HIDUPKATOLIK.COM – KONGREGASI Jenderal (KJ) ke-36 pada tahun 2016 menyoroti masalah kerja sama dengan yang lain. Dijelaskan oleh Pemimpin Umum Serikat Jesus (SJ), Pater Arturo Sosa, SJ dalam buku “Berjalan Bersama Ignatius” bahwa misi Serikat dalam KJ ini dipahami dengan cara yang lebih utuh: bukan hanya misi Serikat semata, tetapi misi Kristus yang dipercayakan kepada Gereja, di mana Serikat ikut berpartisipasi. Dengan demikian, Serikat terhubung dengan akarnya dan dengan sebuah dokumen Gereja yang terkadang terlupakan, yaitu Seruan Apostolik “Evangelii Nuntiandi” dari Paus Paulus VI, yang merupakan dokumen yang paling jelas menggambarkan eklesiologi Konsili Vatikan II.
Preferensi Kerasulan Universal (UAP) yang baru, yang disetujui pada Februari 2019 merupakan konsekuensi dari KJ ke-36. Dalam UAP baru ini diminta agar ditetapkan beberapa preferensi berdasarkan revisi dari yang sudah ada. Kebaruannya dijelaskan Pater Sosa terletak pada proses untuk mencapainya, yakni pemahaman bahwa pengambilan keputusan harus dilakukan setelah sebuah diskresi yang luas. UAP sendiri adalah buah proses diskresi yang berlangsung selama dua tahun. Semua Jesuit dan rekan dalam perutusan diundang untuk ambil bagian. Kesimpulan dari proses ini ialah peneguhan dari Paus Fransiskus dalam suatu pertemuan khusus dengan Pater Jenderal Arturo Sosa, SJ.
Preferensi ini memberi cakrawala, titik rujukan bagi seluruh Serikat. Preferensi ini adalah imajinasi yang membangkitkan hasrat-hasrat dan yang mempersatukan dalam perutusan. Pilihan-pilihan baru tersebut adalah empat wilayah yang vital bagi dunia sekarang ini, yakni: (1) Menularkan diskresi dan Latihan Rohani untuk membantu sesama menemukan dan mengikuti Yesus Kristus; (2) Berjalan bersama yang terkucilkan untuk berjalan bersama kaum miskin, mereka yang terbuang di dunia, mereka yang martabatnya telah diperkosa, dalam misi rekonsiliasi dan keadilan; (3) Merawat rumah kita bersama untuk bekerja dengan kedalaman Injil, bagi perlindungan dan pembaruan Ciptaan Tuhan; dan (4) Penjelajahan bersama orang muda untuk menemani kaum muda dalam menciptakan masa depan yang penuh harapan. UAP ini akan berlaku sejak 2019 hingga 2029.
Menerapkan Dalam Keseharian
Semenjak diperkenalkan, hampir semua lembaga karya SJ mencoba mengenal dan mempelajari. Rektor-Ketua Pengurus Yayasan De Britto, Yogyakarta Romo Cyprianus Kuntoro Adi, SJ, akrab disapa Romo Kun mengungkapkan adanya kesepakatan UAP diintegrasikan ke dalam strategis masing-masing lembaga. “Bagaimana UAP mempengaruhi seluruh karya kita. Bukan hanya secara pribadi tetapi secara kelembagaan. Di de Britto kami melakukan beberapa hal. Pertama, mendalami secara bersama-sama UAP. Kedua, mencoba melakukan refleksi tentang empat poin, kemudian masing-masing berbicara secara sukarela. Kemudian kami sharing satu sama lain kira-kira apa yang bisa dilakukan bersama,” tutur Romo Kun.
Dari usaha-usaha tersebut maka sebagai sebuah institusi pendidikan, keempat poin pada UAP sungguh diterapkan oleh keluarga besar SMA de Britto dalam kehidupan sehari-hari. Kepala Sekolah SMA Kolese De Britto, F.X. Catur Supatmono mengungkapkan, dalam Kolese ini dibangun spiritual conversation antara guru, karyawan dan siswa disela-sela pekerjaan. “Selain itu juga ada proses, bagaimana guru dan murid berdiskresi bersama dalam mengambil keputusan termasuk bagaimana cara kami bersyukur atas berbagai pengalaman hidup dan terbuka atas kehendak Allah,” tambahnya.
Siswa diajak mengenal dirinya sendiri. Menurut Romo Kun, Kolese wajib mendampingi mereka untuk mengenal dirinya, hidupnya, termasuk nilai-nilai yang dihidupi oleh keluarga. Mereka diajak untuk memetakkan siapakah dirinya, termasuk tentang hal yang disyukuri, disesalkan, hal terdalam yang ingin dikatakan kepada orangtua, karakter yang ingin dikembangkan, lalu aksi nyata apa. “Kemudian dari pengalaman itu semua, kami mengajak mereka melihat dari kacamata Ignatius, maka kami menyebutnya sebagai Walking with Inigo. Anak-anak diajak merefleksikan hidupnya berserta dengan orangtua. Orangtua diajak dengan cara berjalan. Dalam perjalan itu ada percakapan keluarga tetapi juga ada meditasinya, lalu dalam perjalanan itu mereka mencatat dalam aplikasi Strav. Ini seperti mengikuti Inigo yang berziarah. Seperti Tahun Ignatian, tahun perziarahan,” tutur Romo Kun.
Pokok yang menarik dan relevan di masa pandemi adalah bagaimana menerima dan menyambut orang yang paling rentan di sekolah. Rentan dalam hal apa? Rentan dalam hal ekonomi, perhatian dan pergaulan (bully). Sehingga ada program beasiswa, pendampingan dan sebagainya. Menurut Catur, munculah pemahaman bahwa apa yang dilakukan di lingkungan sekolahg sama seperti menjadi formator bagi para siswa. Munculnya kesadaran penting bagi guru, karyawan dan pengurus yayasan mendampingi siswa dalam proses pendidikan dengan caranya masing-masing. “Bahkan petugas fotocopy yang membantu mecopy lembaran soal juga mengambil peran mendampimgi siswa di sekolah. Kesadaran-keasadaran itu mulai muncul saat kami menerapkan UAP dikeseharian kami. Hal ini meneguhkan kami semua walaupun kecil memberikan kontribusi pada orang muda menciptakan masa depan yang penuh harapan,” terangnya.
Catur juga membeberkan mengenai kegiatan merawat bumi juga mulai dilakukan di lingkungan sekolah. Misalnya, ada pelanggaran menggunakan botol-botol plastik dan menghimbau membawa tumbrl ke sekolah, menyediakan alat-alat yang memungkinkan untuk mengambil air layak minum, mengurangi penggunaan kertas dalam keseharian, sampai bersepeda ke sekolah.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMA Kolese de Britto, Romo Hugo Bayu Hadibowo, SJ menambahkan bahwa Kolese juga mengoptimalkan lagi fungsi campus ministry. Nantinya akan ada program retret yang baru dimulai semester ini. Untuk seterusnya para guru akan diberi kesempantan retret untuk mengolah rohani, supaya dengan menemukan Allah, mereka bisa menemani orang tersingkir dan para orang muda.
Solider dengan yang Terkucilkan
Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia adalah lembaga kemanusiaan dengan misi menemani, melayani, dan membela hak pengungsi di Indonesia. JRS Indonesia sendiri adalah salah satu lembaga Jesuit yang melaksanakan UAP . Direktur JRS Indonesia, Romo Peter Devantara, SJ menuturkan bahwa karya kerasulan JRS Indonesia mengintegrasikan UAP ke dalam karya kerasulan Serikat Jesus Provinsi Indonesia dalam misi rekonsiliasi keadilan. Lebih lanjut Romo Peter menjelaskan bahwa preferensi kerasulan sudah menjadi misi JRS sejak awal di mana JRS yang didirikan oleh Pemimpin Umum SJ (1965-1983), Pater Pedro Arrupe, SJ telah hadir menemani pengungsi sejak 14 November 1980. “JRS Indonesia hadir untuk menemani para pengungsi, terutama mereka yang tersingkir dan terabaikan,” tegasnya.
Keprihatinan kepada pengungsi harus diberikan secara khusus sebab Romo Peter menuturkan negara Indonesia belum memberikan hak bekerja untuk para pengungsi. Negara hanya memberikan hak belajar di sekolah kepada anak-anak pengungsi dari umur 7-12 tahun. Anak-anak itu pun harus dijamin oleh satu organisasi, harus mempunyai surat izin dari kantor imigrasi setempat, namun miris, mereka tidak akan menerima ijazah. Cara menyebut pengungsi sebagai imigran ilegal dan imigran gelap juga menjadi perhatian Romo Peter. Menurutnya, penyebutan demikian amat melukai martabat seorang manusia. “Itulah kenyataan yang ditanggapi oleh JRS, kenyataan penderitaan para pengungsi,” sebutnya lirih.
Untuk menemani pengungsi, berjalan bersama mereka yang tersingkirkan, JRS giat dalam interaksi sehari-hari bersama para pengungsi. Ini dilakukan untuk melindungi hak-hak pengungsi atas kebutuhan esensial, mulai dari makan, minum, tempat tinggal agar tidak terlunta di pinggir jalan, layanan kesehatan, dan perkembangan potensi diri. Para pengungsi juga bisa mengikuti pelatihan ketrampilan untuk bertahan hidup selama di Indonesia. Dalam proses ini, JRS menyediakan ruang-ruang kolaborasi dengan warga Indonesia di sekitar para pengungsi. “Jadi, ada kerja sama antara JRS, pengungsi, dan masyarakat di sekitar para pengungsi,” imbuhnya. Guna mendukung kolaborasi ini, JRS mempunyai pusat belajar yang dikelola oleh JRS bersama para pengungsi di Bogor. Tempat ini disebut JRS Learning Center yang menyelenggarakan kursus bahasa Inggris, bahasa Indonesia, latihan yoga dan meditasi bagi mereka yang ingin memelihara kesehatan jasmani dan rohani. Tak lupa, JRS senantiasa mengajak semua pihak untuk ikut berkolaborasi. “Beberapa kali Uskup Bogor mengundang JRS untuk menceritakan karya kami kepada para imam dan rekan mereka dalam pelayanan pastoral di Keuskupan Bogor. Kepada pelayan pastoral pada 27 Agustus 2019, JRS mengisahakan pelaksanaan misi, lalu tiga bulan kemudian bangkitlah kepedulian Komunitas Serikat Sosial Vincentius (SSV) dari Paroki Sentul, Bogor untuk bertindak bagi para pengungsi. Mereka menyelenggarakan pelatihan kekriyaan atau ketrampilan tangan bagi para pengungsi di JRS Learning Center,” ungkapnya riang.
Dalam mewujudkan UAP untuk berjalan bersama orang muda, JRS juga berkomitmen merawat para pengungsi muda. Pengungsi muda menghadapi banyak tantangan dalam dunia yang tidak memberikan alasan bagi mereka untuk mengharapkan masa depannya. Oleh karena itu, JRS melibatkan para pengungsi muda untuk membantu diri mereka sendiri dan para pengungsi yang lain dalam upaya memulihkan diri, merawat harapan, dan membangun masa depan. Sebagai contoh, tahun 2020 ada perahu yang mengangkut sebanyak 396 pengungsi Rohingnya mendarat di Aceh. Sebagian besar dari mereka adalah pemuda-pemudi dan anak-anak. Menanggapi itu, JRS menyediakan makanan tiga kali sehari, bermain dan berbincang bersama orang muda dalam kamp pengungsian di Aceh. “Fokus JRS itu selalu masa depan orang muda,” terang Romo Peter.
Kemudian untuk mewujudkan preferensi memelihara rumah kita bersama, JRS melayani sekelompok pengungsi yang mengolah tanah dengan bertani. Pada tiga tahun terakhir terhitung sejak 2019 -2021, JRS bersama para pengungsi semakin berani mewujudkan ide kreatif. Tujuannya bukan hanya agar pengungsi bisa mencukupi kebutuhan pangan, tetapi agar mereka bisa juga mempraktikkan ekologi integral melalui cara yang sederhana. Hal ini dilakukan sebab untuk melindungi masa depan martabatnya sendiri, manusia perlu memperbaiki ekosistem yang rusak. Kewajiban manusia untuk memelihara planet ini merupakan konsekuensi martabat manusia sebagai yang diciptakan secitra dengan Allah. Meskipun para pengungsi yang bertanam sayur-mayur ini harus menerima beberapa pembatasan, tetapi mereka tetap gigih dan bertindak secara proaktif dalam memberdayakan diri. Uniknya, para pengungsi dan JRS juga mengajak warga Indonesia yang berusia sama dengan mereka untuk bercocok tanam agar ketrampilan untuk mengelola lahan pertanian dengan cara yang ramah lingkungan semakin meluas. “Mereka mewujudkan komunitas yang agraris, yang akrab dengan tanah dan air, karena mereka dapat mengandalkan bumi untuk menganjar jerih payah dan tetes-tetes keringat mereka dengan hasil bumi yang dapat mereka masak menjadi pangan sehari-hari,” jelasnya.
Sedangkan dalam preferensi menunjukkan jalan menuju Allah, dalam refleksinya Romo Peter menyebutkan preferensi ini menjadi sakramen cinta kasih Allah yang universal. Di JRS, orang-orang yang lemah dan berdosa menanggapi panggilan Allah dengan pemberian diri dalam solidaritas sehari-hari, sehingga menjadi komunitas yang kreatif karena orang-orang yang berdosa dan menanggapi panggilan Allah itu menyatukan karya. Misi dan komitmen mereka untuk merangkul para pengungsi yang diabaikan dan disingkrikan. Mereka adalah anggota staf JRS, sukarelawan, para warga Indonesia, para pengusngsi, para religius, orang-orang Katolik dan beragama lain,laki-laki dan perempuan. Romo Peter memungkasi, “Betapa proses dan hasil kerja mereka yang berada dikomunitas ini tidak ideal dan tidak sempurna, pluralitas JRS dan para pengungsi menampakan dan menghadirkan sesuatu yang sempurna, yakni cinta Allah yang universal. Selama berjalan bersama pengungsi, JRS akan terus menjadi tanda dan pelayan universal.” Ia pun berujar bangga dan syukur bisa menjadi bagian dari SJ yang memiliki empat UAP. “Inilah cara SJ sebagai bagian dari Gereja menanggapi tanda-tanda zaman,” ucapnya tersenyum.
Dengan ini Romo Peter berharap umat Katolik di Indonesia juga semakin peduli dengan para pengungsi di Indonesia di mana jumlah mereka ada sekitar 7000an di area Jakarta dan Bogor. Bersama itu sekaligus membuncah harapan agar JRS bisa semakin bersinergi dengan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) untuk membagikan inspirasi dan pengalamannya dalam kerasulan ini.
Memberikan Daya
Di Gereja Santa Theresia Paroki Bongsari, Keuskupan Agung Semarang (KAS), persiapan pengimplementasian UAP sedang dilaksanakan dengan sangat matang. Vikaris Parokialis Paroki Bongsari, Romo Bonifasius Melkyor Pando, SJ menuturkan, proses mewujudkan UAP ini dibagi dalam dua bagian. Pertama, melakukan percakapan rohani dengan metode sharing tiga putaran sambil berdiskresi. Kemudian di bagian kedua masuk dalam penyusunan program. Imam yang akrab disapa Romo Melky ini menegaskan bahwa pentingnya peran Steering Committee (SC) untuk mengawal penyusunan dan implementasi dari UAP. Percakapan rohani yang dibahas dalam bagian pertama tadi selanjutnya akan dibantu dirumuskan dalam kerangka umum implementasi UAP oleh SC. “Kerangka umum ini melingkupi visi yang mau dicapai, misi bersama dengan nilai dan keunggulan paroki ini,” jelasnya. Perumusan ini dijelaskan Romo Melky tidak hanya berpaut pada UAP semata tetapi juga berdasarkan Arah Dasar KAS.
Menyangkut kekhasan paroki yang dilayaninya, ia merujuk pada perpaduan dua spiritualitas yakni Latihan Rohani St. Ignatius Loyola dan spiritualitas St. Theresia Kanak-Kanak Yesus sebagai pelindung paroki. Keduanya menjadi panduan rohani untuk melayani umat dalam menemukan kehendak Tuhan. Ditambah empat UAP yang menjadi roh untuk memberikan energi dan menjiwai seluruh kegiatan pelayanan umat. Bersama ini disinergikan dengan lima prioritas garapan KAS yang meliputi kekatolikan, kerasulan, kebangsaan, kerja sama sinergi, dan profesionalitas. “Inilah usaha untuk mensinergikan antara UAP dengan visi KAS dan sama sekali tidak bertolak belakang. UAP malah membantu memberikan isi, energi, roh yang baru kedalam program aksi ataupun visi keuskupan,” ungkap Romo Melky. Program pemantapan UAP ini sebut Romo Melky masih dalam proses. Baru akhir Oktober akan diserahkan ke Tim UAP Provindo SJ.
Meskipun masih dalam tahap diskresi tetapi paling tidak gambaran program implementasi UAP telah mengerucut pada tahap ini. Romo Melky membeberkan bahwa pada UAP yang pertama, akan diberikan program pengenal spiritualitas Ignatias lewat Latihan Rohani kepada umat sehingga mereka memiliki jiwa militan sebagai orang Katolik; UAP yang kedua, paroki akan memberikan perhatian pada sektor ekonomi kecil untuk memberdayakan UMKM yang ada di paroki. Perhatian diberikan melalui pemberian pelatihan ekonomi kecil agar pelaku UMKM di paroki semakin mandiri. Hingga saat ini terdata ada sekitar 70an UMKM di paroki yang akan dibuatkan kelompok khusus. Nantinya paroki akan mengadakan “Pasar Gerbong” (Pasar Gereja Bongsari) secara daring atau luring; UAP yang ketiga, guna mewujudkan mimpi umat Bongsari tidak menambah sampah di TPA, maka paroki berencana membentuk tim penggerak lingkungan hidup yang pesertanya datang dari 43 lingkungan. Tim ini nanti akan mengadakan sosialisasi pentingnya merawat bumi dan mulai menghilangkan kebiasaan membuang sampah ke TPA. 43 keluarga ini juga akan menerima tong pupuk cair dan melaksanakan pemilahan sampah. Indikator pencapainnya agar tiap tahun bertambah dua keluarga dari masing-masing lingkungan yang mengikuti jejak tim penggerak ini; UAP keempat, masih dalam tahap diskresi bersama, tetapi paling tidak diharapkan OMK di dalam dirinya memiliki jiwa empat pilar UAP. Untuk implementasinya sendiri diakui masih dalam tahap diskresi.
Bagi Romo Melky, UAP telah memberikan arah dan orientasi yang jelas bagi pelayanan pastoral karena memiliki sistem keberlanjutan selama beberapa tahun kedepan. Ia senang dan penuh harapan menyambutnya. “Selama ini program pelayanan bisa dikatakan sebatas melakukan kegiatan, tetapi dengan adanya UAP akan memberikan daya baru dalam program pelayanan. Maka saya senang dan penuh harapan UAP ini kiranya bisa sungguh membantu, tentu agar Gereja itu punya dampak yang mendalam bagi hidup iman kami para imam dan umat. Mengubah kita semua,” tandasnya.
Sinkronisasi
UAP dimaknai sebagai suatu rumusan yang menegaskan langkah-langkah untuk kerasulan oleh Kepala Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda (HSPMTB), Tangerang, Romo Walterus Teguh Santosa SJ. Menurut imam yang akrab dipanggil dengan Romo Teguh ini, UAP sifatnya menegaskan mengenai apa yang sudah dilakukan, sedang dan akan dilakukan. Apakah sudah sesuai dengan koridor yang semestinya dilakukan bersama. “Pelayanan di paroki sangat dinamis. Apalagi situasi pandemi, perubahannya begitu cepat mengenai apa yang terjadi. Di dalam perencanaan dan kemudian pelaksanaan kadang-kadang itu jauh berbeda,” ujarnya ketika dihubungi HIDUP melalui daring.
Gereja perlu menyesuaikan dengan perkembangan yang cepat terjadi. Romo Teguh turut merasakan tegangan-tegangan yang terjadi dalam situasi pandemi diantaranya tegangan di tengah keluarga yang cukup serius. “Mengenai pengambilan keputusan salah satunya, sekarang ini orang kurang bisa berpikir panjang. Hal kecil dapat menjadi alasan perpecahan. Terkait UAP poin pertama, di paroki kami, ada kelompok khusus yang mendalami Ignatianitas, yakni Mitra Ignatian. Kelompok ini yang juga memiliki kelas-kelas yang diikuti oleh banyak umat yang tergabung di situ. Ada pengajaran secara rutin untuk mendalami bagaimanakah kita mendalami semangat Ignatian, khususnya Latihan Rohani (LR) dan ini semoga membantu,” harap Romo Teguh.
Selain itu, persoalan ekonomi pun muncul. Tidak sedikit umat di Tangerang yang bekerja sebagai buruh dan tidak sedikit para buruh yang terkena efisiensi ketika pandemi menyerang. Persoalan orang muda juga kurang lebih sama. Bagi Romo Teguh, ada situasi depresi yang karena online melulu, juga yang merasa bahwa masa depan tiba-tiba gelap. Maka perlu didampingi dengan sungguh-sungguh.
Seperti yang disampaikan Romo Melky, paroki adalah bagian dari keuskupan, termasuk Paroki Tangerang adalah bagian dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Oleh karena itu, dalam program karya tentunya paroki mengikuti arahan dari keuskupan. “Arah Dasar KAJ (ARDAS KAJ) yang baru 2022-2026 akan melaksankan nilai penghormatan martabat manusia melalui lima bidang prioritas, yakni TSBP (Tim Sinergi Bidang Prioritas) yang pertama itu pastoral keluarga, kemudian TSBP kedua adalah pendampingan orang muda. TSBP ketiga yakni liturgi dan pewartaan. TSBP keempat adalah kaderisasi dan kerasulan awam. TSBP terakhir yakni pelayanan digital,” jelas Romo Teguh.
Sehingga pada Tahun Ignatian ini Paroki Tangerang berusaha mengimplementasikan ARDAS KAJ yakni penghormatan pada kehidupan manusia serta mengsinkronisasikan antara TSBP dengan UAP. Ada satu peristiwa yang sudah terjadi di lingkungan paroki tambah Romo Teguh. Seorang umat kena PHK, lalu hendak bekerja lagi bingung, karena pendidikannya kurang, maka seorang umat lain yang memberikan pinjaman kepadanya. Akhirnya ia membuka usaha warung mie. “Nah, di sini umat tersebut tidak hanya meminjamkan, tetapi juga mendampingi. Bagaimana belanja bahannya, bagaimana pengelolaannya, bagaimana laporannya keuangnya. Intinya didampingi dalam waktu sekian bulan lalu sekarang sudah berjalan mandiri. Awal kena PHK, umat tersebut kelihatan muram, wajahnya enggak ada keceriaan, sekarang sudah bisa senyum karena sudah ada usaha mandiri. Ini salah satu contoh martabat manusia dipulihkan, harga diri seseorang dibangun melalui pendampingan,” terangnya.
Paroki Tangerang akan fokus pada penghormatan manusia dengan cara memberdayakan dalam usaha-usaha yang akan dijalankan, seperti pelatihan serta pendampingan. “Ini menjadi bagian yang sesuai dengan TSBP namun diperdalam juga dengan UAP, khususnya poin kedua UAP: Berjalan Bersama yang Tersingkirkan. Apakah berjalan bersama itu artinya hanya menemani atau kemudian kami perdalam, berjalan bersama adalah memberikan pendampingan agar orang tersebut berdaya, artinya ini merupakan sebuah usaha pemulihan martabat seseorang,” ungkap pria asal Bantul, Yogyakarta ini.
Berbenah Diri
UAP hadir dan menjadi prioritas bagi karya Serikat Jesus (SJ) yang juga merupakan perpanjangan dari karya Gereja. Ini menjadi sebuah penanda bahwa Gereja selalu aktual dan turut menjawab tantangan yang nyata di dunia. Hal ini disampaikan oleh salah salah satu staff pengajar Kursus Pertanian Taman Tani (KPTT), Salatiga, Jawa Tengah. Bruder Antonius Dieng Karnedi, SJ. “Dengan adanya UAP ini membantu orientasi arah setiap karya kerasulan serikat. Bukan di KPTT tapi juga karya dari para Jesuit yang tadi juga bergabung itu juga sangat terbantu,” tambah Bruder Dieng.
KPTT adalah tempat pelatihan pertanian yang berdiri sejak tahun 1965. Tempat pelatihan ini merupakan karya kerasulan SJ yang terkait langsung dengan UAP poin yang keempat: Merawat Rumah Kita Bersama. “Bagi kami UAP itu menjadi satu kesatuan dan kekhasan karya kami ini sebagai KPTT, preferensial yang paling kuat adalah soal merawat bumi sebagai rumah kita,” ujarnya.
Ketika dihubungi melalui daring, Bruder Dieng menceritakan bahwa di KPTT mereka banyak mendidik peserta dari segala usia untuk merawat dan melestarikan alam juga terutama mengelola tanah agar menghasilkan buah yang melimpah bagi kesejahteraan manusia. “Yang menarik, kami juga mendampingi lansia, karena berdasarkan data, peserta kursus yang datang banyak dari golongan senior. Biasanya mereka mengisi masa pensiun, lalu ada juga yang setelah kehilangan pekerjaanya dan hendak bercocok tanam. Selain praktik, juga ada kelas teori,” jelasnya.
Semua orang yang terlibat di pendidikan kursus pertanian dari siswa, voluntir hingga karyawan, diajak belajar bersama tentang lingkungan hidup, dan berefleksi. Bagi Bruder Dieng, berefleksi merupakan kesempatan menuju kepada Tuhan. Seperti poin pertama di UAP: Menunjukkan Jalan Menuju Allah. “Implementasi UAP kami mulai dari poin terakhir sampai pada poin yang pertama yang akhirnya menuju kepada Allah,” tuturnya.
Menjalankan UAP, menurut Bruder Dieng ada konsekuensi tertentu, artinya, KPTT juga harus berbenah, menyesuaikan diri dengan arus UAP yang sedang berjalan dan saat ini sedang mengadakan evaluasi dan refleksi. “Sudah dimulai sejak tahun lalu. Dimulai dengan membaca teks UAP dan melakukan rekoleksi secara bersama. Bulan September kami mengadakan diskusi untuk melihat dan mengevaluasi. Kami juga akan meredifinisikan sejarah KPTT, lembaga ini mau dibawa kemana dan kami mau menunjukan orientasi kembali. Apakah KPTT masih aktual untuk di zaman ini?” tambahnya.
KPTT merasakan sukacita, karya kerasulan ini mampu menjawab persoalan-persoalan khususnya yang dihadapi oleh para petani maupun calon petani, juga orang muda yang tertarik di bidang pertanian. “Contoh, para petani menanam cabai, lalu kemudian mati atau ketika mereka akan panen, buahnya busuk atau layu, persis di sini petani membutuhkan bantuan. Secara tidak langsung kami juga mewujudkan poin kedua UAP: Berjalan Bersama yang Tersingkirkan,” paparnya lebih jauh.
“Selain itu, kami akan coba membuka kelas online, buat siapa saja ya tertarik bercocok tanam. Sambil merayakan Tahun Ignatian, kami akan meluncurkan pelatihan daring tersebut,” pungkas Bruder Dieng.
Felicia Permata Hanggu/Karina Chrisyantia/Laporan: Angela Merici Devita Kusumawardhani
HIDUP, Edisi No.42, Tahun ke-75, Minggu, 17 Oktober 2021