Jangan Terlalu Lama Berkemah, Mari Terus Mendaki

272

HIDUPKATOLIK.COM

Keep Climbing
(Dinyanyikan : Delta Lea Goodrem)

Two mountains, I’m caught in the middle
Can’t see the forest before the trees
This climbing breaks me a little
But the hope inside of me

Keep climbing (Just keep climbing)
(Keep climbing, just keep climbing)

Namanya Jose Yusuf Marwoto. Seorang broadcaster profesional dan jurnalis radio yang sedang naik daun. Laris menjadi narasumber seminar dan host talk show yang piawai. Saya banyak belajar darinya.

Lantas, apa keistimewaan Jose dalam hal mendaki?.

Di siaran radio 3 minggu lalu, Jose mengirim kepada saya umpan lambung yang tak mudah disambar.

“Bagaimana anda melihat penggolongan manusia menjadi Quitters, Campers dan Climbers?”.

Saya terpojok sejenak. Diam-diam mencuri waktu untuk berpikir. Untung, suasana cepat terkendali. Jawaban tiba-tiba mampir begitu saja di kepala.

Kemudian saya tahu, Jose mengutip teori yang dikemukakan oleh Paul Stoltz, ahli masalah “ketahanan manusia” (human resilience). Ia juga dikenal sebagai pendukung teori “Adversity Quotient” (AQ). – https://roughnotes.com/quitter-camper-climber-one/.

“Everyone faces adversity. The difference is how people handle it”.

Setiap orang menghadapi kesukarannya masing-masing, yang membedakan adalah bagaimana cara menyikapinya.

Stoltz juga seorang pendaki gunung tangguh. Tak heran kalau istilah mountaineering dipakai untuk menggolongkan manusia seperti itu.

Masih menurut Stolkz, Quitters dijulukkan kepada mereka yang mudah mengeluh, suka protes dan selalu tak puas dengan keadaan. Orang Jawa menyebutnya rojo nggresulo. Naluri defensive-nya tebal, namun tipis daya juang. Prestasinya nyaris tak ada, disertai sikap pasrah bongkokan menunggu nasib.

Sementara Campers awalnya pekerja keras. Sampai kemudian menemukan “dataran hidup” yang aman dan nyaman.

Ketika sudah menikmati “kepuasan”, meski dengan level yang relatif rendah, kemudian berhenti. Mereka “berkemah” di sana. Biasanya keterusan, sampai lupa atau malah membatalkan pendakian.

Begitu himpitan lepas, tak ada usaha lagi untuk merebut keadaan yang lebih baik. Campers adalah mereka dengan posisi mediocre, dengan sikap minimalis atau asal memenuhi kebutuhan yang pas-pasan saja.

Puncaknya adalah manusia Climbers. Mereka pantang menyerah. Tak pernah berhenti belajar dan berkembang. Tujuan hidupnya selalu naik. Targetnya terus bergerak. Terus dikerek, dan langit menjadi batasnya.

Climbers juga berusaha menginspirasi orang lain untuk memacu potensi penuh mereka. Mendaki bersama membuat lebih aman tiba di puncak gunung.

Untuk Indonesia, saya tak tahu berapa proporsi masing-masing kategori. Angka perkiraan, 90% berada di luar Climbers. Terdapat sekira 60% Campers, silakan perkirakan sendiri berapa Quitters.

Menjadi Quitters berakibat sakit kepala. Tapi Campers bisa membuat rasa nyaman, meski hasil jauh dari maksimal.

Simak Indonesia yang tertahan di golongan negara-negara sedang berkembang (developing countries). Lama bertahan di situ dan tak juga mampu naik kelas menembus golongan negara-negara maju (developed countries).

(Meski Bank Dunia sudah menghapus penggolongan itu, menggunakannya sebagai ilustrasi, mungkin masih bisa diterima) – https://money.kompas.com/read/2016/06/ 04/ 133920826/bank.dunia.hapus.penggunaan.istilah.developing.countries).

Lihat juga begitu kuatnya “middle income trap” mencengkeram kita, hingga berat lepas darinya. Sulit untuk naik kelas menjadi “high income country”, atau bahkan sekedar bertahan di “upper middle income country”.

Hipotesa yang sulit dipercaya. Tetapi sinyalemen Mochtar Lubis dalam buku “Manusia Indonesia” (1977), bisa ikut memperkuat jastifikasi. Dia merumuskan 6 sifat manusia Indonesia. Salah satunya adalah “lemah watak atau karakter”

Di situ termasuk lemahnya daya juang, enggan bersusah payah, mudah menyerah, seenaknya, dan malas.

Juga mental “cepat puas” yang menghambat seseorang untuk terus maju. Padahal “sabar” dan “terus bertahan” terbukti sering membuahkan hasil yang menggembirakan. Jangan keliru, lembah sepi kadang suatu jalan menuju jembatan untuk mengakhiri mimpi buruk.

“That this lonely valley lead to a bridge over troubled dreams”. (Cuplikan syair lagu “Keep Climbing”).

Tetangga saya, seorang pengemudi ojol, memilih besok istirahat, ketika penumpang hari ini 2 kali lipat dibanding biasanya.

Alasannya sepele. Penghasilan 1 hari sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan 2 hari. Itu tipikal Campers.

Quitters, Campers atau Climbers ternyata berkorelasi dengan AQ, kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah atau kemalangan.

Tak peduli seberapa tinggi IQ (intelektualitas) atau seberapa kuat EQ (kemampuan untuk mengelola emosi), AQ memengaruhi dorongan dan motivasi seseorang untuk menggapai keberhasilan.

Jangan menyerah bila AQ menengah atau rendah. Teruslah mendaki, jangan terlalu lama berkemah di tengah perjalanan. Puncak gunung harus dihampiri, karena ia tak bakal mendatangi pendaki.

“No single mountain ever came to me, so I always go to them”. (Erik Tanghe – dosen, pekerja seni, dan fotografer).

P.M. Susbantono, Kontributor, Penulis buku inspiratif

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini