HIDUPKATOLIK.COM – Pada moto saya ada sebuah perahu (aba, bahasa Mentawai, Red.) yang menunjuk pada misi Gereja.
AWALNYA tahbisan episkopal Uskup Terpilih Keuskupan Padang, Mgr. Vitus Rubyanto Solichin, SX direncanakan pada 26 Agustus 2021. Namun, diundur ke tanggal 7 Oktober 2021 karena situasi darurat Covid-19 dan beberapa pertimbangan lain. Pada 30 Agustus 2021 yang lalu, atas permintaan HIDUP, Frater Erik Ndeto, SX berkesempatan mewawancarai Mgr. Ruby, sapaan akrabnya, bertempat di ruangan perpustakaan komunitas Skolastikat Xaverian, Cempaka Putih Raya 42, Jakarta Pusat. Vatikan mengumumkan pengangkatan Mgr. Rubi menjadi Uskup Padang pada tanggal 3 Juli 2021. Berikut petikan wawancaranya:
Selama penundaan ini, apa saja kegiatan atau persiapan Monsinyur?
Jadwal pennahbisan pada akhir Agustus lalu sebetulnya ditentukan oleh Nuncius yang saya pilih sebagai Uskup Penahbis Utama. Penjadwalan tersebut rupanya satu kejutan bagi para imam dan umat Keuskupan Padang. Sebab, lazimnya waktu penahbisan maksimum tiga bulan semenjak pengumuman itu. Kalau toh, perayaan sesuai jadwal, konsekuensinya dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Undangan yang hadir pun hanya 50 orang dan sangat terbatas. Penundaan ini ditawarkan oleh Nuncius sendiri, sewaktu saya pergi mengambil tongkat dan cincin uskup yang sudah tiba dari Roma. Nuncius mengatakan penahbisan ini bisa saja dilaksanakan di Jakarta jika dalam situasi darurat. Namun, apa kata umat nanti? Nuncius tetap menghargai umat dan menganggap perayaan ini merupakan pesta umat, sebab mereka telah cukup lama menanti gembala bagi mereka.
Penundaan ini menjadi kesempatan bagi saya untuk membereskan tugas-tugas di komunitas, khsusunya serah terima ke romo rektor yang baru. Saya masih di sini ikut membantu merayakan Ekaristi dan urusan lain. Saya juga menyempatkan diri kembali ke rumah menjumpai Ibu, merayakan Ekaristi di almamater saya dulu di Semarang, mengunjungi Uskup Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko dan mencoba busana uskup di Surabaya. Rupanya penahbisan tanggal 7 Oktober bertepatan dengan HUT Katedral Semarang yang berpelindungkan Maria Ratu Rosario. Ini kebetulan, tetapi penundaan yang membawa berkat, baik bagi komunitas maupun bagi umat agar bisa terlibat dalam perayaan ini.
Apa makna penunjukan ini bagi pribadi Monsinyur dan Xaverian Indonesia dan dunia?
Secara pribadi saya adalah seorang Xaverian. Sampai penunjukan ini pun saya tetap merasakan misionaritas sebagai karisma Serikat Xaverian, juga sebagai uskup, saya punya cita-cita misioner. Karisma ini tidak bisa dihilangkan. Itu makannya dalam logo uskup muncul Fransiskus Xaverius melalui simbol salib dan kepiting. Nuncius sendiri mengatakan bahwa pemilihan ini merupakan satu penunjukan misioner. Dulu saya sempat melamar ke Serikat Yesus, tetapi diberi kesempatan untuk discernment selama beberapa tahun. Tidak, saya memilih karena saya mau menjadi misionaris. Kemudian saya coba ke Xaverian dan diterima. Nuncius mengatakan justru karena saya getol mau menjadi misionaris, maka sekarang saya ditugaskan sebagai misionaris di Padang.
Penunjukan ini bermakna sekali! Umat Keuskupan Padang melihat ini sebagai buah dari Serikat Xaverian, apalagi tepat dengan momen 70 tahun kehadiran Xaverian di Indonesia. Bagi saya juga penunjukan ini sebenarnya satu pewarisan karisma kebapaan Gereja. Artinya, ketika pengumuman resmi pada tanggal 3 Juli, Xaverian baru selesai merayakan Yubileum Surat Wasiat Bapa Pendiri (St. Guido Maria Conforti) yang juga seorang uskup. Saya tidak merasa ini sebagai pengangkatan jabatan karier tetapi sebagai satu warisan kegembalaan. Saya berterima kasih atas kerelaan keluarga Xaverian. Dalam keadaan seperti ini saya merasa tidak pantas tetapi saya bersyukur atas kepercayaan dan dukungan dari para konfrater sekalian.
Monsinyur kiranya berkenan menceritakan proses yang dijalani hingga akhirnya dipanggil ke Kedubes Vatikan. Perasaan yang muncul pada saat itu? Kepada siapa pertama kali hal ini disampaikan?
Pertama kali kepada siapa, justru tidak boleh disampaikan kepada siapa-siapa. Saya dipanggil pertama kali ke Kedubes Vatikan bulan Februari sebelum pandemi. Ketika saya berjumpa dengan Nuncius, ia mengatakan, “Kamu jangan berpikir macam-macam.” Saya pun tidak berpikir macam-macam. Lagi pula saya sudah beberapa kali dipanggil ke Kedutaan pada masa Nuncius sebelumnya, untuk menerjemahkan teks khotbah. Saya berpikir, panggilan ini untuk tujuan yang sama. Nuncius mengatakan bahwa ia mendengar dari umat, saya mengajar di mana-mana dan ia meminta kesediaan saya untuk sekali waktu memimpin rekoleksi bagi karyawan di Kedutaan. Dalam pembicaraan itu, ia bertanya terkait pengenalan saya akan beberapa imam Keuskupan Padang. Saya berterus terang bahwa saya tidak begitu mengenal para imam di sana. Nama-nama yang disebut pun kurang saya kenal. Perbincangan itu kemudian tentang pribadi saya dan para konfrater Xaverian lainnya. Perjumpaan itu berakhir dengan makan siang bersama.
Setelah perjumpaan itu saya beberapa kali dihubungi Nuncius misalnya meminta nomor Direksi Jenderal Xaverian di Roma dan Curiculum Vitae pastor lain. Ia juga bertanya tentang perjalanan imamat saya seperti kaul kekal, tahbisan imamat, dan penugasan lainnya. Sampai pada bulan Juni sebelum Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus saya dipanggil. Setibanya di sana, saya diajak masuk ke ruangan tamu. Tanpa basa-basi, Nuncius mengatakan bahwa Bapa Suci meminta kesediaan saya untuk ditugaskan sebagai Uskup Padang.
Mendengar itu ekspresi dan reaksi saya biasa-biasa saja, tampak tenang tetapi di dalam hati berkecamuk banyak hal. Kemudian saya diminta berdoa di depan Sakramen Mahakudus. Saya pasrahkan kepada Tuhan rasa takut dan khawatir yang saya alami. Setelah itu saya berjumpa dengan Nuncius dan ia meminta satu pernyataan tanggapan atas penunjukan ini. Saya mengatakan bahwa dengan rahmat Tuhan saya bersedia, berani menerima tugas ini. Nuncius memberitahu bahwa penunjukan ini tidak boleh diberitahu kepada siapa-siapa. Lalu, saya mengatakan bagaimana dengan bapa pengakuan dosa. “Itu sebuah pengecualian,” tandasnya. Saya baru memberitahu Ibu saya pada pukul 12 siang sebelum pengumuman resmi pada pukul 17.00 WIB.
Keuskpan Padang sebetulnya bukan keuskupan yang asing bagi Monsinyur. Artinya, sudah terbayang juga keadaan, tantangan di wilayah ini. Apa yang Monsinyur pikirkan ke depan terutama penggembalaan umat?
Tidak asing sejatinya dalam arti saya mengenal cukup dekat beberapa imam senior Keuskupan Padang sewaktu saya menjalani Tahun Orientasi Misioner dan praktik diakonat di Mentawai. Misalnya Romo Anton Konsen dalam sebuah perjumpaan virtual nampak begitu terharu dan bangga atas penunjukan ini. Saya harus menyadari bahwa saya orang baru. Maka pertama saya akan belajar dari umat maupun para imam situasi dan tantangan yang ada. Saya juga sudah mengikuti pertemuan dengan beberapa yayasan seperti Yohanes Paulus dan Prayoga yang mempunyai akademi kesehatan. Saya sangat mendukung rencana penambahan prodi dan perubahan status menjadi sekolah tinggi, apalagi saya sudah punya pengalaman sebagai Waka 1 di STF Driyarkara. Saya pikir pembangunan yang bisa saya sumbangkan untuk formasi Kitab Suci, tapi juga pendidikan, bukan hanya untuk umat tetapi para imam.
Apa rencana Monsinyur dalam membangun relasi di tengah pluralitas Keuskupan Padang?
Tentu saja menarik melihat dinamika umat di Keuskupan Padang dalam situasi dan konteksnya punya tantangan perjumpaan iman yang besar. Misalnya Mentawai dengan maraknya pesantren-pesantren, saya tidak bisa membuat rencana sebab saya harus mengenal terlebih dahulu. Saya percaya bahwa Islam di daerah Minang tetap Islam Indonesia. Oleh karena itu mengenal kebudayaannya, berdialog dengan mereka sekiranya lebih baik daripada berprasangka. Usaha semacam inilah yang perlu dalam menjalin relasi dengan mereka.
Apa yang bakalan Monsinyur lakukan di awal perutusan, rencana jangka pendek dan jangka panjang bagi Keuskupan?
Jangka pendek tentu saja kunjungan, karena tadi saya mengatakan harus belajar memahami situasi dan persoalan dari umat. Di banyak tempat umat menunggu Sakramen Krisma dan pemberkatan gereja, saya kira itu pekerjaan yang besar.
Saya pikir tidak jangka panjang kalau rencana yang sudah dipikirkan almarhum Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFMCap untuk mengadakan Musyawarah Pastoral (Muspas). Bahannya sudah ada, maka dalam jangka panjang sesudah kunjungan-kunjungan itu akan dipikirkan bagaimana Muspas itu diselenggarakan.
Kepada sebuah media internasional, Monsinyur mengatakan akan mengembangkan komunitas basis insani. Dari mana datangnya inspirasi tersebut? Apakah hal ini ada kaitannya dengan moto dan logo?
Moto dan logo saya pada waktu itu belum dibuat. Lalu mengapa komunitas basis, karena saya percaya bahwa kemandirian umat itu bukan dari atas tetapi dari bawah, dari akarnya. Dalam arti negatif mandiri bisa berarti berjalan sendiri-sendiri, maka mereka membutuhkan satu pelayanan kegembalaan, supaya kekuatan ini bisa menjadi kekayaan yang besar. Komunitas basis ini saya alami sewaktu di Mentawai dulu. Mereka rutin berkumpul untuk membaca sabda dan sharing pengalaman.
Pada moto saya ada sebuah perahu yang menunjuk pada misi Gereja. Perahu (aba) ini kalau di Mentawai juga berfungsi sebagai tempat makan (lula), yang mana orang berkumpul untuk menikmati bersama makanan yang ada. Selain itu pula ada burung pelikan yang merobek dirinya, agar darahnya yang keluar bisa dimakan oleh anak-anaknya yang kelaparan. Burung pelikan ini merupakan simbolisme Kristologi, Yesus yang memberikan diri-Nya dalam Ekaristi bagi dunia. Jadi, titik berangkat saya dari Mentawai sebagai tempat saya mengalami banyak pengalaman berkesan sewaktu di sana dulu.
HIDUP, Edisi No. 40, Tahun ke-75, Minggu, 3 Oktober 2021