Beato Bartolomé Blanco Márquez (1914 –1936) : Surat Terakhir Martir Ekaristi

288
Beato Bartolomé Blanco Márquez / www.seducidosporjesus.blogspot.com

HIDUPKATOLIK.COM – SIAPAPUN yang mati untuk Kristus harus menghadap ke depan, berdiri tegak, dan membuka mata memandang peluru surgawi, ujar Bartolomé Blanco Márquez sebelum ditembak.

UNTUK Maruja…Ingatanku akan cintamu akan lenyap dalam makam gelap. Selamat hatiku berdetak, di situ ada cintamu. Aku ingin hidup bersamamu, tetapi Allah ingin sesuatu yang lain. Maruja, Allah ingin meninggikan kasih duniawi lewat pengorbananku. Di hari-hari terakhir ini, saya berterima kasih karena engkau telah menemaniku.

Penggalan puisi dari Bartolomé Blanco Márquez untuk Maruja, sang pacar sesaat sebelum dibunuh. Bartolomé adalah satu dari 498 martir yang dibeatifikasi Paus Emeritus Benediktus XVI pada Oktober 2007 di Lapangan Basilika St Petrus Vatikan.

Bartolomé meninggal dalam usia 22 tahun karena menolak melepaskan imannya. Ia dibunuh oleh Angkatan Bersenjata yang memberontak melawan diktator Spanyol, Francisco Paulino Hermenegildo Teódulo Franco y Bahamonde Salgado Pardo (1892-1975) atau Jenderal Franco. Ia dijatuhi hukum mati dengan cara ditembak pada 2 Oktober 1936.

Misteri Ekaristi

Saat lawatan apostolik ke Santiago de Compostela, Spanyol, November 2010, Paus Benediktus XVI mengingatkan warga Spanyol akan sentimen anti pemuka agama yang agresif. Ia mengajak warga Spanyol mengenang sejarah kelam bentrok antar agama yang pernah terjadi di negeri Matador.

Pengalaman konfrontasi di era 1930-an pernah memporak-porandakan Spanyol. Nilai kemanusiaan, moral, sosial, dan spiritual sekejap hilang setelah Jendral Franco berkuasa. Sistim kerajaan berbasis konstitusional dengan demokrasi multipartai ditancapkan sebagai taring kesatuan nasional.

Beato Bartolomé Blanco Márquez dan sang adik Antonio Márquez/
www.seducidosporjesus.blogspot.com

Orang Kristen tradisional pun terpaksa terseret arus pemerintahan ini. Konsekwensinya, paham sekularisme berasas multiagama secepat kilat menjadi budaya orang Kristen tradisional. Tetapi sebagian besar juga Kristen tradisional dengan cepat bergerak mengamankan situasi ini. Misi “menyelamatkan Allah” dari perbudakkan Franco dimulai dari Catalonia sampai ke pelosok-pelosok Spanyol.

Satu dari sekian ribu umat yang berjuang mempertankan iman ini adalah Bartolomé. Berjiwa muda dan penuh kesalehan, begitu orang mengenalnya. Dirinya tak ingin menerima tawaran baru soal percaya pada Tuhan. Baginya iman adalah ekspresi personal kepada Tuhan yang ditunjang dengan ketaatan. Meski berusia remaja, ia berpikiran arif dengan menolak segala bentuk kebebasan beriman yang ditawarkan pemerintah.

Kelahiran Pozoblanco, Provinsi Córdoba, Spanyol, 25 November 1914 ini tidak memiliki alasan pasti untuk melepaskan imannya. Menurutnya Katolik artinya menerima dengan iman, wahyu Tuhan, dan mau menanggapi undangan-Nya. Kristus yang diikuti harusnya menjadi pusat hidup manusia. Dia adalah pribadi mewahyuhkan Diri-Nya dan bersatu dengan manusia.

Kebenaran ini membuat Bartolomé bertumbuh menjadi remaja yang saleh. Meski menjadi yatim piatu sejak kecil, ia dan adiknya Antonio merasa Kristus adalah kekuatannya. Maka sejak diasuh oleh bibi dan pamannya, Antonio Blanco García dan Ana Blanco Yun yang berprofesi sebagai pengrajin kursi, ia bertumbuh menjadi pribadi yang lugas dan bertanggungjawab. Ia tak lalai dalam doa pribadi. Berkat imam-imam Salesian Pozoblanco, ia menjadi katekis awam pada usia 18 tahun. Di usia ini juga, ia menjadi sekretaris bagi akis Katolik di Paroki Santa Catalina, Pozoblanco.

Gambar Beato Bartolomé Blanco Márquez diusung beberapa pemudi dari Spanyol saat beatifikasi di Lapangan Santo Petrus Vatikan/
www. martires.centroeu.com

Anak muda energik seperti Bartolomé menyadari bahwa kehadiran Kristus secara nyata dalam Gereja adalah saat Ekaristi. Kristus yang hadir secara aktif atas kuasa Roh Kudus telah mengurapi para imam untuk membuat mukjzat; hosti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Ia sangat tertarik dengan peristiwa konsekrasi saat Ekaristi.

Ia berangan-angan tubuh Kristus yang disantapnya kelak menjadikan dirinya sebagai sakramen kesatuan untuk menyelamatkan Gereja dari berbagai ajaran. Ia ingin menjadi satu Korban dari satu Kristus, yang wafat dan bangkit. Remaja periang ini ingin seperti Kristus yang rela tubuhnya tercabik-cabik demi keselamatan manusia.

Refleksi ini terus dibawahnya sampai ketika dipaksa wajib militer. Beberapakali diutus bela negara, Bartolomé berpegang teguh pada perkataan Rasul Paulus,…Kristus adalah segalanya (Kol. 3:11). Dengan ketaatan menerima Kristus dan ajaran-Nya ini, Bartolomé ingin berbuat sesuatu kepada Gereja. Pada 18 Agustus 1936, saat menjalani cuti militer. Selama masa ini, ia menolak segala bentuk mobilisasi Angkatan Bersenjata yang ingin menggulingkan militer Franco.

Ia percaya perkataan Kristus, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Fil. 1:21), tetapi menurutnya kematian melawan Franco hanya kebodohan. Tidak ada keuntungan melawan sang diktator sebab tindakan tersebut adalah partisipasi manusiawi bukan kehendak Ilahi. Bartolomé bila kelak meninggal, ingin seperti Kristus dimana kematiannya memberi efek pertobatan bagi banyak orang.

Peluru Surgawi

Ketakterlibatan ini membuat putra pasangan suami isteri Ismael Blanco Yun dan Felisa Márquez Galán ditahan dan dipenjarakan di Penjara Jaen, Spanyol, pada 24 September 1936. Di sana ia bertemu beberapa imam dan awam Katolik. Bukan rasa takut yang didapat dalam penjara, malahan rasa syukur karena bisa bebas merayakan Ekaristi tanpa harus mencari imam. Setiap malam para imam bergantian membagikan roti pengganti hosti kepada para tahanan. Sungguh iman Bartolomé semakin mendalam akan Ekaristi.

Selama persidangannya, Bartolomé menolak semua tawaran pembebasan bila menanggalkan iman. Tak mudah mengubah iman remaja 22 tahun ini. Kematian yang berefek pertobatan bagi umat manusia seperti Kristus adalam misi Bartolomé. Dirinya tidak memprotes segala fitnah di pengadilan. Bahkan ketika dijatuhi hukuman mati, Bartolomé menengadah ke awan dan membuat tanda salib.

Bartolomé menulis kepada keluarganya, “Bila kelak Anda ingin membalas kematian saya, balaslah secara Katolik. Dalam iman Katolik tidak ada pedang ganti pedang tetapi hati ganti hati. Kekerasan hanya bisa dibalas dengan kasih. Lewat itu kita akan disebut orang-orang merdeka yang memberi pengampunan kepada banyak orang.”

Menurut dokumen positio beatifikasinya, Bartolomé berjalan ke tempat eksekusi dengan bertelanjang kaki: agar lebih sesuai dengan Kristus. Ia membuka baju dan hanya menggunakan sehelai kain pengganti celana.

Sebelum ditembak, ia mencium borgol, hal ini mengejutkan para tentara. Dia menolak untuk ditembak dari belakang. Ia berkata, Siapapun yang mati untuk Kristus harus menghadap ke depan, berdiri tegak, membuka mata memandang peluru surgawi. “Untuk Kristus Raja kita, Jadilah!,” teriaknya saat terjatuh ke tanah di bawah guyuran peluru.

Ia meninggal sebagai martir sekaligus kematiannya memberi efek pertobatan bagi beberapa rekannya yang dipenjara. Mereka yang pelan-pelan melupakan iman melihat kejadian ini sebagai bentuk pertobatan hakiki. Satu per satu menawarkan diri dihukum mati dengan cara ditembak sambil menghadap ke depan.

CNA, 2007 mencatat, saat pemberontakan militer terhadap Franco sedikitnya 6.800 klerus dan religius yang dibunuh. Diantaranya 13 uskup; 4.172 imam dan seminaris; 2.364 biarawan; 283 biarawati, dan pemuka pemuka agama meninggal dunia. Red Teror ini membuat Bartolomé dan rekan-rekannya dibeatifikasi oleh Paus Emeritus Benediktus XVI pada 28 Oktober 2007 di Lapangan Basilika Santo Petrus Vatikan.

Beatifikasi ini dibuat secara bertahan. Paus Yohanes Paulus II (1020-2005) membeatifikasi sekitar 500 martir (1987-2001). Paus Benediktus membeatifikasi sekitar 498 martir pada Oktober 2007. Dalam kelompok orang-orang ini terdapat nama Martir Ekaristi Beato Bartolomé Blanco Márquez. Sementara Paus Fransiskus pada 13 Oktober 2013 membeatifikasi sekitar 522 martir.

Kematian Beato Bartolomé meninggalkan satu jejak iman: Kristus akan terus hidup dalam rusuk dan darah orang Katolik Spanyol. Air dan darah Kristus menandakan Pembaptisan sekaligus pembaharuan batin dalam pertobatan bagi Gereja Spanyol.

“Kematian para martir Spanyol layak seperti kisah manusia pertama. Tuhan membuat Adam dan mengatakan, Tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Tuhan telah mengambil sebuah tulang rusuk para martir Spanyol dan menempatkan dalam  tubuh umat Katolik Spanyol. Tulang itu harus memberi nyawa,” ujar Paus Benediktus dalam Misa Beatifikasi para Martir Spanyol.

Yusti H. Wuarmanuk

Majalah HIDUP edisi 10 tahun 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini