Malam Natal Bersama Bapak

317

HIDUPKATOLIK.COM – TELEPON dari Mbak Ratna, kakak semata-wayangku hanya pendek,”Ibu kena covid.” Aku yang setengah sadar langsung bangkit dari tempat tidur. Jam di dinding mengabarkan pukul satu pagi lebih dua puluh delapan menit. Artinya di Yogya jam sepuluh malam kurang tiga puluh dua menit. Telepon genggam aku pandangi penuh harap. Kabar Mbak Ratna tetap tanpa kelanjutan. Akhirnya gantian aku yang menelepon Mbak Ratna.

”Rumah sakit penuh. Ini sudah empat rumah sakit aku datangi, tanpa hasil. Mas Arya baru kontak rumah sakit di Kalasan, katanya ada kamar kosong. Ibu aku bawa ke sana. Ini lagi di Jalan Solo. Dua puluh menit lagi sampai,” ucap Mbak Ratna. ”Kamu tidur saja. Sekarang kan jam dua pagi di Sydney. Aku, Mas Arya dan Thomas yang mengawal Ibu ke rumah sakit.” Mbak Ratna menyebut suami dan anaknya yang menemani.

Tetap aku tidak bisa melanjutkan tidur. Ibu diterjang covid dalam usia tujuh puluh empat tahun. Kejadian yang membuat aku dalam kekalutan maha tinggi. Apalagi tersua kabar yang terus-menerus ditayangkan berbagai saluran televisi di Australia. Indonesia darurat covid. Rumah sakit kolaps. Tenaga kesehatan tumbang. Varian delta meluluh-lantahkan semua pranata kehidupan di Indonesia.

Hanya tiga hari Ibu dirawat. Tubuh ringkih Ibu terlalu lemah melawan varian delta. Diiringi lagu Ave Maria, Ibu kembali ke tanah. Aku, Martha istriku dan Dirga anakku, hanya bisa menatap dari layar laptop seluruh prosesi pemakaman Ibu. Karantina wilayah ketat di Sydney tidak membuka ruang sedikit pun bagiku untuk ikut mengantar Ibu pulang ke rumah Bapa.

Bapak? Warta dari Mbak Ratna, Bapak terpukul dengan mangkatnya Ibu. Depresi menghampiri Bapak. Hingga setelah Misa tujuh hari meninggalnya Ibu, Bapak membersihkan mesin ketik yang sudah lama teronggok di gudang. Mesin ketik yang dulu menjadi teman Bapak merangkai aneka puisi dan cerita.

”Bapak bisa seharian penuh di dalam kamar dengan mesin ketiknya. Bapak menulis cerita panjang,” cerita Mbak Ratna kepadaku.

”Ini cikal bakal novel, Ratna. Gabungan antara fakta dan fiksi. Cerita tentang Ibumu.” Bapak menunjukkan delapan lembar kuarto yang sudah dipenuhi aneka kalimat.  ”Kalau lagi mandek, Bapak ganti menulis puisi. Tapi baru jadi tiga puisi,” disodorkan puisi tulisan tangan Bapak kepada Mbak Ratna .

Hanya, tubuh Bapak tidak sekokoh seperti yang selama ini aku lihat. Mangkatnya Ibu, tetap meninggalkan rongga besar dalam diri Bapak yang tidak bisa ditambal apapun. Pun disiasati Bapak dengan menulis puisi dan aneka cerita. Bapak hanya mampu bertahan empat bulan dengan kesehatannya. Sejak awal Desember, Bapak meringkuk sakit di rumah. Tidak mau dibawa ke rumah sakit.

”Mbak Ratna, Natal ini aku harus pulang. Aku akan minta bantuan teman di kedutaan agar bisa terbang ke Indonesia,” kataku kepada Mbak Ratna.  Akhirnya aku bisa pulang ke Indonesia, sendirian. Istri dan anak tetap di Sydney, tidak dapat iin pulang dari pemerintah Australia.

Di bandara international Yogyakarta kulihat Mbak Ratna menjemput.  ”Ada banyak kerjaan di kampus, Mas Arya tidak bisa ikut menjemputmu,” ujar Mbak Ratna ketika kami sudah dimobil. ”Bapak semakin lemah, tidak memiliki semangat. Yang diceritakan hanya Ibu terus. Berulang-ulang. Selesai bercerita tentang Ibu, Bapak akan bertanya tentang kamu. Untung kamu bisa pulang.”

Rumah dengan aneka tanaman yang tetap terawat sepeninggal Ibu. Pintu rumah kayu jati asli Jepara sebagai penanda kelahiranku, empat puluh empat tahun lalu masih kokoh indah. Sofa panjang di ruang tamu yang sering aku pakai merebahkan tubuh, kelihatan baru dicat ulang. Pohon Natal yang dulu dibeli Ibu untuk hadiah ulang tahun Mbak Ratna, tepat disamping sofa panjang.

Lalu kubuka kamar tidur Bapak. Ada sosok ringkih tergolek di kamar. Kakinya ditutupi sarung. Tangannya menumpang lemah diatas tubuhnya. Bapak, diumur tujuh puluh tujuh tahun. Belum terlampau uzur. Hanya tak berdaya ditinggal Ibu. Muncul aneka penyakit yang sebelumnya tidak dimilikinya. Aku duduk tepat di sampingnya. Aku pegang tangannya. Kelopak matanya terbuka.

”Radit….” ucap Bapak lemah.

”Sehat selalu, Pak,” semakin erat kugenggam.

”Martha? Dirga?” Bapak bertanya istri dan anakku.

”Kena lockdown. Tidak bisa meninggalkan Sydney.”

Sejenak berikut kulihat isi kamar Bapak. Mesin ketik dengan kertas yang masih terjepit ada di meja, bersebelahan dengan berbagai buku sastra. Kertas-kertas yang tertata rapi, hasil karya Bapak yang tentu belum selesai. Ada meja kecil di sebelahnya, berisi aneka obat dan vitamin. Cangkir besar yang selalu berisi teh panas kental. Sebungkus rokok kretek yang sudah terbuka. Ada bekas rokok yang belum habis dihisap. Mbak Ratna sudah membebaskan Bapak untuk melakukan apa saja. Termasuk merokok kegemarannya, kretek.

”Baru selesai menulis tiga puluh sembilan halaman, Bapak tidak bisa melanjutkan lagi. Kertas terjepit di mesin ketik sudah enam hari lalu.” Bapak berusaha bangkit. Aku bantu. Lalu kami duduk berhadapan. Tangan keriput Bapak. Dulu yang mengajari aku naik motor. Lulus SD merayakan dengan naik motor ke pelosok-pelosok desa di Bantul. Aku di depan dan Bapak menegaskan padaku, ”Tancap terus, Radit!”

”Malam ini biar Ratna, Arya dan Thomas ikut Misa Natal di gereja. Kita dari rumah saja. Misa bersama televisi.” Bapak menunjuk cangkir besarnya. Kuambilkan dan kuserahkan padanya. Hanya berhasil menenggak satu tegukan. Pada tegukan kedua, teh berceceran di sekitar bibirnya. Aku bantu dan ia berhasil meminum lima tegukan.

”Ibumu…” ujar Bapak. Tapi tidak diteruskan omongannya. Ada butiran air di mata Bapak. Sebelum air mata jatuh, ia sudah minta untuk ditidurkan kembali.

Misa Natal bersama Bapak. Ada keajaiban sendiri. Bapak kuat duduk satu jam penuh mengikuti Misa. Menatap layar televisi. Berdoa khusyuk. Mencoba ikut bernyanyi Malam Kudus. Mendaraskan doa untuk Ibu ketika menerima Komuni Suci. Misa Natal yang sungguh istimewa bagiku. Menemani Bapak dalam sakitnya.

Bapak tidur di kamarnya. Aku memilih tidur di sofa panjang. Berdampingan dengan pohon Natal. Berseberangan dengan kamar Bapak. Jam setengah dua belas malam, Bapak memanggil diriku. Aku buka pintu kamar. Bapak sudah duduk di pinggir tempat tidur.

”Temani Bapak merokok malam ini, Radit. Di halaman depan,” ujarnya. Malam yang sebenarnya terlalu dingin untuk Bapak. Namun seperti perintah Mbak Ratna, apapun juga yang diminta Bapak harus dituruti. Aku ambil rokok kretek miliknya. Aku tuntun ke halaman depan.

Malam Natal, tiada kabut di bulan Desember. Aneka bintang terlihat terang. Duduk berdua dalam keremangan malam. Aku ambilkan rokok kretek kesukaannya. Aku nyalakan api.

”Kamu bisa merokok kretek sekarang?” tanya Bapak.

”Bisa. Hanya tidak biasa, Bapak,” kucomot rokok mild dari kantong celanaku.

Bapak menghirup rokok kretek dalam-dalam. Mengeluarkan asapnya dari bibir dan hidungnya. Terlihat benar Bapak menikmati rokok, malam Natal dan bintang-bintang di angkasa raya.

”Kamu masuk ingat Radit, ketika kamu berulang-tahun tujuh belas. Ibumu marah,” Bapak tersenyum simpul.

”Ya, Ibu marah. Mendiamkan kita sehari penuh,” aku menanggapi ucapan Bapak.

”He…he….ternyata Ibumu bisa marah,” Bapak tertawa lepas. Tampak bahagia mengenang masa lampau. ”Maksudku sih sederhana. Biar yang ngajarin merokok kamu itu Bapakmu sendiri. Bukan temanmu.”

Ulang tahun ke tujuh belas. Aku dikasih hadiah Bapak yang tidak akan aku lupakan. Sebungkus rokok filter. ”Laki-laki itu harus merokok, Radit. Kamu sudah berumur tujuh belas tahun. Merokoklah,” ucap Bapak, dua puluh tujuh tahun lampau. Kucomot sebatang rokok. Kunyalakan. Kuhirup rokok. Batuk-batuk tercipta. Bapak tertawa sambil mengelus-elus rambutku.

Tak lebih dari setengah jam kami duduk berdua di halaman depan. Bapak minta untuk masuk rumah lagi. Melanjutkan tidur yang terputus. Bapak di kamarnya, aku di sofa depan. Hanya lima jam aku tidur malam ini. Jam lima pagi aku terbangun. Berjingkat, aku buka kamar Bapak. Aku nyalakan lampu utama. Kulihat Bapak terbujur kaku dalam damai. Kedua tangannya menggenggam rosario.

Duduk tepat di samping Bapak. Kupegang tangannya. Mulai mendingin. Kupegang nadi tangannya. Tiada denyut.  Kusebut nama Bapa, Putera, Roh Kudus, Bunda Maria dan Santo Yosef, nama permandian Bapak.

Aku beranjak meninggalkan kamar Bapak. Kuketuk pintu kamar Mbak Ratna. Tergesa-gesa pintu kamar di buka Mbak Ratna.

”Bapak…,” ucapku lirih. Tanpa perlu keterangan lanjutan, Mbak Ratna menghambur ke kamar Bapak. Pagi terkuak. Ada tangis kencang Mbak Ratna dari kamar Bapak.

Oleh AM Lilik Agung

HIDUP, Edisi No. 51, Tahun ke-75, Minggu, 19 Disember 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini