Serikat Jesus Provinsi Indonesia Dulu dan Kini

1224
Pemimpin Umum Serikat Jesus, Pater Pedro Aruppe, SJ (tengah) tiba di Indonesia. (Foto: Arsip Provindo SJ)

HIDUPKATOLIK.COM – “Dari sini, kita bisa belajar mengenai pembentukan identitas yang dinamis, terbuka untuk selalu digugat, dan yang harus diingat adalah bahwa identitas ini dibangun dalam misi dan perutusan untuk merengkuh banyak orang…”

LIMA puluh tahun sudah Serikat Jesus Provinsi Indonesia berdiri. Kehadiran para Jesuit di tanah air telah banyak memberikan khazanah bagi perkembangan dan pembentukan Gereja Katolik. Semangat kerasulan Jesuit yang mengusung spiritualitas Ignatian yang dikembangkan oleh Santo Ignatius Loyola ini pun turut membantu menunjukkan salah satu jalan menuju Allah kepada setiap kalangan.

Provindo Berdiri

Dalam tulisan Romo F. Suryanto Hadi, SJ dan Romo Bambang Alfred Sipayung, SJ mengenai sejarah Serikat Jesus Provinsi Indonesia (SJ Provindo) dituliskan bahwa pada hari istimewa Gereja, yakni Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria, 8 September 1971, Pemimpin Umum SJ yang datang dari Roma, Pater Pedro Arrupe, SJ dalam sebuah acara sederhana di Wisma Syantikara, Yogyakarta, meresmikan berdirinya SJ Provindo. Pater Arrupe meneruskan usaha pendahulunya, Pater Johannes Baptista Janssens, SJ yang 15 tahun sebelumnya, pada tanggal 4 Februari 1956, memisahkan Missio Javensis dari “ibu kandungnya” Provinsi Nederland menjadi vice-provinsi independens, kali ini dengan nama “Indonesia” bukan lagi dengan nama “Jawa” dan dipersiapkan menjadi sebuah provinsi mandiri.

Tercatat sejak tahun 1967 kepemimpinan SJ sudah dipegang oleh orang Indonesia sendiri, Romo Antonius Soenarja, SJ. Ia juga diangkat menjadi provinsial pertama. Dalam sebuah surat setelah mengikuti pertemuan para pimpinan provinsi SJ di Taiwan pada tahun 1970, Romo Soenarja menuliskan demikian, “Kami dengan ikhlas mengakui, bahwa provinsi kita provinsi yang miskin harta, tetapi harapan kita ada pada hasil karya yang menakjubkan dan pada jumlah panggilan kita, yang sekadar menjamin hari depan.”

Kiranya memang demikian. Salah satu kekuatan yang menyakinkan Pater Arrupe untuk mendirikan provinsi ini adalah pada jumlah anggotanya. Pada tahun 1956, Vice Provinsi Indonesia beranggotakan 244 Jesuit, terdiri dari 139 imam, 78 skolastik, dan 27 bruder. Dari jumlah itu, tidak sampai 40% adalah Jesuit Indonesia, yakni 97 Jesuit. Pada tahun 1971, provinsi yang baru diresmikan memiliki 333 anggota dengan komposisi 176 Jesuit Indonesia dan 157 Jesuit Misionaris. Oleh karena itu dalam dekrit pendirian provinsi, Pater Arrupe menuliskan bahwa tidak seperti di banyak tempat lain di mana jumlah anggota mulai merosot, di Indonesia justru mengalami peningkatan “dan dari jumlah itu, sebagian besar lahir di tanah air ini.”

Kehadiran Serikat Jesus di Nusantara bisa ditelusuri ke dalam dua bagian. Pertama, kedatangan Pater Fransiskus Xaverius di Maluku tahun 1546 yang disusul dengan gelombang kehadiran Jesuit dari Portugal dan Spanyol sampai 1677. Selama 130 tahun itu tercatat ada 81 anggota Serikat Jesus berkarya di Misi Maluku. Kedua, kedatangan para misionaris Belanda pada tahun 1859 lewat orang-orang seperti Pater Martinus van den Elzen dan Pater Joannes Baptista Palinkxs. Kedatangan misionaris Belanda inilah yang kemudian menghasilkan Jesuit Indonesia, dan pada akhirnya menjadi Serikat Jesus Provinsi Indonesia.

Mencari Makna

Setelah berdiri selama 50 tahun sebagai provinsi, Serikat Jesus Provinsi Indonesia merasa perlu menggali memori, makna, dan signifikansi dari peristiwa-peristiwa atau periode yang penting dalam sejarah Provindo yang turut membentuk “karakter” Provindo. Ketua Panitia Peringatan Tahun Ignatian dan 50 Tahun Provindo, Romo A. Bagus Laksana, SJ menuturkan, guna mendukung keperluan ini dibentuklah tim studi dan riset yang melibatkan sembilan dosen dan 17 frater Jesuit dari STF Driyarkara, Universitas Sanata Dharma, Fakultas Teologi Wedabhakti, termasuk frater dari Myanmar dan Thailand. “Sejarah Provindo adalah  sebuah kenyataan yang kaya, di mana Roh Allah berkarya tidak dalam ruang kosong melainkan dalam dan lewat pelbagai peristiwa sejarah, gerakan-gerakan sosial, keputusan-keputusan lembaga, dan konstruksi kesadaran individu dan kolektif. Riset ini sudah hampir selesai dan banyak hal yang menarik dari temuan kami,” tutur Romo Bagus.

Temuan menarik itu dijabarkan Romo Bagus misalnya sebagai berikut. Provindo pernah gelisah dengan identitas Indonesia, sampai muncul aspirasi “Indonesianisasi” yang melahirkan ketegangan antara para Jesuit misionaris dari Belanda dengan para Jesuit pribumi di tahun 1960-an. Ketegangan ini memang berakhir dengan rekonsiliasi dan perubahan, di mana para Jesuit pribumi semakin mendapatkan peran penting. Namun solusi ini pun ternyata bersifat sementara. Dalam tahap selanjutnya, kelihatan bahwa yang dimaksud dengan “Indonesianisasi” itu lebih “Jawanisasi.” Provindo belum sungguh-sungguh menyadari “ke-indonesia-an” yang lebih penuh.

Selanjutnya dalam misi Provindo di Timor Timor, identitas “Indonesia” itu sendiri menjadi problematis dan digugat, dan para Jesuit Indonesia di sana harus memahami keindonesiaan dengan cara yang baru dan sulit. Identitas ini juga diperkaya dengan keterlibatan para Jesuit Indonesia di beberapa wilayah Asia, seperti Kamboja, Thailand, Myanmar, dan Jepang. “Dari sini, kita bisa belajar mengenai pembentukan identitas yang dinamis, terbuka untuk selalu digugat, dan yang harus diingat adalah bahwa identitas ini  dibangun dalam misi dan perutusan untuk merengkuh banyak orang, bukan seperti politik identitas sekarang,” ungkap imam yang pernah diutus ke Timor Timur di kala masih seorang frater.

Selain pembelajaran yang besar, Romo Bagus melanjutkan, studi dan riset menemukan juga banyak kisah perjuangan para Jesuit yang menarik. Ada misionaris Jesuit yang kesepian dan tidak melihat masa depan di Tanjung Sakti, Sumatera Selatan; ada seorang Jesuit yang harus menjadi sopir truk di Timor Timur; ada seorang Jesuit yang harus bergerak bersama para mahasiswa di jalanan, ada kesaksian  para “martir” Jesuit di Timor Timur, dan sebagainya. Di berbagai peristiwa krisis bangsa ini seperti jajak pendapat di Timor Leste, Reformasi 1998, serta bencana alam di Aceh dan konflik Ambon, semangat kerasulan para Jesuit Indonesia tidaklah padam. Provindo ternyata selalu siap menanggapi krisis. Krisis adalah medan keterlibatan dan pembelajaran. “Tanggapan Serikat Jesus mungkin tidak pernah sempurna, tetapi jelas selalu ada kesiapsediaan untuk menanggapi dan kemudian belajar,” tegas Romo Bagus.

Adapun selama riset dan studi, ditemukan bahwa Provindo memiliki sebuah sikap khas yang dinamai “realisme diskretif”. Ini adalah sebuah sikap yang ada di balik kiprah keterlibatan Provindo dalam peristiwa sulit dan periode krisis. Dengan semangat realisme diskretif, para Jesuit menatap dan menggulati kenyataan apapun (realitas), tidak takut dan dilumpuhkan oleh keribetan dan kompleksitas kenyataan itu, melainkan terus mencari cara yang paling realistis untuk menanggapi situasi nyata, sembari terus terbuka mencari yang lebih baik, memahami situasi yang terus berubah, dan percaya bahwa Allah bekerja dan membimbing.

Semakin Terlibat

Sejarah membuktikan juga bahwa keterlibatan Serikat Jesus meskipun tidak dramatis tetapi sangat nyata. Hal ini dijabarkan Romo Bagus sebagai berikut. Pertama, dialog dengan agama dan kultur selalu mengusik para Jesuit, mulai dari misionaris yang dipengaruhi oleh pendekatan orientalisme dan melakukan studi tekstual seperti Romo Petrus Josephus Zoetmulder, SJ lalu sekarang dengan pendekatan dan paradigma yang lebih dialogis, pedagogis, dan kelembagaan yang dilakukan banyak Jesuit dan karya Provindo. Sebelum ada persoalan fundamentalisme dan politik identitas berbasis agama sekarang, Provindo sudah punya komitmen di bidang ini.

Petrus Josephus Zoetmulder, SJ

Kedua, karya pendidikan dan pembinaan kaum muda, pengembangan filsafat-teologi, formasi calon imam dan religius, pelayanan spiritual, dan pastoral Gereja, dan pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat dan kemanusiaan. Dalam semua bidang ini, Provindo terlibat dengan segala kreativitas yang terus diusahakan di tengah perubahan zaman.

Lewat pelayanan di semua bidang itu, terang Romo Bagus, Provindo lebih mengakar pada perjalanan masyarakat Indonesia dibandingkan tahun 1971 ketika Provindo diresmikan. Namun juga disadari adanya banyak tantangan baru. Beberapa institusi Jesuit sudah tidak ada lagi, misalnya Institut Sosial Jakarta yang sempat sangat dikenal publik. Tentu saja Provindo  perlu memikirkan inisiatif baru. Kolese dan sekolah Jesuit berkembang dengan pelbagai inisiatif dalam kerangka pedagogi Ignatian; begitu juga Universitas Sanata Dharma berkembang sebagai universitas dengan pelbagai fakultas dan program studi baru. Tantangan baru untuk menghadirkan pendidikan yang lebih inklusif dan transformatif terus ada. Namun, ini juga dibarengi dengan rasa syukur dengan adanya inisiatif dan kreativitas baru di bidang lain, misalnya bentuk-bentuk pelayanan dan perambatan spiritualituas kepada awam, karya pastoral dan pendidikan di Papua dan Kalimantan, serta perutusan di pelbagai wilayah Asia. “Lebih lanjut, hasil studi kami akan kami perbincangkan dalam seri Webinar bulanan (Oktober 2021-Juli 2022),” imbuhnya.

Sebagai kesimpulan dari riset yang dilakukan, Romo Bagus membeberkan terdapat tiga bidang penting yang dipelajari dari sejarah Provindo untuk berjalan ke depan, yakni identitas, misi, dan rekonsiliasi. Identitas Provindo harus semakin inklusif dan meluas, merengkuh banyak hal dan unsur baru. Misi harus semakin kolaboratif dan peka terhadap liyan (mereka yang berbeda). Akhirnya, identitas dan misi ini diarahkan pada usaha rekonsiliasi, yaitu terlibat dalam membangun kehidupan yang utuh dalam masyarakat yang terkoyak dan tidak adil, dan menjadi pembawa pengharapan untuk mereka yang mencari makna hidup dan yang terasing dari alam semesta sebagai rumah bersama.

***

Romo A. Bagus Laksana, SJ
Ketua Panitia Peringatan Tahun Ignatian dan 50 Tahun Provindo
Melibatkan Orang Lain

“Saya terutama tersentuh oleh kolaborasi dan kebersamaan dalam menanggapi panggilan Allah. Misi Serikat Jesus, yang dimulai oleh Ignatius dan teman-temannya, ternyata menjadi misi yang dilibati oleh banyak sekali orang, dari zaman ke zaman. Gagasan “misi bersama” (shared mission) itu sangat nyata. Serikat Jesus pernah dibubarkan (1773), tetapi ketika dibangun kembali Serikat tumbuh dengan semangat dan cara baru, berusaha lebih mendalam secara spiritual, rendah hati dan melibatkan orang lain, termasuk mengirim misionaris ke Nusantara. Sepanjang sejarah itu Serikat, termasuk Provinsi Indonesia (Provindo) yang berdiri tahun 1971, berbagi visi mengenai Tuhan yang mengundang setiap manusia untuk menjalin persahabatan dengan-Nya, juga visi mengenai kehidupan ini, mengenai masa depan, dan mengajak orang untuk menimbang-nimbang apa yang bisa kita berbuat bersama untuk menanggapi zaman.

Perayaan Tahun Ignatian terjadi selama pandemi, di mana saya punya lebih banyak waktu untuk merenung dan berefleksi mengenai perjalanan panggilan saya pribadi selama ini. Tuhan memanggil dengan cara yang sering kurang bisa dipahami pada saat itu, tetapi sangat nyata akibatnya dalam perjalanan waktu. Panggilan ini menempatkan saya pada jaringan Serikat Jesus yang seluas dunia. Saya diajak menyatukan pengalaman dan keterlibatan saya yang terbatas di pelbagai wilayah  Indonesia, Timor Leste, Amerika Serikat, dan Asia dalam sebuah perjalanan hidup yang  mengasyikkan, meluas, dan penuh rahmat. Saya bersyukur atas perkembangan Serkat Jesus Provinsi Indonesia yang selalu mencari cara-cara kreatif untuk menanggapi pelbagai tantangan di Nusantara, Asia dan lebih luas lagi. Semua ini belum saya bayangkan ketika masuk Serikat Jesus tahun 1992.”

 Felicia Permata Hanggu/Karina Chrisyantia

HIDUP, Edisi No. 42, Tahun ke-75, Minggu, 17 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini