Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ: Butuh Spiritualitas Garam

326
(Dok. HIDUP)

HIDUPKATOLIK.COMAWALNYA Mgr. Aloysius Sudarso diangkat menjadi Uskup Auxilier Keuskupan Palembang. Uskup saat itu menugaskannya juga menjadi vikaris jenderal. Tiga tahun kemudian, tepatnya 1997, ia diangkat menjadi uskup diosesan, dan menjadi Uskup Agung ketika Keuskupan Palembang ditingkatkan statusnya menjadi Keuskupan Agung Palembang pada tahun 2003. Berikut petikan wawancara dengan Mgr. Aloysius yang memasuki masa pensiun dan digantikan oleh Mgr. Yohanes Harun Yuwono sebagai Uskup Agung Palembang yang baru.

Tantangan besar apa yang Bapa Uskup temukan kala itu?

Keuskupan ini meliputi tiga provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu. Umat tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Tantangannya ialah bagaimana membangun komunio sehingga keberadaan mereka bisa menjadi garam di tempat masing-masing. Tantangan lain, waktu itu tenaga imam masih sangat terbatas.

Langkah pertama yang diambil ialah mengadakan Sinode Keuskupan, Februari 2001. Kendati yang hadir merupakan perwakilan umat dan tenaga pastoral, sekurang-kurangnya inilah langkah awal untuk bergerak bersama. Sinode ini memikirkan bagaimana pelayanan tugas pokok Gereja dikembangkan dan diwujudkan seturut situasi masing-masing paroki.

Berikut, dimunculkan dekenat. Untuk mewadahi koordinasi pastoral di beberapa paroki terdekat dalam satu dekenat, dibuatlah distrik-distrik. Dekenat dan distrik memungkinkan terciptanya komunikasi serta koordinasi pastoral. Umat yang sedikit dan tersebar pun dimungkinkan saling bertemu. Diharapkan, koordinasi dekenat ini, ke depannya bisa dikembangkan ke sistem kevikepan sehingga memiliki wewenang khusus terkait kebijakan-kebijakan tertentu.

Yang terpenting, Gereja membekali umat Allah yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil, bagaimana agar mereka bisa bertahan dalam iman Katolik sekaligus bersaksi di tengah masyarakat. Kita butuh spiritualitas garam, rela disebar di mana-mana dan membawa rasa yang ‘enak’ dalam setiap kehadiran.

Yang terkini?

Usai Sinode II 2009, langkah-langkah pastoral menjadi lebih konkret. Ada tim monitoring dan evaluasi pastoral yang menganalisis praktik pastoral dan administrasi di paroki-paroki. Temuan-temuan penting tersebut rencananya akan dibawa pada Sinode III, yang sudah dipromulgasikan pada Agustus 2019. Sinode belum terlaksana karena terdampak pandemi Covid-19. Inilah pekerjaan rumah kita. Hanya, pasti tidak mungkin selepas pandemi ini kita langsung mengadakan sinode tanpa terlebih dahulu merefleksikan efek pandemi bagi hidup keberimanan kita. Refleksi atas pengalaman ini harus juga menjadi refleksi bagaimana gerak Gereja ke depan.

Adakah harapan Bapa Uskup pada Uskup Agung yang baru?

Konsekuensi dari luasan geografis memunculkan kebutuhan finansial yang cukup besar guna menopang hidup dan pelayanan umat. Syukurlah, sekarang sudah banyak paroki mandiri. Dibutuhkan pengelolaan harta benda secara memadai seturut regulasi yang ada. Ini penting agar Gereja memiliki data yang benar serta keuangan yang aman.

Hal lain, kita membutuhkan sinergisitas. Di sinilah sistem manajemen pastoral yang lebih tertata, terencana, dan bertarget harus terus dimantapkan sesuai kebutuhan zaman. Komisi-komisi yang ada harus bersinergi demi menjalankan tugasnya sebagai tangan kanan uskup dalam melayani umat. Pelayanan pastoral tidak pernah selesai. Umat selalu dihadapkan dengan tantangan baru, dari hari ke hari, dari zaman ke zaman.

Adakah sesuatu yang ingin Bapa Uskup ungkapkan pada umat?

Sebenarnya, saya merasa bahwa umat begitu baik. Mereka tidak pernah “memukul” saya. Padahal, saya ini banyak kekurangan. Juga, terima kasih untuk para biarawan-biarawati, imam diosesan, dan imam dari berbagai tarekat yang membantu pelayanan pastoral di keuskupan.

Elis Handoko

HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-75, Minggu, 10 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini