HIDUPKATOLIK.COM – Kala keberhasilan dan bahagia tercampur
Dengan sukacita terucap kata syukur
Manakala kegagalan tertimbun
Jangan sampai terdengar kata: syukurin
Di tengah sukacita, bersyukur itu mudah bahkan wajib. Meski pada kenyataannya seringkali malah lebih tenggelam dalam euforia kebahagiaan saat kemenangan maupun sebuah keberhasilan menjelang. Pesta pora menyambut semua prestasi. Makanya ada istilah pesta syukuran ini itu. Pokoknya identik dengan sajian mewah dalam suasana gempita. Tentu ada dong selipan doa sebagai ucapan syukur dalam salah satu daftar ‘menu’ acara. Tapi apakah itu jadi menu utama, sekedar appetizers atau jangan-jangan desserts? Sudahlah, tak perlu pembahasan sebab banyak cara dalam bersyukur. Jadikan bahan perenungan saja. Dalam diam pun pasti ucapan syukur bisa menggema. Tak selalu harus tampak di permukaan.
Secuil tanya dalam hati, bagaimana dengan bersyukur bilamana kesulitan merundung? Masih mampukah terucap: “Bersyukurlah.”
Jangan-jangan justru spontan terlontar: “Syukurin!”
Ups…., kalau mau jujur tampaknya lebih sering ngedumel ya dari pada sok bijak bilang: “Bersyukurlah dalam kekurangan ini, pasti Tuhan punya rencana indah di balik semua cerita bahkan derita.”
Atau malah sambil derai air mata berbalapan keluarnya dengan lelehan cairan hidung seraya berucap lirih: “Di mana Kau Tuhan, jangan tinggalkan aku sedang terpuruk begini. Aku mencariMu… kepadaMu kuserahkan segalanya, di mana Kau Tuhan… di mana…..?”
Biasanya pencarian itu perlahan berubah dari tangisan lirih di tengah sedu sedan perlahan ganti raungan sambil terus bertanya di mana Tuhan bahkan tak jarang berujung protes bahkan tuntututan. Padahal Tuhan selalu ada bersama kita, hanya saja kitanya malah sedang ingin bersama orang lain. Lantas berseru lagi, datanglah Tuhan.. lawat kami. Namun ketika Tuhan mampir, kitanya malah pindah alamat.
Satu perisitiwa terekam dalam benak saat tragedi kerusuhan ’98 hingga mengakibatkan negeri ini krisis ekonomi serius membuat orang berduit sempat kuatir soal tabungan. Satu per satu bank mulai merger demi menghindari kebangkrutan bahkan rontok mendadak. Para nasabah menyelamatkan saldo berlomba menarik uang. Lalu di tukar dollar, emas batangan, atau sekedar memindahkan ke bank lebih terpercaya versi masing-masing di luar negeri maupun dalam negeri. Pokoknya riuh rendah.
Lucunya, termasuk ibuku yang saldonya pun tipis-tipis belaka, turut dalam kegaduhan. Siang sudah menarik di ATM sampai batas maksimal, lalu pukul 00.01 bagai Cinderella panik pulang karena hari segera berganti, beliau kembali ke ATM minta ditemani salah satu iparku. Karena hari sudah berganti, jadi bisa tarik lagi dengan batas maksimal yang nota bene kecil jumlahnya karena kartu ibupun jenis silver. Juga tidak antre panjang, bahkan sama sekali tak ada siapa-siapa selain mereka.
Aku berkomentar kenapa begitu kuatir padahal uangnya tidak seberapa di bank, dalam kaitan harusnya yang lebih kuatir para pengusaha dengan saldo membubung, ibu dengan polos bilang: “Justru karena sedikit harus diselamatkan, daripada yang sedikit itupun nanti hilang.”
Ahhhh ibu….! Bukankah lebih berbahaya menarik uang di ATM tengah malam sepi senyap? Yang ditarik tidak seberapa, resikonya lebih besar dari saldo ibu sekalipun. Tapi begitulah pikiran sederhana ibu, sesungguhnya bukan sekedar ingin menyelamatkan uang dan diri sendiri, tapi pastinya anak-anak semua. Batin ibu, dalam keterpurukan ekonomi, minimal ibu masih bisa bantu dari tabungannya bila anak-anak butuh.
Sementara di bagian kisahku, setiap ada telepon teman, pembahasan juga sama, seputar saldo bank apakah sudah diselamatkan ditambah kisah bagaimana mereka saat menarik di mesin ATM yang mendadak banyak rusak, kosong, belum lagi antrean panjang di mesin maupun bank. Kisah mereka tidak terjadi padaku, bukan karena telah menyelamatkan uang sebagaimana komentar temanku: “Kamu sih tenang, pasti tabunganmu dollar kan, nggak perlu tergesa-gesa.” Bukan tanpa alasan ada pendapat demikian karena di tahun itu pekerjaanku memang lebih banyak ke luar masuk negeri orang sebagai tour leader anak-anak peserta summer course.
Padahal sama sekali bukan. Jujur saja, aku tak terlibat keriuhan penarikan tabungan sebab saldoku pun sebatas minimum. Tidak tertutup otomatis saja sudah bagus. Nah, apa yang harus diselamatkan? Bank pun barangkali lupa memperhitungkan aku sebagai nasabah. Di situasi normal, pasti aku yang grasa grusu bagaimana bertahan dengan kondisi keuangan carut marut.
‘Minim maksimal’
Bayangkan dua istilah kontradiktif bahkan bisa senada menggambarkan nasibku. Tapi dalam kekurangan justru bersyukur karena jadi lebih tenang. Minimal saat kerusuhan itu tidak menambah rusuh hidupku.
Kejadian senada, terjadi akhir Mei lalu kala gelombang kedua pandemi menerjang persada nusantara tercinta. Saat harus mengantar anakku kembali ke kota Kudus karena bersekolah di sana, libur telah usai. Sejak awal pandemi, sudah jadi kebiasaaan aku dengan kendaraan sendiri kerap antar jemput anak demi meminimalisasi kontak dengan orang lain. Hanya saja, jangankan dulu memenuhi keperluan wajib lain, sekedar uang tol sekali jalan saja tidak cukup. Kubujuk anakku bersabar, jelas dia sedih karena merasa bertanggung jawab akan setumpuk tugas. Akupun sedih melihat kekecewaannya, lalu mencoba menawar berangkat tidak tanggal 29 Mei sesuai rencana, tapi 1 Juni. Berusaha cari jalan keluar dengan mengulur waktu.
Dia mengerti dan menerima keadaan karena statusnya bukan batal tapi tertunda. Senyumnya mengembang dalam harapan. Apa akan dilakukan seorang ibu melihat senyum anaknya meski dalam hati dia tahu senyum itu tidak akan bertahan lama sebab belum tentu di tanggal itu keuangan sudah membaik. Sesungguhnya aku bukan mencari jalan mendapatkan uang, tapi lebih berupaya bagaimana menyampaikan agar kami tidak pergi dulu tanpa dia kecewa dan merasa aku hanya ibu PHP kalau pinjam istilah anak gaul alias pemberi harapan palsu.
Di saat berpikir keras, pesan masuk dari salah satu gurunya mengabarkan situasi terkini sekaligus mengingatkan jangan kembali ke Kudus untuk sementara karena tiba-tiba saja sehabis libur kemaren gelombang kedua menerjang Kudus hingga kota itu menutup pintu keluar masuk. Anakku tak butuh penjelasan lagi sebab semua begitu jelas. Sejelas konsep penyelamatan Ilahi di mana cinta Tuhan sering datang dalam bahasa yang tidak kumengerti. Tapi tugasku hanya berusaha paham saja.
Tak hendak lagi membayangkan andai tak terjadi kesulitan ekonomi, anakku di sana dan aku di sini di bawah langit sama tapi dirubung kegelisahan serta kekuatiran berbeda. Dalam keterbatasan dengan posisi saling berjauhan pula. Tetapi justru dari kekurangan, jadi tetap berkumpul menghadapi semua rintangan dan situasi sulit bersama. Sangat melegakan! Batinpun berbisik, bersyukur kekurangan uang saat itu, bukan syukurin, uangmu tidak cukup….!
Berkali-kali sudah terjadi kesulitan membawaku pada keselamatan hingga mengajarkan tetap mengucap syukur justru dalam keterpurukan sekalipun, bukan semata kala sukacita. Akhirnya mampu menyikapi dalam ketiadaan sekalipun ada keselamatan bukan kebingungan bagaimana menyelamatkan diri.
Permisiiiiii… Ini bukan sok bijak
Sekadar tuturan refleksi agar tak sesak
Bila doa kita terkabul, itulah berkat
Bila tidak (belum) terkabul itu pun berat
Tapi terselubung
Salam Cinta
Ita Sembiring, Pekerja Seni, Kontributor