melempar pisang dan menyebut “m*ny*t” kepada Mbida Messi, yang sedang membela Persib, Bandung.  Georges Parfait Mbida Messi, berasal dari Kamerun dengan nelangsa memungut pisang dan menepikannya dari lapangan hijau.

Hatinya terkoyak.   Diskriminasi warna kulit yang jahat tidak hanya terjadi di Eropa sana.  Ia juga melanda sebuah negara di Asia, yang katanya mempunyai sifat ramah-tamah, sopan-santun dan berbudaya tinggi.

Dan yang paling menyedihkan, penonton Indonesia berkulit sawo matang.  Beda sedikit dengan warna kulit Mbida yang hitam.  Diskriminasi bukan soal perbedaan warna kulit, tapi masalah pola pikir.  “Superior versus inferior”, atau “kuat lawan lemah”.  Itu bisa melanda  siapa saja.

Lain lagi diskriminasi yang berbasis agama. Slamet Jumiarto kena batunya.  Surat izin tinggal yang diajukan ke Ketua RT 008,  Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Bantul, pada tanggal 3 April 2019, ditolak.

Bukan karena Slamet seorang narapidana atau pelarian politik, tapi karena dia berbeda agama dengan mayoritas penduduk desa itu.  Sang Ketua merujuk ke Peraturan Kampung nomer  03/Pokgiat/KRT/PLT/X/2015.

Meski kemudian masalah dapat diselesaikan dengan damai, bisul itu kadung meletus tak jelas juntrungannya.  Entah, bagaimana jalan berpikir para perangkat desa ketika membuat “undang-undang” itu 6 tahun lampau.  Bagaimana nasib “slamet-slamet” yang lain, sebelum dicabutnya dokumen itu?.

Masih banyak lagi kisah sedih tentang drama diskriminasi dalam berbagai bentuk, di berbagai tempat, pada berbagai kurun waktu.

Gandhi,  Demba, Alves, Mbida dan Slamet adalah contoh korban perilaku diskriminatif.  Dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan.  Rasis, yang melebar menjadi diskriminasi kepada “orang lain”, menjadi monster yang menakutkan.

Keheranan Mbida mengapa rasis juga keluar dari kulit sawo matang terhadap kulit hitam,  membuktikan ada lingkaran setan yang berputar semakin kencang.

Seseorang menjadi korban diskriminatif di sini, menjadi pelaku di sana.  Korban kebencian di sini, membuat kerusuhan di sana.

Perbedaan berubah bentuk menjadi diskriminasi.  Perbedaan bukan lagi rakhmat yang disyukuri, bukan lagi sumber energi yang memperkaya, tapi justru mewujud menjadi pemecah belah yang memporak-porandakan.

Diskriminatif meyakini bahwa apa pun milik yang disandangnya, selalu hebat dan yang lain abal-abal.  Dan yang paling mengganggu, rasa itu muncul dalam diri setiap manusia, dengan skala dan bentuk  yang berbeda-beda.

Gejala rasisme pada khususnya dan diskriminatif pada umumnya, sungguh memprihatinkan.  Dunia semakin hiruk-pikuk dengan perseteruan karena perbedaan.  Semakin lama semakin mengerikan.

Menjadi kewajiban setiap insan, warga dunia, untuk terus berjuang menghapuskannya, dengan cara-cara non violence.  Mulailah tidak bersikap diskriminatif terhadap orang lain dengan alasan apa pun.  Bila memungkinkan, ingatkan mereka yang sedang menunjukan sikap atau perilaku diskriminatif.

Kalau berdiam diri, suatu saat pedang tajam itu akan berbalik menghujam kita.  Kehidupan berakhir, saat banyak orang  bergeming ketika nilai-nilai kemanusiaan terancam.

“Our lives begin to end the day we become silent about things that matter to humanity” (anonim).

 

P.M. Susbandono, Penulis buku inspiratif, kontributor

HIDUP, Edisi No. 52, Tahun ke-75, Minggu, 26 Desember 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini