Perempuan yang Memintaku Pergi

297

HIDUPKATOLIK.COM – PEREMPUAN itu  datang ke rumah kontrakanku di sebuah sore. Ia tidak banyak berubah. Meskipun telah muncul beberapa kerutan di wajahnya, namun gurat kecantikan masa mudanya belum lenyap. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan.  Seolah begitu banyak kata-kata  yang ingin dilontarkannya namun tertahan di bibirnya yang dipulas lipstik warna merah tua.

Dengan canggung kupersilakan ia duduk di kursi   butut di sudut ruangan. Itu  satu-satunya kursi  yang bisa diduduki karena kursi lain  penuh dengan tumpukan kain-kain, kertas-kertas pola, dan kantong-kantong plastik berisi renda.

Di tengah kecamuk pikiranku, aku  menangkap keresahan di matanya. Apa yang menggelisahkannya? Mengapa  perempuan ini tiba-tiba mendatangiku? Dari mana ia tahu keberadaanku? Kupikir aku sudah bersembunyi sejauh mungkin, tepat seperti yang pernah dimintanya  dulu.

“Silakan, Bu.” Kusodorkan cangkir berisi kopi hitam tanpa gula. Entah apakah ia masih menyukai minuman itu. Aku enggan bertanya.  Ketika ia meraih cangkir itu  lalu mendekatkannya ke bibirnya,  aku sudah mendapat jawaban itu. Sesaat kemudian ingatanku tentangnya mulai tergambar jelas. Ingatan yang pahit, sepahit kopi yang terhidang untuknya kini.

***

Bu Marla namanya, pemilik sebuah butik di kota. Aku salah satu dari puluhan penjahit  baju-baju yang dipajang di butiknya. Bukan salahku kalau Gustian, putra tunggal kesayangannya jatuh cinta padaku. Pekerjaannya yang mengawasi langsung proses produksi baju membuat kami sering bertemu dan semakin dekat. Gustian tak peduli meskipun aku hanya  seorang  gadis yatim piatu yang menggantungkan hidupku di perusahaan konveksi milik ibunya.

“Aku nggak bisa jauh-jauh darimu. Ijinkan aku menjadi seseorang yang istimewa buatmu,” katanya waktu itu. Aku tak bisa membohongi hatiku bahwa lelaki itu telah berhasil memikatku. Tak butuh waktu lama hingga kami sepakat untuk menjalin hubungan lebih dekat.

Namun Bu Marla tidak menyukai hubungan kami. Ia menganggap aku tidak layak menjadi menantunya. Caranya memandangku  saat tahu kedekatan kami membuatku paham, bahwa jalan cintaku bersama Gustian tidak akan mudah.

Benar saja, suatu hari perempuan itu memanggilku di ruangan kantornya.

“Ini lebih dari sepuluh kali lipat gajimu. Ambillah untuk biaya hidupmu. Lalu pergilah sejauh mungkin. Jangan dekati Gustian lagi. Mestinya kamu tahu diri. Kamu tuh nggak layak mendampingi putraku. Gustian harus mendapat pasangan yang lebih sepadan.” Bu Marla mendorong  sebuah amplop tebal warna coklat  di atas meja ke  arahku.

Aku merasa sangat terhina sekaligus  tak berdaya melihat  caranya memisahkanku  dengan Gustian.  Duniaku langsung runtuh saat itu. Rasa sakit karena direndahkan jauh lebih menyesakkan daripada rasa sakit karena harus berpisah dengan Gustian. Masih banyak kata-kata cacian yang keluar dari mulutnya yang membuatku tak tahan untuk terus duduk di depannya. Tubuhku gemetaran menahan rasa sedih dan sakit hati. Amplop tebal warna coklat itu sama sekali tak kusentuh.

“Saya tidak bisa menerima ini,” ujarku keras. Perempuan itu menatapku tajam dengan pandangan melecehkan.

“Maksudmu  kamu tidak mau meninggalkan Gustian? Kamu tahu akan berurusan dengan siapa?” ancamnya keras. Aku menggelengkan kepalaku kuat.

“Saya janji akan menjauhi Gustian. Namun saya tidak mau menerima ini. Ibu keliru besar kalau  mengira saya mencintai Gustian karena uang ibu.” Kugeser amplop coklat itu lebih dekat ke depannya. “Saya akan pergi sesuai permintaan ibu. Tapi saya tidak akan pernah mengambil apa pun dari ibu. Sedikit pun.”

Aku meninggalkan ruangan Bu Marla dengan hati remuk. Sejak itu aku mati-matian menutup akses Gustian untuk menghubungiku. Sejujurnya aku juga menderita melihat kekasihku itu  kecewa dengan sikapku yang menjauh. Namun sisi hatiku yang lain mengatakan bahwa hidupku tak akan tenang jika meneruskan hubunganku dengannya.

Dengan berbekal sedikit uang hasil menjual rumah peninggalan orang tuaku,  aku nekad pergi dan memulai hidup baruku ratusan kilometer  dari kota itu. Di tempat yang baru aku  bertahan hidup  dengan menawarkan jasa jahitan.

Setelah delapan tahun berlalu,  kini kedatangan Bu Marla membuatku kembali terperangkap dalam  kenangan yang ingin kulupakan. Tidak ada yang berubah darinya selain raut wajahnya yang diliputi kegelisahan. Untuk beberapa saat, aku masih diam menunggunya mengucapkan sesuatu.

“Aku hampir putus asa mencarimu. Salah satu pelanggan jahitanmu yang kebetulan kukenal memberi tahu alamatmu padaku.” Bu Marla menjelaskan sebelum aku menanyakannya.

“Mengapa ibu mencari saya? Bukankah ibu yang menyuruh saya pergi?”

“Aku menyesal.” Kulihat ada genangan yang terkumpul di matanya. Dibukanya tasnya lalu dikeluarkannya selembar tisu untuk mengusap genangan itu. Kini aku benar-benar melihatnya sebagai perempuan yang berbeda. Keangkuhannya lenyap seperti tak pernah ada. Apa yang telah dialaminya hingga membuatnya berubah?

“Ini tentang Gustian,” lanjutnya lagi.

“Kenapa Gustian, Bu?”

“Kukira setelah kamu menghilang dari kehidupannya, ia akan melupakanmu. Kupikir perasaannya padamu hanya main-main, seperti yang biasa ia lakukan bersama gadis-gadis sebelum kamu.” Bu Marla menunduk lalu kembali mengusap matanya. “Aku salah. Setelah tahu kamu pergi karena perintahku,  Gustian tak mau bicara padaku.  Ia menghilang beberapa bulan  tanpa kabar. Lalu suatu hari ia pulang dalam keadaan sakau. Ia terlibat narkoba dan sempat menjalani hidup dalam penjara.” Bu Marla mulai terisak.  Dadaku langsung sesak. Berbagai rasa berkecamuk antara sedih, marah, dan menyesal menjadi satu.

“Bagaimana keadaan Gustian sekarang, Bu?” tanyaku ingin tahu. Perempuan itu kembali mengusap air matanya.

“Ia tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku sudah berusaha mencarimu, tapi kamu benar-benar menghilang.”

“Saya hanya menuruti keinginan ibu,” sahutku dengan nada menyalahkan. Perempuan itu menganggukkan kepalanya sambil terisak.

“Aku menyesal. Karena semua itu membuatku harus  kehilangan dia.”

“Maksud ibu?” Dadaku berdebar keras.

“Maafkan aku. Gustian meninggal  tahun lalu. Ia pergi dalam keadaaan sakit dan kecewa padaku.” Perempuan itu tak lagi mampu membendung air matanya. Kurasakan pandanganku mulai mengabur. Kugigit bibirku kuat-kuat dan kuremas jemariku yang gemetaran. Jadi ini yang membuat perempuan itu kehilangan keangkuhannya? Tentu rasa sesal itu sangat luar biasa. Bahkan mungkin jauh lebih besar daripada apa yang sedang kurasakan.

“Maa…” Suara lelaki kecil kesayanganku  membuat kami serentak menoleh ke arah pintu.  Rega menghambur ke pelukanku.

“Sudah pulang sekolah sayang?” Aku mengelus kepalanya. Susah payah kuhapus air mataku. Lalu aku kembali melihat ke arah Bu Marla.  “Ayo salaman dulu sama Ibu Marla.” Aku mendorong lembut tubuh Rega ke arah Bu Marla. Bocah itu  mengulurkan tangannya dan meletakkan tangan Bu Marla di keningnya. Bu Marla tak lepas menatap Rega. Aku paham. Ia pasti  mengenali  sesuatu di wajah lelaki kecilku itu.

“Putramu?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Berapa usianya?”

“Delapan tahun.”

Bu Marla lalu perlahan beranjak dari kursinya. Ia membungkukkan badannya  di depan  Rega.  Lelaki kecilku itu terlihat sedikit bingung lalu menempelkan tubuhnya padaku.  Ia memalingkan wajahnya saat Bu Marla berusaha mengelus rambutnya yang ikal.

“Siapa namamu, Nak?” tanyanya lembut. Aku belum pernah mendengar perempuan itu mengucapkan kata-kata selembut itu. Rega menyebut namanya  sambil masih menatap Bu Marla dengan pandangan bingung. Namun ia membiarkan saja saat tangan perempuan  yang baru dikenalnya itu mengelus pipinya.

“Kamu mirip sekali dengan putraku sewaktu seumurmu. Sangat mirip.” Bibir Bu Marla bergetar. Ada nada kerinduan dalam suaranya. Aku tak sanggup menahan isakku. Apalagi saat Bu Marla kembali  menatapku dengan penuh tanya.

“Katakan padaku. Apakah  dia cucuku?” tanyanya. Aku diam. Kuraih kepala Rega lalu kubenamkan dalam dadaku. Tak sanggup lagi kutahan tangisku. Isakku semakin keras hingga membuat Rega mendongakkan kepalanya dan menatapku dengan heran.

“Mama kenapa? Siapa dia?” Rega terus bertanya.

Aku lalu mendongak ke arah perempuan itu. Kuanggukkan kepalaku kuat-kuat.

“Oh Tuhaann… Gustian tahu hal ini?” Suara Bu Marla semakin parau. Aku menggeleng.

“Saya memilih diam karena tak ingin membuat masalah di keluarga ibu. Ini putra saya. Hanya Rega  peninggalan Gustian untuk saya.”

Lalu pecahlah tangis kami berdua. Bu Marla meraihku dan Rega dalam pelukannya.

“Betapa jahatnya aku, memisahkan kalian dengan Gustian.” Perempuan itu melanjutkan tangisnya. Kini aku tak lagi melihatnya sebagai Bu Marla yang angkuh. Ia menjelma seorang ibu yang penuh kasih dan kelembutan. Sambil masih terisak, tubuh Bu Marla merosot ke bawah. Ia berjongkok di depan lututku. Kulepaskan rangkulanku pada Rega lalu kuangkat tubuh perempuan itu. Kami pun kembali berpelukan.

“Kamu mau memaafkanku?” tanya Bu Marla lagi setelah tangis kami mereda. Aku menganggukkan kepalaku. Barangkali setiap orang ditakdirkan untuk menjalani hidup dengan orang-orang tertentu. Sepertinya sudah takdirku untuk tidak menjadi bagian dari hidup Gustian. Namun mungkin aku  harus menjalani sisa hidupku bersama Rega dan Bu Marla.

Oleh Tantrini Andang

HIDUP, Edisi No. 44, Tahun ke-75, Minggu, 31 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini