Ukup Agung Palembang, Mgr. Yohanes Harun Yuwono: Berjalan Bersama dalam Sukacita

475

KARENA faktor usia, Takhta Suci mengabulkan pengunduran diri Mgr. Aloysius Sudarso sebagai Uskup Agung Palembang (KAPal) dan mengangkat Mgr. Yohanes Harun Yuwono sebagai penggantinya. Mgr.Yu, sapaan Mgr. Yahones Harun Yuwono, saat dipilih, menjabat sebagai Uskup Tanjungkarang sejak ditahbiskan pada 10 Oktober 2013. Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Mgr.Yu yang masih merangkap Administrator Apostolik Keuskupan Tanjungkarang:

Adakah spiritualitas tertentu yang Bapa Uskup hayati dalam menerima dan memasuki tugas baru ini?

Tugas baru ini sangat mengejutkan. Saya tidak menyangka. Memang ada kebiasaan Uskup Agung diambil dari Uskup Keuskupan Sufragan. Namun, tidak selalu seperti itu. Di Semarang dan di Medan tidak harus jadi Uskup dulu baru Uskup Agung.

Dipindahkan ke tempat baru itu tidak enak. apalagi baru menjadi uskup kurang dari delapan tahun. Seperti berkendara, baru akan masuk gigi tiga, tahu-tahu harus turun lagi ke gigi satu. Namun, dalam iman dan ketaatan, saya harus berangkat. Saya tidak boleh terikat pada apa pun, kecuali pada tugas yang diberikan kepada saya oleh Tuhan dan Gereja-Nya yang diwakili oleh Bapa Suci.

Mgr. Yohanes Harun Yuwono (tengah jubah coklat hitam) dalam suatu kesempatan.

Saya ingin meneladani St. Maria dan St Yusuf. Tahun ini adalah tahun Keluarga Kudus. Kita diajak untuk merenungkan nilai-nilai luhur keluarga Kristiani sebagai peringatan lima tahun Ensiklik Amoris Laetitia. Keluarga Kristiani seharusnya adalah keluarga yang berpegang teguh pada ajaran Gereja dan beriman pada Allah dalam Gereja-Nya. Bapa Suci juga secara khusus mencanangkan tahun ini sebagai Tahun St. Yusuf. Dua pribadi itu adalah teladan hidup dan teladan dalam beriman. Mereka menghidupi kesediaan yang sama pada tugas yang diberikan pada masing-masing. Maria taat dengan mengatakan, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu.” Yusuf tidak menjawab dengan kata-kata dalam menanggapi panggilan Allah. Dia manusia tanpa kata. Namun, dia adalah pendengar dan pelaksana Sabda Allah. Dia segera berangkat ketika perintah Allah itu didengarnya dalam mimpi.

Bunda Maria dan St. Yusuf pastilah tidak tahu apa yang akan terjadi di depan ketika mereka bersedia menerima tugas dari Allah. Belum tentu mereka juga yakin akan bisa melaksanakan panggilan Allah dengan sempurna. Namun, mereka percaya akan Penyelenggaraan Ilahi. Rencana Allahlah yang harus terlaksana, bukan rencana manusia.

Apakah sudah mempunyai rencana-rencana begitu memulai tugas di KAPal?

Sewaktu saya dulu diumumkan menjadi Uskup Tanjungkarang, seorang imam mengirim SMS kepada saya mengatakan, “Cepat datang dan menjelaskan visi dan misimu.” Membaca itu, saya menjadi takut sekaligus heran. Takut karena saya belum punya visi dan misi. Saya masih serba bingung. Heran karena ini bukan kemauan saya, saya ditunjuk, bukan merebut jabatan karena kampanye. Saya masih betul-betul blank. Syukurlah seorang imam senior menasihati saya untuk tidak membuat rencana-rencana sampai tiga tahun mendatang sejak saya ditahbiskan. Di Palembang, kemungkinan saya akan berbuat hal yang sama.

Rencana-rencana ke depan yang dijiwai visi dan misi pastilah sangat baik, akan memberikan semangat umat beriman dalam menggereja. Namun, saya tidak mau berlaku otoriter dengan memaksanakan kehendak atau pikiran saya, yang bahkan belum saya miliki. Gereja ini milik Allah tetapi juga milik kita bersama. Saya harus mengenal Umat dan Gereja KAPal lebih dahulu. Rencana-rencana ke depan harus melibatkan para imam, para religius, dan umat Allah. Saya berharap kita dapat berjalan bersama dalam suasana sukacita.

Apa yang membedakan penggembalaan Keuskupan Sufragan dengan Keuskupan Metropolit?

Saya kira tidak ada bedanya antara penggembalaan Keuskupan Sufragan dan Keuskupan Agung. Setiap Uskup mempunyai wewenang penuh pada keuskupannya. Uskup dari keuskupan lain tidak bisa melakukan intervensi pada keuskupan tetangganya.

Bahwa Uskup Metropolit adalah Kepala Provinsi Gerejawi, itu benar (Kan 435). Secara positif Uskup Metropolit adalah koordinator pelaksanaan kegiatan pastoral keuskupan-keuskupan yang tergabung dalam Provinsi Gerejawinya, tanpa mengurangi sedikit pun wewenang mutlak uskup setempat terhadap keuskupannya. Hal lain yang diamanatkan kepada Uskup Metropolit adalah memastikan dan menjaga agar ajaran iman dan ajaran Gereja ditaati dengan baik di keuskupan-keuskupan sufragan. Jika terjadi pelanggaran-pelanggaran, dia mempunyai kewajiban untuk melaporkannya kepada Takhta Suci (Kan 436). Namun, apakah ada uskup yang mengajarkan iman tidak sesuai dengan ajaran Gereja? Pasti tidak ada! Jadi, penggembalaan Uskup Metropolit hanya sebatas di keuskupannya dan tidak beda dengan Uskup Keuskupan Sufragan.

 Ada sekitar 15 lembaga tarekat yang bekerja di KAPal. Bagaimana Bapa Uskup melihat hal ini?

Selama delapan tahun menjadi Uskup Tanjungkarang, saya berusaha menambah jumlah kongregasi atau ordo untuk bisa berkarya di keuskupan. Ada tiga kongregasi suster dan dua kongregasi imam yang berkenan saya hadirkan. Masih ada beberapa yang akan datang, hanya belum selesai diproses. Bahkan imam diosesan dari Keuskupan Agung Semarang juga saya minta hadir.

Semakin banyak ordo atau kongregasi bisa hadir berkarya di sebuah keuskupan pastilah semakin baik. Umat akan semakin terlayani dan diperkaya dengan kekayaan rohani masing-masing kongregasi atau ordo. Pluralisme dalam Gereja juga semakin bisa menjadi saksi keesaannya. Kehadiran aneka kongregasi pastilah juga membangkitkan semangat para generasi muda yang ingin menjadi imam atau biarawan-biarawati. Ada berbagai pilihan yang dapat menjadi sarana penyaluran talenta. Ternyata, Gereja itu sungguh kaya akan rahmat dan spiritualitas.

Ada sekitar 81 ribu umat menyebar di tiga provinsi dan merupakan kelompok kecil. Langkah pastoral apa yang ingin dikembangkan?

Di mana pun umat selalu berkembang lebih cepat dari para pelayannya. Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ sudah memberikan tekanan pelayanan pastoral kepada umat beriman dalam semangat communio. Jika spirit communio dihidupi dengan baik, Gereja akan berakar kuat dan anggotanya tidak akan kehilangan iman, walaupun berada di tempat yang sangat terpencil. Jadi pengembangan komunitas basis gerejani (KBG) sebagai cara baru menggereja, yang juga sudah dicanangkan oleh Gereja Katolik Indonesia sejak lama, kiranya baik terus diusahakan. Jika KBG hidup, Gereja akan tetap hidup sebagai saksi-saksi Kristus. Selain itu, panggilan untuk menjadi imam dan biarawan-biarawati akan tumbuh lebih subur.

Sinode III sudah dipromulgasikan tahun 2019, namun tertunda pelaksanaannya akibat pandemi Covid-19. Apakah nantinya Sinode III akan merefleksikan pandemi dan dampaknya?

Pandemi Covid-19 memang mengganggu atau bahkan mengubah banyak hal. Kita juga belum tahu kapan akan bebas dari virus korona ini dan dapat hidup normal seperti sebelum pandemi. Tetapi kita tidak sendirian. Semua rencana dan program apa saja, baik jika tetap direncanakan ulang, dipikirkan kembali sambil jika mungkin menemukan cara-cara baru yang dapat disesuaikan dengan dampak pandemi. Saya bersama dengan banyak pihak pastilah akan lebih dahulu mempelajari Gereja KAPal sebelum pandemi dan bagaimana nanti kita ke depan. Ini membutuhkan pemikiran dan perumusan bersama. Saya belum bisa menjanjikan apa-apa, saya tidak mau terburu-buru.

Pandemi berdampak pada iman umat. Konkretnya?

Pastilah pandemi berdampak pada iman umat. Saya mengkhawatirkan mereka yang selama pandemi merasa tidak perlu ke gereja, nanti setelah gereja dibuka normal, mereka lupa datang ke gereja karena sudah nyaman dengan kebiasaan masa pandemi. Dampak lebih serius barangkali pada anak-anak. Mereka “kehilangan” pengajaran dan keteladanan menghidupi iman dari generasi senior. Selama pandemi dengan mengakrabi gadget, jangan-jangan mereka lupa pada doa dan kebiasaan berdoa.

Mgr. Yuwono (kanan) bersama tokoh agama.

Di masa pandemi ini, peran orang tua sangat dibutuhkan, bagaimana secara konsisten mereka harus mewariskan iman kepada anak-anak mereka. Kita pasti sepakat bahwa pertumbuhan anak menjadi manusia yang manusiawi tidaklah cukup diserahkan pada guru di sekolah maupun di Gereja. Rumah tangga sesungguhnya adalah sekolah iman, sekolah kemanusiaan dan sekolah peradaban. Dalam hal ini, orangtua adalah guru-guru utama. Jika rumah tangga baik, apa pun keadaan di luar, anak-anak akan tetap tumbuh dengan baik, jasmani maupun rohaninya. Maka, di masa pandemi ini, para orang tua jangan melupakan peran utama mereka sebagai guru-guru iman, kemanusiaan, dan peradaban.

Ungkapan apa yang ingin Anda sampaikan kepada para imam, biarawan-biarawati, dan umat KAPal?

Gereja ini milik Tuhan dan milik kita bersama. Mari bersama memuliakan Tuhan di dalam pelayanan kita kepada sesama. Mari kita berjalan bersama dalam sukacita sebagai anak-anak yang dikasihi oleh Allah dengan kasih yang tanpa pamrih. Semoga saya bisa menjadi gembala yang melayani semua orang. Mohon doakan saya selalu!

Elis Handoko (Kontributor, Palembang)

HIDUP, No. 41, Tahun ke-75, Minggu, 10 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini