Beatifikasi dan ‘Non Cultus’

1266
Mgr. Gabriel Manek SVD

HIDUPKATOLIK.COM – BEBERAPA waktu lalu tersebar melalui group medsos, sebuah permohoan berdoa untuk proses beatifikasi Mgr. Gabriel Manek, SVD. Disebutkan bahwa setelah 17 tahun meninggal tubuhnya ditemukan masih utuh.  Disebutkan juga bahwa banyak orang yang sembuh, punya anak ketika memohon kepada Allah melalui perantaraan Mgr. Gabriel Manek. Ditambahkan pula bahwa kini dalam proses beatifikasi dan bakal menjadi orang Indonesia pertama yang bergelar beato.

Sampai di sini semua postingan di atas (tidak tahu siapa yang menulisnya) sangat menggugah. Banyak orang menyambut dengan gembira. Pada akhirnya Gereja Indonesia bakal memiliki seorang beato yang tentu tidak lama kemudian diharapkan menjadi santo. Yang jadi pertanyaan, apakah proses beatifikasi itu hanya berdasarkan pada kesaksian akan mukjizat kondisi tubuh yang masih utuh?

Jalan Panjang

Menjadi seorang  beato (dan kemudian santo) bukan sebuah proses yang mudah. Penetapan gelar itu pun sebenarnya tidak diberikan oleh Paus tetapi lebih merupakan pengakuan akan proses panjang penelitian yang telah dilakukan.

Hal itu diawali dengan pengakuan umat beriman terahdap seorang figur sebagai ‘servi Dei’ (hamba Allah). Hal itu biasanya dilakukan lima tahun setelah kematiannya meski dalam kasus tertentu  (seperti Paus Yohanes Paulus II dan Mother Teresa dari Kalkuta), proses itu lebih cepat.

Langkah selanjutnya disebut sebagai deklarasi non cultus. Hal ini dilakukan demi menghindari adanya upaya mengultuskan seseorang tanpa melihat semua segi kehidupannya secara utuh. Itu artinya Gereja ingin menjamin bahwa selama hidupnya, hamba Allah itu telah melaksanakan kebajikan-kebajikan hingga mencapai tingkatan heroik.

Inilah proses penting yang disebut venerabilis. Di sana seseorang dihormati karena ia memang memiliki semangat heroik dalam kebajikan (heroic in virtue). Ketika proses itu terlewati dan kemudian dibuktikan dengan adanya mukjizat. Mukjizat merupakan bukti yang dibutuhkan karena melalui doanya, seseorang mengalami hal ajaib. Untuk proses penyelidikan pun dilalui melalui bukti-bukti yang jitu.

Terhadap mukjizat, pasien atau orang yang mengalami mukjizat telah melewati aneka cara untuk memperoleh sesuatu (kesembuhan) tetapi tidak terwujud. Dengan bantuan hamba-Nya, maka mukjizat itu diperoleh.

Ketika proses ini terlaksana dan diakui serta dibuktikan, barulah seseorang diakui sebagai ‘beato/a’. Ia dianggap ‘blessed’ (terberkati) dan diakui berada di Surga. Gelar beato/a dianggap menjadi tahapan penting. Tidak

Inklusif

Proses beatifikasi demikian membawa beberapa hal sebagai pesan. Pertama, keberadaan tubuh yang utuh setelah wafat dan mukjizat menjadi hal yang memeteraikan kekudusan seseorang. Hal yang jauh lebih utama adalah kebajikan hidup yang mengarah kepada pribadi heroik. Itu berarti kesaksian hidup menjadi sangat penting. Hal ini ditekankan agar pada proses itu tidak terjadi upaya meminggirkan aspek kebajikan demi lebih menekankan keutuhan tubuh dan mukjizat yang diperoleh.

Bila proses beatifikasi lebih fokus pada ketakkorupnya tubuh dan mukjizat maka hal itu ditakutkan bisa jatuh pada proses ‘takhyul’. Pada sisi ini akan terjadi pengultusan orang hal mana akan diklarifikasi dengan sangat jelas. Kembali ke tulisan di awal maka keutuhan tubuh dan mukjizat menjadi proses klarifikasi yang sangat menentukan.

Kedua, pengakuan akan proses penyembuhan yang dialami tidak jarang melibatkan penelitian sientifik sebagai pembukti. Di sana bukti lab, rontgen, atau upaya medis yang telah dilakukan (yang terbukti tidak membawa hasil) akan dikumpulkan. Dengan demikian pengakuan seseorang bahwa ia telah sembuh tidak dengan sendirinya diterima sebagai bukti. Tak jarang tenaga medis akan diminta penjelasan dan kesaksian akan penyembuhan yang ‘tak normal’ itu.

Ketiga, kehadiran para kudus tidak bertentangan dengan pengakuan bahwa Kristus menjadi pengantara satu-satunya (1 Tim. 2:5). Kristus tetap menjadi perantara satu-satunya dan tidak tergantikan. Namun pengantaraan yang satu-satunya ini bersifat inklusif. Artinya Kristus melibatkan orang-orang kudus-Nya karena mereka adalah kawan sekerja Allah (1 Kor. 3:9).

Pada titik ini kita patut bangga bila akhirnya Gereja Katolik Indonesia memiliki beato dan santo yang menjadi teman sekerja Allah, terlibat mendoakan Gereja Indonesia. Pada proses ini, bila Gereja menjadi sangat ketat dan selektif dalam proses beatifikasi, hal itu hanya untuk menjamin bahwa ada ‘non kultus’ dan kebajikannya terbukti. Pada akhirnya diharapkan bahwa di akhir jalan panjang ini, masyarakat Katolik Indonesia terberkati karena didoakan oleh beato dan santo yang lahir dari bumi pertiwi Indonesia.

“Keberadaan tubuh yang utuh setelah wafat dan mukjizat menjadi hal yang memeteraikan kekudusan seseorang.”

Robert Bala, mendalami Teologi pada Universidad Pontificia de Salamanca, Spanyol

HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-75, Minggu, 10 Oktober 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini