St. Cosmas Takeya Sozaburō OFM (†1597) : Jalan Salib si “Batu Karang”

267
Sto. Cosmas Takeya Sozaburō, OFM/ www.saintcatholic.blogspot

HIDUPKATOLIK.COM – Ia kerap dianggap sebagai Petrus dalam Kitab Suci yang mengkhinati Yesus. Tetapi lewat tetesan darahnya, Gereja Jepang kini bertumbuh subur.

SYAIR lagu Te Deum Laudamus (Engkaulah Allah yang Kami Puji) mengiringi langkah para martir di Nagasaki, Jepang. Himne Santo Ambrosius ini bergema dari mulut mereka ketika hendak dibawah ke tempat eksekusi. Te Deum menjadi pujian terakhir mereka di dunia.

Kematian tak menyurutkan langkah kaki Cosmas Takeya Sozaburō atau Zaquira Tachegia bersama kawan-kawannya. Mereka disuruh berjalan berbaris dengan tangan terikat. Tubuh mereka diikatkan pada salib dengan rantai dan tali. Sebuah belenggu besi dipasang disekeliling leher mereka. Mereka kehabisan tenaga bukan karena salib yang mereka pikul tetapi jauhnya perjalanan dari Urakami ke Nagasaki sekitar 600 mil. Di sepanjang jalan, tubuh mereka disiksa hingga memar.

Monumen 26 para martir di Nagasaki, Jepang/
www.newssaintweb.org

Setiba di bukit kematian, kaki mereka diikatkan pada kaki salib. Mereka semua disalibkan seperti Kristus. Dari sorot mata mereka, nampak tidak ada yang kesakitan apalagi rasa takut. Sejurus kemudian, tubuh mereka ditikam dengan tombak pada rusuk kiri dan kanan. Mereka meninggal pada 5 Februari 1597 di Bukit Nishizaka (sekarang Bukit Para Martir).

Di atas salib, Cosmas terus berkotbah dengan gagah berani. Ia memberi semangat bagi umat Kristen yang menyaksikan peristiwa itu. Ia baru diam setelah sebuah tombak menembus jantungnya.

“Jangan takut pada salib. Salib adalah jalan satu-satunya yang tercepat, teraman, dan terindah bertemu Kristus,” sebutnya.

Cosmas menjadi martir terakhir yang dibunuh dari kelompok tersebut. Ia menjadi orang kudus “beruntung” karena bisa mendoakan dan menemani saudara-saudaranya sesaat bertemu saudari maut.

Petrus Jepang

Cosmas bukanlah seorang pribadi yang diharapkan Gereja untuk misi di Jepang. Dalam perjalanan imannya, Cosmas dianalogikan dengan murid Yesus, Simon Petrus, yang menyangkal Yesus tiga kali. Beberapakali kedekatannya dengan para misionaris kerapkali hanya untuk mencari keuntungan.

Secara pribadi, ia seorang yang pandai dalam bernegosiasi dengan pemerintah. Ia pandai mengambil hati banyak orang. Kemampuan retorika dan penguasaan geografis wilayah Jepang membuat para pembesar Nagasaki mengenalnya.

Para misionaris mengenal pribadi Cosmas dengan baik termasuk peranggai negatifnya. Hanya saja mereka tak bisa berbuat banyak sebab di sisi lain Cosmas selalu bertanggungjawab dalam menunaikan tugas yang diminta misionaris. Hal ini membuat para misionaris Jesuit Nagasaki tak punya pilihan lain. Bila memilih orang lain, kesulitannya harus atas rekomendasi pemerintah Nagasaki, dan itu butuh proses yang tidak mudah.

Bila kekaisaran Jepang memandang Cosmas sebagai pengkhianat, tidak bagi para misionaris. Dalam dirinya, batu karang sebagai dasar lahirnya Gereja di Nagasaki mulai dibangun. Para misionaris memanfaatkan relasinya yang luas untuk menyebarkan iman kekatolikan. Mereka meminjam mulutnya untuk berbicara tentang Sabda Tuhan. Sebab di zaman itu, berbicara tentang Kristus itu selalu berakhir di meja pengadilan.

Cosmas bukan pribadi yang jaim, tetapi selalu terbuka bagi siapapun. Selain kemampuan retorika dan kesahajaannya, ia juga dikenal sebagai tukang pandai besi pembuat katana dari owari (sejenis pedang Jepang). Keuletannya ini membuat ia kerapkali diminta untuk membuat katana untuk persediaan di kerajaan. Beberapa hasil karyanya juga pernah digunakan oleh Kaisar Toyotomi Hideyoshi (1536-1598). Bisa saja inilah alasan kenapa Cosmas cepat terkenal di kalangan istana.

 Perang Hideyoshi

Iman Cosmas terbentuk sejak kehadiran Santo Fransiskus Xaverius, yang mengawali karya di Jepang tahun 1549. Banyak orang memberi diri untuk di baptis. Tahun 1587, sudah terdapat lebih dari dua ratus ribu orang Katolik dan para misionaris dari berbagai ordo religius telah berkarya di negeri para samurai. Mereka hidup dalam kegembiraan iman dan sukacita.

Sayangnya, sejak Kaisar Hideyoshi menjabat, ia mengeluarkan kebijakan politik baru yaitu perintah Bateren Tshorei (pengusiran misionaris Kristen). Ia melarang para daimyō             (orang yang memiliki pengaruh di suatu tempat) untuk mengkristenkan pengikutnya. Kebijakan ini terkait hasutan orang terdekatnya bahwa Jepang telah dikuasai Spanyol dan Portugis. Hasutan yang tidak benar ini ditanggapi serius oleh Hideyoshi.

Santo Cosmas Takeya Sozaburō OFM bersama 25 martir dari Jepang lainnya/
www.newssaintweb.org

Di tahun berikutnya 1588, kaisar dari klan Kinoshita ini mengeluarkan perintah perburuan katana dan melarang kalangan bukan samurai untuk memiliki katana. Kebijakan politik Hideyoshi tentu saja ditentang oleh masyarakat Jepang, lebih-lebih para katanagari (pembuat katana), seperti Cosmas. Belum lagi kebijakan politik pasar bebas, kebijakan eskpor-impor, sistim perpajakan dikelola berdasarkan survei wilayah, serta sistim kelas antara orang biasa dengan kelas bushi (bangsawan). Semua ini membuat warga Jepang hidup dalam tekanan.

Para misionaris melihat politik praktis Hideyoshi tidak menyasar semua warga. Warga kelas bawah, hidup dalam tekanan kelas bushi (bangsawan). Hal ini membuat beberapa misionaris melayangkan kritik lewat khotbah dan tulisan-tulisannya. Menyadari bahaya Kirishitan (sebutan untuk orang-orang Kristen), dengan politik kolonialisme membuat Hideyoshi menangkap dan membunuh para misionaris dan umat awam.

Batu Karang

Cosmas di saat itu terus terlibat dalam misi para misionaris. Dalam karya itu, ia mengalami sebuah pengalaman yang menggembirakan. Dirinya merasakan pengalaman luar biasa yaitu semangat persaudaraan yang dihidupi para misionaris. Inilah alasan ia memberi diri dibaptis oleh seorang misionaris Jesuit. Sejak baptisan itu, Cosmas makin terbuka pada misi kekristenan dengan terus bergerilya mewartakan pesan Kristus.

Suatu ketika, dalam sebuah perjumpaan dengan seorang misionaris Ordo Saudara Dina (Ordo Fratrum Minorum/OFM), ia menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota Ordo Ketiga Fransiskan. Cosmas sangat tertarik dengan gaya hidup para pengikut Santo Fransiskus Asisi yang menawarkan hidup kesederhanaan. Mereka melakukan perjalanan dan berkotbah di jalan-jalan, tanpa takut berbicara kebenaran.

Setelah menjadi anggota Fransiskan, Cosmas diutus untuk melayani umat Katolik di wilayah-wilayah terpencil. Di zaman ini ia menikah dengan Agnes Takeya (lahir 10 September 1622), seorang wanita anggota Awam Dominikan di Nagasaki. Dari pernikahan Cosmas dan Agnes ini lahirlah Franciscus Takeya yang kemudian menjadi martir di Nishizaka, Nagasaki, Jepang pada 11 September 1622. Franciscus dan ibunya Agnes menjadi orang kudus dan dibeatifikasi oleh Paus Pius IX pada 26 Mei 1867.

Kesederhanaan dan semangat kemiskinannya membuat Cosmas dan isteri meninggalkan daerahnya dan menjadi katekis di tempat lain. Cosmas tampil sebagai anggota Fransiskan yang mengalami hidup konkrit umatnya. Ia tidak takut dicap sebagai “petrus” karena ia ingin di atas batu karang, Gereja harus didirikan.

Bersama beberapa misionaris OFM dan Jesuit, Cosmas keluar masuk desa-desa untuk melayani para katakumenat. Selain itu juga, ia sekaligus menjadi penerjemah bagi para misionaris Fransiskan di Osaka, Jepang. Tak terhitung banyak orang yang dibaptis berkat jasa Cosmas.

Karyanya dinyatakan berakhir setelah dirinya ditangkap tahun Januari 1597. Bersama 26 martir lainnya termasik Santo Paulus Miki, Cosmas dipaksa berjalan kaki dengan memikul salib. Ketika semua tiba di Bukit Nishizaka, mereka diikat pada kayu salib dan secara serempak salib mereka didirikan. Para martir merasakan sakit yang luar biasa hebat di sekujur tubuh mereka.

Dari atas bukit itu, para martir melambungkan pujian dalam doa, harapan ,dan iman. Iman mereka akhirnya bercampur dengan lagu kemenangan para warga surgawi. Tetesan darah Cosmas dan kawan-kawan membahasahi bumi samurai. Dari salib itu, iman kekristenan mulai menyebar.

Mereka meninggal tahun 1597 dan dikanonisasikan tahun 1862 oleh Paus Pus IX. Mereka yang ditangkap terdiri dari enam orang biarawan Fransiskan dari Spanyol, Meksiko dan India. Tiga orang katekis Jesuit di Jepang dan tujuh belas orang awam Katolik termasuk diantaranya beberapa anak-anak.

 Yusti H. Wuarmanuk

Majalah HIDUP Edisi 08 tahun 2020

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini