HIDUPKATOLIK.COM – Merayakan dalam kesederhanaan bukan berarti hilang sukacita dan kegembiraan.
Gangguan pada kaki dan usianya yang tidak muda lagi, tidak menjadi penghalang bagi Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC terus mewartakan kabar baik di Tanah Papua sejak diangkat secara resmi sejak tahun 2020. Hingga tulisan ini diturunkan, ia masih menjabat sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Amboina yang lama digembalakannya. Sejak berkedudukan di Merauke, Mgr. Mandagi, sapaannya, terus bersuara lantang sama lantangnya ketika ia menjabat Uskup Amboina. Perdamaian, keadilan, hak-hak asasi manusia adalah beberapa isu yang kerap ia artikulasikan tanpa tedeng aling-aling. Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Mgr. Mandagi.
Bagaimana Monsinyur melihat kehadiran yang sudah setahun menjadi Uskup Agung Merauke ini?
Saya sudah diangkat sebagai Uskup Agung dan menjalaninya dengan senang-senang saja karena sudah dua tahun tepatnya, sebelumnya sudah menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke (KAMe). Saya merasa bukan diutus oleh manusia tapi diutus oleh Tuhan untuk pindah dari Keuskupan Amboina menuju KAMe.
Karena saya yakin perutusan dari Tuhan, saya gembira saja dengan segala kekurangan walau sudah berumur, kaki sedikit tidak beres. Namun, segala kekurangan itu membuat saya tidak menyerah karena saya yakin bahwa Tuhan akan melengkapi segala kekurangan dalam pelayanan kepada umat.
Syaratnya ialah saya jangan sombong tetap bekerja dengan rendah hati dan penuh semangat bekerja dengan para pastor dan umat sekalian.
Saya datang ke Merauke bukan untuk mencari jabatan dan untuk dihormati tapi melayani. Pasti ada kesulitan tapi cinta saya kepada KAMe dan masyarakat Papua Selatan mengatasi segala keurangan dan kelemahan dalam pelayanan. Cinta Tuhanlah yang saya utamakan karena cinta Tuhan yang mengatasi segala-galanya.
Apa saja yang dilakukan oleh Monsinyur di awal, dan persoalan apa saja yang dihadapi?
Saya datang dengan tidak terlebih melihat persoalan-persoalan yang ada. Saya datang dan melihat hal-hal yang baik yang sudah terjadi di sini. Yang sudah bertumbuh dan berkembang, tentu saja yang baik saya lanjutkan, yang tidak baik saya perbaiki. Misalnya supaya semakin banyak imam Papua Selatan yang bekerja di KAMe. Imam Papua sangat kurang. Imam-imam yang bekerja di KAMe juga sangat sedikit. Jadi perlu berjuang supaya semakin banyak imam hadir di sini. Perlu memperhatikan khusus pembangunan seminari-seminari dengan mencoba mengadakan perubahan-perubahan fisik. Saya ingin para imam semangat bekerja dengan baik. Saya mendirikan seminari tingkat SMP di Kevikepan Wendu, Kevikepan Kimaam, Kevikepan Tanah Merah, dan Kevikepan Kepi.
Dengan adanya seminari-semiari itu, akan ada banyak orang asli Papua masuk seminari dan meneruskan seminari lanjutan di Pastor Bonus di Merauke. Penambahan imam yang saya mau perjuangkan harus juga ada Tahun Rohani di Merauke. Terlebih kehadiran para pastor harus secara kuantitas perlu tapi juga harus secara kualitas. Para pastor diajak dan diusahakan bekerja dengan baik dan bersatu supaya tetap menjadi imam-imam yang baik, berdoa dan dekat dengan Tuhan. Ada semangat yang berasal dari doa dan Tuhan. Mereka tidak gampang menyerah dalam pelayanan kepada umat. Karena Tuhan yang memberi inspirasi. Cinta Tuhanlah yang harus menjadi kekuatan bagi para imam dalam bekerja dalam pelayanan.
Bagaimana Monsinyur menanggapi dan mengahadapi isu-isu sensitif di Papua yang mau tidak mau juga bersentuhan dengan Gereja?
Saya sebenarnya tidak mau masuk dalam urusan politik. Itu bukan urusan saya. Sekarang saya mau usahakan agar hanya ada perdamaian di Papua. Jangan barkelahi karena sebenarnya sering orang hanya mau mencari untung, uang, jabatan dan berpura-pura memperjuangkan kemanusiaan di Papua. Padahal di belakang perjuangan mereka hanya mau memperjuangkan kepentingan finasial dengan kekuasaan. Sebagai seorang uskup, saya memperjuangkan perdamaian untuk mengajak jangan bakelahi. Kita adalah gambaran Tuhan.
Selain kita bangun persekutuan dan kerukunan di antara kita, marilah kita juga wartakan itu semua tidak hanya melalui kata-kata atau slogan. Tetapi kita nyatakan dalam keteladanan hidup kita untuk menyalurkan kasih kepada semua orang.
Persekutuan, persaudaraan, dan kerukunan teramat mahal. Dia tidak bisa dibayar dengan apapun, tetapi terus diusahakan untuk diwujudkan.
Orang Papua bukan hewan! Jadi harus dicintai, dihormati dan dihargai sama seperti manusia yang lain. Usahakan penghormatan satu dengan yang lain tapi juga meningkatkan pendidikan. Karena sering kali jatuh di dalam hal-hal yang tidak benar dengan melakukan kekerasan. Tidak beres dalam pendidikan akhirnya minum dan mabuk, terjadi perkelahian, pertentangan, konflik satu dengan yang lain.
Pendidikan juga harus ditingkatkan. Ini menjadi perhatian saya. Pendidikan di sekolah sangat lemah. Banyak guru di pedalaman tidak melaksanakan tugasnya padahal dapat gaji. Sehingga banyak sekolah terlantar. Seringkali kurang diperhatikan oleh dinas pendidikan provinsi atau kabupaten. Kurang ada kunjungan dan mengadakan evaluasi. Dibiarkan saja. Saya harus bersuara kepada pemerintah untuk bekerja sama dengan Gereja supaya ada pendidikan yang baik di Selatan Papua.
Di samping itu orang asli juga harus mampu mengatur keuangan, mampu menciptakan lapangan kerja. Ada pembinaan dan pelatihan. Jangan malas tapi kerja untuk menghasilkan uang yang bisa berguna bagi kehidupan ekonomi keluarga dan masyarakat.
Hemat saya, yang juga perlu diperhatikan adalah bidang kesehatan. Supaya masyarakat mampu menjaga kebersihan di kampung dan di desa. Ada pembinaan kesehatan supaya masyarakat hidup damai dan tenteram, sehat walafiat.
Melihat setuasi di Papua yang sudah cukup panjang lebar Monsinyur utarakan, bagaimana umat atau Gereja merayakan Natal tahun ini di tengah pemulihan dari pandemic Covid-19? Apa pesan atau harapan Natal Monsinyur, baik secara lokal maupun nasional?
Pada Hari Raya Natal, kita merayakan kelahiran Yesus Kritus dengan kembali menghadirkan Yesus yang lahir di kandang Betlehem. Yesus itu penyelamat dunia dari kegelapan dosa dan maut. Jadi Natal memberi sukacita dan kegembiraan dan pengharapan. Jangan takut. Di tengah kegelapan ada keselamatan, Yesus datang dan bersatu dengan kita. Hanya terkadang sering kali manusia merasa kecil karena Yesus juga lahir sebagai orang kecil padahal Yesus datang untuk orang kecil dan hina dina .
Di samping itu, juga ada terang yang datang yang dilambangkan dengan Pohon Natal. Yesus datang membawa kegembiraan dan sukacita. Marilah kita tetap bersemangat dan berpengharapan karena di tengah kegelapan senantiasa ada cahaya. Seperti dikatakan malaikat kepada para gembala, jangan takut Penyelamat telah lahir di kandang Betlehem.
Natal juga mengajak kita untuk hidup sederhana. Jangan berfoya-foya. Kita ‘lahir’ dengan sederhana sama seperti Bunda Maria dan Bapak Yosef di padang. Merayakan dalam kesederhanaan bukan berarti hilang sukacita dan kegembiraannya.
Sehubungan dengan Sinode Para Uskup tahun 2021-2023, hal apa yang Mosinyur ingin sampaikan?
Ada empat hal. Pertama Gereja senantiasa berjalan bersama (sinodal) . Berjalan tapi bersama dan berjalan jangan malas. Jangan kehilangan semangat tetap berjalan terus.
Kedua, Gereja harus bersatu, persatuan persaudaraan. Jangan ada tindak kekerasan antara yang satu dengan yang lain. Karena identitas Gereja adalah persatuan dan persaudaraan. Berbeda-beda tapi tetap bersatu secara internal dalam Gereja sendiri tapi juga dengan agama-agama lain, dengan kelompok lain dalam masyarakat.
Keempat, Gereja senantiasa harus berpastisipasi. Jangan berdiam diri. Jangan menjadi penonton dalam Gereja. Bawalah damai dan sukacita, pembebasan, persaudaraan, dan perdamaian ke tengah masyarakat. Jadi semua harus berpartisipasi. Jangan cuma pastor dan suster. Tapi juga awam dan orang muda juga.
Keempat, kita semua diutus karena ada misi.Semangat misioner. Jangan seolah-olah yang melakanakan perutusan cuma para uskup, imam, biarawan-biarawati. Yesus mengutus kita, tanpa kecuali, membawa damai di tengah-tengah dunia ini.
Helen Yovita Tael (Merauke, Papua)
HIDUP, Edisi No. 51, Tahun ke-75, Minggu, 19 Desember 2021