Konkretnya Makna Kekudusan, Bagaimana dengan “Masa Lalu” yang Kelam

262

HIDUPKATOLIK.COM – KEKUDUSAN. Sebagian besar dari kita tentu tidak asing dengan kata tersebut. Akan tetapi, mungkin tidak sedikit pula yang merasa bahwa kata tersebut cukup “abstrak”. Tidak begitu mudah bagi kita menunjukkan arti kekudusan secara gamblang. Agaknya mengungkapkan makna kekudusan memerlukan suatu permenungan yang personal dan mendalam. Tidak tertutup kemungkinan bila makna kekudusan yang saya pahami berbeda dengan yang anda pahami. Tentu ini bukan sebuah permasalahan mengingat pengalaman seseorang memengaruhi pemahamannya terhadap sesuatu hal. Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bila kekudusan memiliki makna dan pemahaman yang beranekaragam.

 

Sebagai contoh, kita tidak asing dengan karya klasik Imitatio Christi (diterjemahkan menjadi “Mengikuti Jejak Kristus) karya Thomas a Kempis. Dalam karyanya itu, teolog dan mistikus abad pertengahan tersebut sangat menekankan pentingnya membangun hidup rohani (batin) dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam buku kedua diterangkan soal sikap tunduk dengan rendah hati (II), kegembiraan yang kita peroleh dari hati nurani yang bersih (VI), persahatan akrab dengan Yesus (VIII), keluhuran jalan salib suci (XII), dan sebagainya. Walaupun karya tersebut dibuat pada zaman baheula (± abad ke-14), namun rasa-rasanya tema-tema di atas masih relevan bagi kita yang hidup di zaman serba-modern ini.

Di samping itu, kita mengenal (setidaknya pernah mendengarkan) seruan apostolik Gaudete et Exultate (“Bersukacita dan Bergembiralah”) dari Bapa Suci Paus Fransiskus. Dokumen Gereja yang diterbitkan pada 19 Maret 2018 ini pun secara gamblang mengungkapkan aneka bentuk dari kekudusan. Misalnya, dalam bab empat yang berjudul “Beberapa Ciri Kekudusan di Dunia Dewasa Ini”, kita melihat beberapa tema, antara lain; (1) ketekunan, kesabaran, dan kelemahlembutan, (2) sukacita dan rasa humor, (3) keberanian dan gairah, (4) dalam komunitas, dan (5) dalam doa yang terus menerus.

Secara sekilas, dokumen ini hendak menunjukkan (bahkan menyerukan) kepada kita bahwa kekudusan itu adalah sesuatu yang sangat konkret. Kekudusan bukanlah sesuatu yang mengawang-awang di atas awan sana. Kekudusan itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dicapai dalam peristiwa sehari-hari yang remeh-temeh sekalipun. Bahkan, secara jelas dikatakan demikian “…Kekudusan tidak akan mengambil daya, hidup, dan kegembiraan Anda. Justru sebaliknya, Anda akan menjadi apa yang dikehedaki Bapa saat menciptakan Anda, dan Anda akan menjadi setia pada keberadaan Anda sendiri…” (no 32. “Semakin Hidup, Semakin Manusiawi”).

Lantas, bagaimana kita memaknai hakikat kekudusan secara personal? Apakah dengan meniru keteladanan para kudus yang betah bersujud di hadap Sakramen Maha Kudus selama berjam-jam? Atau mungkin dengan menggulirkan manik-manik Rosario ketika berjalan kaki di tengah keramaian? Rasa-rasanya di zaman yang semakin tersekularisasi ini, cara-cara semacam itu sulit untuk dipertahankan.

Kita perlu bersikap realistis, yakni berlaku kudus dengan citra yang lebih manusiawi. Salah satunya adalah dengan bersungguh-sungguh dalam menghidupi tugas, peran, dan profesi yang dipercayakan kepada kita semua. Sebut saja, seorang pelajar/mahasiswa berusaha sebaik-baiknya dalam mempersiapkan ujian yang akan dihadapinya. Harapannya supaya mendapatkan hasil yang optimal. Contoh lain, seorang koki akan merasa puas bila menyajikan hidangan yang terbaik (lezat dan higienis) kepada para pelanggannya. Atau mungkin seorang bidan yang membantu proses persalinan seorang ibu agar dapat berjalan dengan lancar dan selamat. Tentu, masih banyak lagi contoh yang bisa anda tambahkan. Namun, menjadi jelas bahwa menggapai kekudusan sangatlah mudah, tergantung seberapa besar niat, usaha, dan pengharapan kita untuk menuju ke arah kekudusan itu.

Akhir kata, secara pribadi saya menyadari bahwa menjadi kudus bukanlah berasal dari kekuatan diri sendiri. Lebih dari itu, kekudusan merupakan rahmat yang harus selalu kita mohonkan kepadaNya. Memang, tidak dipungkiri bahwa kita kerapkali mengalami jatuh-bangun dalam meraih kekudusan. Namun, bukankah sebagian dari santo-santa juga pernah mengalami “masa lalu” yang kelam? Dalam hal ini, rasa-rasanya kita perlu meneladani sikap mereka yang senantiasa bertransformasi diri agar makin serupa dengan-Nya. Toh bukankah Tuhan memanggil setiap umat manusia menuju kekudusan?

“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:9).

Fr. Gabriel Mario L, OSC, tinggal di Biara OSC, Bandung

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini