Melangkah dalam Kasih

368

HIDUPKATOLIK.COM – Ia sempat mengajukan keberatan kepada Nuncius, tapi pada gilirannya, ia menerim penunjukan dirinya sebagai Uskup Agung Palembang.

 

SUDAH sekitar delapan tahun ini, Maria Napsiyah (80) dan keluarganya di Padang Cermin, Lampung, merasa senang. Putra keduanya yang tahun-tahun sebelumnya selalu hidup merantau jauh dari keluarga, delapan tahun lalu pulang kampung dan menetap di daerah Lampung. Namun, baru-baru ini kabar terbaru diterima kembali oleh keluarga Napsiyah. Putra keduanya, Mgr. Yohanes Harun Yuwono, ditunjuk Paus Fransiskus menjadi Uskup Agung Metropolitan Palembang.

Saat dihubungi melalui video call, Napsiyah mengungkapkan isi hatinya, “Saya ya senang campur sedih mendengar berita itu. Senang karena ini berkat. Sedih karena sekarang kami jadi jauh dengan Yu. Pasti beban pekerjaannya juga makin berat karena Palembang itu luas.”

Tidak Aneh-aneh

Mgr. Yohanes Harun Yuwono lahir di Way Ratai, Padang Cermin, Lampung, 4 Juli 1964. Mgr. Yu, demikian sapaan akrabnya, merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Orangtuanya, Marselus Margono (alm.) dan Maria Napsiyah (80), berasal dari Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 60-an, segera sesudah menikah, keduanya merantau ke Lampung demi mencari penghidupan yang lebih layak.

Yu remaja sudah berani hidup terpisah dari keluarga, yakni ketika ia bersekolah di SMP Xaverius Kotabumi, Lampung. Ia tinggal di Asrama Putra Katolik Darussalam yang dikelola paroki. Di usia belia inilah, saat duduk di kelas tiga SMP, Yu kehilangan kasih sayang dari sosok yang sangat dekat dengannya. Ayahnya berpulang pada tahun 1979. Setelah merampungkan sekolah di Kotabumi, Yu melanjutkan pendidikan ke Seminari Menengah Santo Paulus, Palembang. Ia ingin menjadi pastor.

Ibunda Yu, Napsiyah, bercerita bahwa Yu merupakan anak yang sangat nerima, tidak aneh-aneh. Apalagi sepeninggal ayahnya, ibunda Yu harus berjuang sendiri menafkahi keluarga dengan bercocok tanam. Yu sangat memahami beban berat yang menggelayut di pundak ibunya.

Jika pulang liburan, Yu berlaku seperti pemuda desa lainnya. Ia ikut bergotong royong di desa. Ia rutin membantu ibunya bekerja di kebun, entah itu mencari kayu bakar, memanen kopi, membabat belukar, atau pekerjaan lainnya. Bahkan, pakaian kotor yang ada di rumah pun ia bawa ke sungai untuk dicuci. “Dia mencuci semua baju kotor milik ibu dan saudara-saudaranya,” kenang Napsiyah.

Pernah pada suatu liburan, waktu itu musim kemarau. Tanaman palawija di kebun gagal panen. Untuk sekadar makan saja, keluarga Napsiyah mengalami kesulitan. Ketika masa liburan selesai dan Yu harus kembali ke Palembang, Napsiyah meminta Yu untuk menjual dua ekor ayam. “Uang lima ribu itulah sangunya ke Palembang. Kakaknya, yang bekerja di Tanjungkarang, memberi tambahan beberapa ribu saja. Yu tidak protes, tidak meminta lebih walau uang itu sangat sedikit,” tutur Napsiyah.

Suatu ketika, kakak Yu bercerita tentang nama lengkap adiknya itu. Katanya, nama “Harun” itu ditambahkan oleh Yu sendiri ketika menerima tahbisan diakonat tahun 1992. Nama itu mau menandai bahwa dirinya berasal dari Lampung. Sebab, nama “Harun” sangat lazim di kalangan orang asli Lampung. Selain itu, “Harun” juga untuk mengingatkannya pada tokoh Imam Harun dalam kisah Perjanjian Lama, agar dirinya selalu menjadi imam yang rendah hati karena memiliki kelemahan manusiawi. Jadilah, nama lengkapnya seperti sekarang, Yohanes Harun Yuwono.

Usai ditahbiskan sebagai imam diosesan Keuskupan Pangkalpinang, keluarganya tidak banyak tahu sepak terjang Pastor Yu. Namun, setelah tahun berjalan, Napsiyah dan keluarga di kampung sangat terkejut. Dikabarkan, Pastor Yu ditunjuk Vatikan menjadi Uskup Keuskupan Tanjungkarang. Aneka perasaan berkecamuk, antara bangga dan khawatir. “Tiga hari saya tidak bisa tidur. Saya tidak pernah menyangka bahwa anak saya ada yang dipilih Tuhan untuk menjadi Uskup,” kisah Napsiyah.

Meneladan Yusuf

Yu menerima tahbisan imamat dari tangan Mgr. Andreas Henrisoesanta, SCJ di Pringsewu, 8 Desember 1992. Imam diosesan ini kemudian melayani sebagai pastor paroki di Muntok, sekaligus pastor rekan Paroki Sungai Liat, Bangka, Keuskupan Pangkalpinang. Pada tahun 1994–1998, ia diutus studi Islamologi di Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies (PISAI), Roma. Pulang dari Kota Abadi, ia menjadi dosen di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St Yohanes dan formator di Seminari Tinggi St Petrus, Pematangsiantar.

Mgr. Yohanes Harun Yuwono (tengah, jubah coklat hitam) dalam suatu kesempatan bersama umat. (Foto: Dok Keuskupan Tanjungkarang)

Saat terpilih menjadi Uskup Diosesan Keuskupan Tanjungkarang (9 Juli 2013), ia merupakan Rektor STFT St Yohanes dan pengajar Islamologi di sana. Ia ditahbiskan sebagai uskup pada 13 Oktober 2013. Moto uskupnya adalah Non Est Personarum Acceptor Deus (Tuhan tidak membeda-bedakan orang, Kis 10:34). Moto ini menjadi ajakan bagi umat untuk menyadari kehadirannya di bumi Lampung, sebagai orang beriman Katolik dan sekaligus bagian dari seluruh masyarakat.

Bisa dibilang, tahun-tahun ini Mgr Yu sedang giat-giatnya dengan aktivitas penggembalaannya, seturut arah dasar pastoral (2018-2027) berdasarkan amanat Perpasgelar III Keuskupan Tanjungkarang. Namun, pengumuman dari Takhta Suci pada pesta Santo Thomas Rasul, 3 Juli 2021 itu, seakan “memotong” langkahnya. Paus Fransiskus mengangkat Mgr. Yu sebagai Uskup Agung Metropolitan Palembang sekaligus menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Tanjungkarang. Penunjukan ini terkait dengan dikabulkannya permohonan pensiun Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ sebagai Uskup Agung Palembang.

“Waktu itu, saya sempat ‘protes’ pada Duta Besar Vatikan, Mgr. Piero Pioppo. Mengapa harus saya yang dipilih Vatikan untuk menjalani tugas dan tanggung jawab baru di Keuskupan Agung Palembang dan meninggalkan Keuskupan Tanjungkarang?” ucapnya ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-57 di Wisma Albertus, Tanjungkarang, 4 Juli 2021.

Pada gilirannya, Mgr Yu pun menerima penunjukan itu. Ia mengidentifikasi Santo Yusuf. “Tahun ini, kita merayakan Tahun Santo Yusuf. Manusia tanpa kata. Siap sedia. Kapan pun, ia siap melaksanakan sabda Allah. Apabila itu hanya didengar lewat mimpi sekali pun, Yusuf bangun. Lalu, ia melaksanakan seperti yang ia lihat dalam mimpinya itu,” kenangnya.

Kelekatan, apa pun alasannya, pastilah tidak patut. Siapa pun orangnya, entah imam atau uskup, tiada lain yang dicari kecuali ketaatan kepada Allah melalui pimpinan Gereja. Keyakinan Mgr. Yu inilah yang membuat dirinya legawa melangkah ke misi barunya.

Dalam Kasih-Nya

Deus Caritas Est, Allah Adalah Kasih (1Yoh 4:7).

Itulah moto yang dipilih Mgr. Yu sebagai Uskup Agung. Moto yang akan menjadi semangat hidup dan kegembalaannya. Ia ingin terus-menerus menghayati spiritualitas hidup Allah sendiri yang mengasihi manusia secara total, tanpa pamrih, dan tanpa pilih kasih, sampai-sampai diri-Nya disebut Kasih. Dalam kasih-Nya, Allah tidak membeda-bedakan orang (Kis. 10:34).

“Moto ini merupakan kelanjutan semangat kegembalaan saya di Keuskupan Sufragan Tanjungkarang, Non est Personarum Acceptor Deus. Inilah doa dan kerinduan saya ketika saya ditahbiskan imam; semoga Engkau berkenan akan daku, Engkaulah sukacitaku (Mzm. 104:34),” urai Mgr. Yu dalam keterangan tertulisnya.

Rasanya, Mgr. Yu sudah siap menapaki misi barunya. Ada tekad. Ada semangat. Demikian juga ada keyakinan akan kasih Allah yang senantiasa menyertai setiap langkahnya. Dari sekian hal yang Mgr. Yu siapkan, masih ada satu hal lagi yang menopang. Perempuan renta Maria Napsiyah (80), ibunda Mgr. Yu, berjanji akan selalu mendoakannya. “Setiap sore, saya mendoakannya. Moga-moga cepat kerasan, selalu sehat dan kuat. Semoga diterima oleh umat dan bisa melayani dengan baik.”

Makna Logo

  • Galero atau topi warna hijau (warna untuk uskup): wewenang dan jabatan sebagai uskup yang mengayomi; 10 jumbai adalah tanda sebagai uskup agung.
  • Tongkat salib dengan dua palang mendatar: simbol kegembalaan sebagai uskup agung, ambil bagian dalam Kristus, Sang Gembala Baik.
  • Perisai: simbol pertahanan dan perlindungan diri dari kekuatan dan gangguan dari luar.
  • Tiga ruang dalam perisai dan masing-masing gambar di dalamnya: kerinduan serta harapan iman dan kehidupan yang ingin dicapai. Tiga ruang menyimbolkan Allah Tritunggal (pelindung dan kekuatan hidup) sekaligus menyimbolkan cakupan geografis Keuskupan Agung Palembang (KAPal) yang terdiri dari tiga Provinsi (Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu).
  • Ruang 1, gambar Anak Domba: lambang pengurbanan Yesus Kristus, Anak Domba Allah, yang menjadi tebusan bagi keselamatan manusia.
  • Ruang 2, gambar ikan: lambang perjamuan Ekaristi, ibadat Ilahi bersama Kristus yang memberikan Diri-Nya sebagai makanan untuk kehidupan dan keselamatan semua orang. Ikan dan air juga menggambarkan sebagian wilayah alam KAPal.
  • Ruang 3, gambar pohon yang hidup: simbol peziarahan hidup rohani yang tumbuh dan berkembang dinamis. Pohon juga menggambarkan hutan serta gunung dengan segala kekayaan di dalamnya (termasuk Suku Anak Dalam) di wilayah KAPal, yang perlu mendapat perhatian kelestariannya dalam semangat Laudato Si.
  • Warna merah-putih dalam perisai: warna bendera Indonesia ini mengisyaratkan bahwa Gereja dan umat Katolik KAPal merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia, yang bersemangat Bhinneka Tunggal Ika.

Elis Handoko (Kontributor, Palembang)

 HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-75, Minggu, 10 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini