Kiran, Aku Menunggumu

187

HIDUPKATOLIK.COM – SUDAH dua minggu ini Kiran tidak lagi menjengukku. Lupakah dia? Karena aku sakit dan hanya tergolek di ranjang rumah sakit ini, tidak bisa membersamainya setiap hari, tidak bisa menyiapkan sarapan untuk keluarga? Benarkah dia sudah bosan dan lelah menemaniku? Bagaimana dengan Agra dan Algis? Apa kabar kalian, Le, Ndhuk? Apakah kalian sudah makan? Apakah sudah belajar? Sedang apa kalian sekarang? Siapa yang menyiapkan bekal sekolah? Siapa yang antar jemput ke tempat les? O ya, tanamanku? Bagaimana dengan kuping gajahku? Adenium-adeniumku? Waktu itu sudah waktunya menstek batangnya tetapi aku belum ada waktu melakukannya. Bu Nita tetangga kanan pernah minta anakannya untuk ditanam di dekat nisan suaminya. Bagus juga di nisan ditanami adenium. Selintas teringat makam bapak dan ibu. Di sana juga kutinggalkan adenium warna merah muda. Seperti selalu ada cinta sesegar kuntumnya meskipun mereka telah tiada.

Pipiku basah. Pikiranku melayang ke mana-mana. Ingat rumah, ingat Kiran dan anak-anak, ingat semua saudara. Siang ini belum ada yang datang menjengukku. Toh aku tidak boleh egois. Mungkin saja semua sedang sibuk sehingga belum bisa datang. Ruangan yang hanya membolehkan pembesuk masuk dua-dua ini jadi sepi terutama bukan di jam besuk. Tinggal bunyi nyit…nyit… monoton dan menyebalkan dari mesin hemodinamika dan saturasi di dekat kepalaku. Selang-selang melintas di tubuhku. Selintas sekuel-sekuel sinetron yang hampir selalu ada adegan di rumah sakit, ambulan yang melintas, tangisan-tangisan pilu.

Duh, Tuhan, jangan dulu Kauminta aku pulang pada-Mu. Agra dan Algis masih kecil. Andara masih lima bulan dan bahkan aku belum sempat menyentuhnya. Sebulan lebih dalam keadaan koma membuatku belajar kembali mengingat semuanya. Aku ingin sembuh. Aku ingin pulang. Mea Culpa…Mea Culpa.

Patung Yesus dari bahan fiber warna putih dengan pose Hati Kudus Yesus di taman paviliun rumah sakit ini tampak dari sini. Ranting-ranting bougenville yang penuh bunga ungu bertumpuk-tumpuk di dekat patung Yesus tampak terayun-ayun seperti tangan yang melambai-lambai mengundang. Kaca ruangan ini memberiku kesempatan melihat wajah teduh itu meski tak utuh melihatnya karena posisiku berbaring. Tangan-Nya yang menunjuk dada menawarkan keselamatan. Hati yang bermahkota duri, juga api yang menyala di atasnya menjanjikan ketenangan dan kedamaian.

Napasku terasa kembali sesak. Aku tersengal-sengal. Tanganku mencari bel nurse call di bawah bantal. Seorang perawat masuk tidak lama kemudian. Ia tersenyum tipis padaku. Tanpa menunggu penjelasanku tampaknya dia mengerti apa yang harus dilakukan. Ia memerhatikan grafik garis pada mesin hemodinamika dan saturasi, memastikan alat yang menjepit jempolku tetap ada di tempatnya, memerhatikan botol berisi cairan bening itu lalu menjentik-jentikkan jarinya pada selang infus. Masker yang dipakainya tidak menutupi wajahnya yang manis. Ia membuatku nyaman dengan sedikit menegakkan bed dengan remote control. Mata beralis simetris itu tampak tersenyum lalu meninggalkanku sendiri lagi. Ruangan makin sunyi.

“Mbak, tidak melihat suamiku datang?”tanyaku lemah pada Mbak Laras, perawat yang paling sering mengunjungiku meskipun sedang tidak bertugas.

Di tangannya ada setangkai mawar bourbon warna merah. Dimasukkannya pada botol kaca bekas selai nanas. Dipandanginya mawar segar itu. Cantik dan segar seperti dia.

“Mungkin masih banyak pekerjaan, Mbak. Mbak Anjani tidak usah berpikir macam-macam. Yang utama adalah kesembuhanmu. Biar yang sehat yang sibuk. Yang sakit mikir untuk sembuh saja ya,”bujuknya.

Aku berusaha memejamkan mata mencari ketenangan di dalamnya. Siapa tahu dengan mata terpejam, hatiku ikut tenang. Kuakui bahwa aku masih harus berprihatin dengan sakit ini, sakit yang tak pernah kuduga dan kukira, sakit yang tiba-tiba datang menyerangku. Melahirkan yang ketiga dan terakhir ini hampir saja merenggut nyawaku. Kehamilan yang agak repot karena sering terjadi pendarahan sejak bulan ketiga. Kiran memintaku resign dari pekerjaan agar aku bisa lebih banyak istirahat. Aku menyetujuinya meskipun harus meninggalkan pekerjaan yang kusenangi dan dipertahankan oleh bossku. Kupikir, perusahaan manufaktur ini akan tetap berjalan baik meskipun salah satu manajernya harus digantikan oleh orang lain.

Belum genap 9 bulan dokter menyarankan untuk operasi demi keselamatanku dan bayiku. Kiran menandatangani surat izin dilakukannya tindakan operasi. Konon operasi berlangsung berjam-jam karena adanya kesulitan tertentu. Pendarahan kembali terjadi. Tetapi karena sempat mengalami kekurangan cairan, aku gagal ginjal. Mekanisme kerja tubuhku terganggu, termasuk kerja jantung dan otak.

Sebulan kemudian aku siuman dari koma. Wajah-wajah sumringah ada di sekelilingku. Mereka amat berharap aku segera pulih dan bisa pulang.

“Anjani, cepat kamu minum obat ini biar kamu segera sembuh,”kata Kiran menyodorkan setengah cangkir ramuan.

Mata Kiran mencermati keadaan sekeliling. Entah mengapa dia selalu begitu setiap kali menyiapkan obat buatku.

“Yuk, Sayang. Habiskan ya. Tidak ada kontra dengan obat dari dokter kok,”bisiknya.

Obat itu hanya sedikit pahit. Warna hitam tapi tidak terlalu pekat. Ada aroma tertentu yang asing untuk hidungku. Tapi ramuan ini sangat luar biasa. Aku merasa makin baik. Selera makanku telah kembali. Bahkan satu selang sudah tercabut dari tubuhku tinggal selang infus, oksigen, dan kabel pendeteksi jantung. Genap sebulan Kiran telaten membawakan obat. Aku yakin sebentar lagi bisa pulang.

Mawar bourbon di botol selai melayu meskipun masih ada airnya. Satu kelopaknya gugur, jatuh bersama merawannya hati ini. Kiran tidak datang, tidak membawakanku obat ramuannya lagi. Tubuhku kembali penuh dengan selang-selang dan kabel. Hari ini begitu berat napasku. Hanya terdengar suara samar-samar. Mataku terbuka tapi pandanganku gelap. Tubuhku melemah tetapi otakku masih bekerja. Sungguhkah saat ini waktuku? Dalam gelap kucari sosok Sang Bunda yang manik-maniknya sering kurunut saat aku sadar dan berkurang nyerinya. Tuhan, jika Engkau mengambilku sekarang, silakan. Aku milik-Mu.

Di hadapanku tiba-tiba ada sesosok serba putih dengan wajah yang tak bisa kukenali dengan baik. Seperti melayang, ia mendekatiku. Tangannya melambai padaku. Ia menunjuk sebuah pintu yang menyilaukan sinarnya, putih susu dan bercahaya. Ajakannya teramat halus dan lembut. Hatiku terpikat. Aku berangkat.

Setelah aku berangkat terdengar tangis meraung diikuti sedu sedan silih berganti. Mbak Dina, Dik Danu, dan beberapa keluarga menangisi keberangkatanku.

“Oalah Dik, Anjani, Cah Ayu. Mengapa hanya sampai di sini umurmu. Maafkan mbakyumu ini, Dik, telah banyak yang kami sembunyikan darimu,” kata Mbak Dina dalam sedu sedannya.

Wajah Mbak Dina pucat pasi. Anak-anak rambut yang menjuntai di wajahnya lengket bersama air mata. Tubuh Mbak Dina melunglai. Dengan sigap suaminya menopangnya. Beberapa ibu membantu. Bau minyak angin kembali menyadarkannya 10 menit kemudian. Tubuhnya bersandar pada suaminya.

“Maaf Mbak Anjani, kami tidak pernah memberi tahu tentang Mas Kiran. Sekarang aku akan jujur padamu. Mas Kiran sedang diproses di DenPOM. Selain karena desersi karena memilih menungguimu dan mengabaikan tugas untuk dikirim sebagai anggota peacekeeping team PBB, Mas Kiran juga harus mempertanggungjawabkan obat yang sampai bulan lalu kamu minum. Itu berasal dari tanaman cannabis sativa. Sebagai prajurit, Mas Kiran in absentia karena tindak pidana itu. Itulah mengapa selama ini kami membohongimu dengan mengatakan bahwa Mas Kiran sibuk di kantornya. Kami khawatir Mbak Anjani kepikiran dan justru akan memperburuk kesehatanmu,”bisik Dik Danu tersendat-sendat.

Ruangan terasa lengang dan mencekam. Tak ada suara selain sesenggukan beberapa orang. beberapa orang petugas kesehatan berseliweran. Mawar bourbon merah kian layu, lunglai, dan merunduk. Di sekitar botol selai terserak mahkota bunga yang berguguran.

Oleh Lidwina Ika

HIDUP, Edisi No. 46, Tahun ke-75, Minggu 14 November 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini