Apa yang Menjadikan Sebuah Sekolah Katolik ‘Katolik’

1294

HIDUPKATOLIK.COM – MEREKA yang mengenal saya tahu bahwa, sebelum memasuki jenjang universitas, saya tidak pernah belajar di sekolah Katolik. Alasannya cukup sederhana: sekolah Katolik di dekat tempat saya tinggal tidak memenuhi ekspektasi orangtua saya.

Saya prihatin dengan kenyataan bahwa banyak sekolah Katolik yang tidak berperilaku sesuai dengan namanya. Tidak hanya ada ‘umat Katolik KTP’ di sekitar kita; ternyata, ada banyak juga ‘sekolah Katolik KTP.’ Pernyataan berikut dari seorang kudus dari abad kemarin mengungkapkan keadaan ini dengan jelas: “Saya harus mengakui bahwa saya tidak menyukai ungkapan ‘sekolah Katolik,’ ‘sekolah Gereja,’ dll. … . Saya lebih menyukai suatu hal yang ditonjolkan karena buahnya, bukan karena namanya. Sebuah sekolah bisa dikatakan benar-benar Kristiani ketika sekolah itu … memberikan pendidikan yang integral—yang mencakup pembinaan iman Kristiani—, sembari menghormati kebebasan pribadi dan mempromosikan keadilan sosial … . Jika hal itu tercapai, maka nama tidaklah terlalu penting” (Santo Josemaría, Percakapan, no. 81)

Tidak bisa diragukan bahwa pendidikan anak menempati salah satu posisi teratas dalam daftar prioritas orangtua Katolik. Oleh karena itu, mereka berhak memilih apa yang terbaik untuk anak-anak mereka, walaupun itu bisa jadi berarti mempercayakan pendidikan mereka ke sebuah sekolah non-Katolik. Pada dasarnya, mereka berharap bisa menyekolahkan putra-putri mereka di sebuah sekolah Katolik. Namun, karena berbagai alasan dan keadaan, mereka memilih untuk tidak melakukannya.

Apakah anda orangtua Katolik yang sedang memilih sekolah untuk anak-anak Anda? Apakah Anda bekerja di sebuah sekolah atau yayasan Katolik? Atau, apakah anda seorang Katolik yang ingin memperbaiki panorama sekolah Katolik di daerah anda? Jika anda menjawab iya, maka artikel ini ditulis untuk anda. Di sini, saya akan menguraikan tiga ciri-ciri sekolah Katolik yang autentik berdasarkan dokumen Vatikan II yang berjudul Gravissimum Educationis.

Kesadaran sebagai Bagian dari Gereja

Ciri pertama yang membedakan sebuah sekolah Katolik dari lembaga pendidikan lainnya adalah kesadarannya sebagai bagian dari Gereja. Sekolah-sekolah non-Katolik bisa jadi berjuang semata-mata untuk mengikuti tren pasar atau memenuhi tuntutan para pengurus yayasan. Sebaliknya, sebuah sekolah yang benar-benar Katolik tidak akan pernah lupa bahwa ia adalah bagian dari Gereja yang didirikan oleh Kristus. Misinya tidak berbeda sama sekali dari misi Gereja. Setiap sekolah Katolik adalah sebuah sarana—sarana yang paling penting—bagi Gereja untuk menyebarluaskan pendidikan kristiani.

Di sisi lain, kesadaran sebuah sekolah akan tempatnya dalam Gereja akan membangkitkan kesadaran bahwa ia perlu senantiasa bekerja sama dengan para orang tua murid. Perlu diingat bahwa pendidik utama seorang anak bukanlah guru sekolahnya, namun orangtuanya sendiri. Oleh karena itu, guru-guru sekolah Katolik dituntut untuk “bekerja sama, terutama dengan para orangtua … dalam seluruh pendidikan” (GE, 8).

Hanya apabila sebuah sekolah sadar bahwa ia adalah bagian dari Gereja, ia layak menyandang nama ‘Katolik.’

Keselarasan antara Iman dan Akal Budi

Sebuah sekolah Katolik yang sejati juga ditandai oleh keselarasan antara iman dan akal budi. Belakangan ini, ekspresi seperti ‘pendidikan integral’ dan ‘pendekatan interdisipliner’ telah menjadi frasa kunci di ranah pendidikan secara umum. Namun, pendidikan adalah benar-benar integral hanya jika ia mampu menyelaraskan iman dengan akal budi. Dengan demikian, sebuah kurikulum yang mengecualikan iman Kristiani, misalnya, tidak layak disebut ‘integral.’ Lebih parah lagi adalah sekolah-sekolah yang berlabel ‘Katolik’ namun sama sekali tidak memberikan pembinaan iman Katolik atau memberikannya dengan kualitas di bawah standar.

Pendidikan yang integral harus beraspirasi untuk mengembangkan pribadi manusia dalam semua dimensinya, yang mencakup dimensi-dimensi intelektual, emosional, rohani, moral, profesional, dan lain-lain. Karenanya, pencapaian akademis, yang tentunya sangat penting bagi sebuah sekolah, tidak dapat dijadikan satu-satunya parameter untuk mengukur seberapa ‘Katolik’ sebuah sekolah. Mengapa demikian? Karena manusia bukan hanya terdiri dari intelek. Selain intelek, saya memiliki tubuh yang juga harus dididik. Saya mempunyai kehendak yang harus diresapi oleh niat-niat mulia. Saya merasakan emosi yang perlu disesuaikan dengan akal budi. Intelek saya, pada gilirannya, juga harus diterangi oleh iman.

Hanya apabila sebuah sekolah menawarkan pendidikan integral yang ditandai dengan keselarasan antara iman dan akal budi, ia layak menyandang nama ‘Katolik.’

Mengajar sebagai Sebuah Panggilan

Ciri terakhir dari sekolah Katolik yang sejati adalah keyakinannya bahwa tugas mengajar yang diembannya adalah sebuah panggilan. Memang, ide ini tidak dimiliki secara eksklusif oleh kaum Katolik. Namun sebuah artikel tentang sekolah Katolik tidak akan lengkap tanpa rujukan kepada para guru, yang seharusnya “menyadari, bahwa terutama peranan merekalah yang menentukan bagi sekolah Katolik, untuk dapat melaksanakan rencana-rencana dan usaha-usahanya” (GE, 8).

Pembaca Gravissimum Educationis dapat menemukan di dalamnya setidaknya tiga ciri yang perlu dimiliki oleh guru-guru Katolik. Tanpa guru-guru dengan ciri-ciri di bawah, tidak ada sekolah yang dapat dianggap sungguh-sungguh ‘Katolik.’

Pertama, kompeten. Guru hendaknya “sungguh-sungguh disiapkan, supaya membawa bekal ilmu-pengetahuan profan maupun keagamaan” (GE, 8). Saya ingin menggarisbawahi kata ‘maupun’ di atas. Kompetensi mencakup bukan hanya penguasaan ilmu-ilmu profan, namun juga ilmu keagamaan. Dengan kata lain, seorang guru yang tidak sepenuhnya berpegang teguh dan menghidupi iman Katolik tidak layak untuk bekerja di sebuah sekolah Katolik. Mengapa? Karena siswa-siswi harus dibimbing untuk menyadari bahwa tidak ada pertentangan sama sekali antara apa yang diajarkan dalam kelas sosiologi dan apa yang dijelaskan kepada mereka dalam kelas agama—misalnya—karena semua kebenaran berasal dari Allah, yang adalah Kebenaran itu sendiri.

Kedua, apostolik. Para guru Katolik sepatutnya menjadi rasul-rasul bagi murid-murid mereka. Semua guru dipanggil untuk “memberi kesaksian tentang Kristus Sang Guru satu-satunya melalui perihidup dan tugas mereka mengajar” (GE, 8). Lebih konkret lagi, seorang guru yang baik—terlepas dari materi yang ia ajarkan—adalah guru yang membawa Injil ke ruang kelasnya! Mungkin ia tidak melakukannya dengan berbicara mengenai Kristus secara eksplisit, namun ia bisa melakukannya dengan menunjukkan kesabaran dan cinta akan kebenaran.

Ketiga, mencintai. Cinta kasih bukanlah sekadar perasaan, namun kehendak untuk mengusahakan apa yang baik bagi orang lain. Akan tetapi, perlu diingat bahwa cinta kasih seorang guru terhadap murid-muridnya tidak boleh berhenti pada hari kelulusan mereka. Sebaliknya, Gereja mendorong semua guru agar, “juga sesudah para siswa tamat sekolah …[,] tetap mendampingi mereka dengan nasehat-nasehat, sikap bersahabat, pun melalui himpunan-himpunan yang bertujuan khusus dan bernafaskan semangat gerejawi yang sejati” (GE, 8). Anjuran ini menegaskan lebih lagi bahwa, lebih dari profesi semata, mengajar adalah sebuah panggilan.

Hanya apabila sebuah sekolah memiliki tim guru-guru yang kompeten, apostolik, dan mencintai dengan sungguh, ia layak menyandang nama ‘Katolik.’

***

Sembari saya menulis artikel ini, saya teringat akan percakapan saya dengan seorang kenalan beberapa tahun yang lalu. Karena dia adalah seorang Katolik yang taat, saya terkejut ketika mengetahui bahwa dia memilih untuk tidak menyekolahkan kedua putrinya di sekolah Katolik. “Mengapa demikian, Bob (bukan nama sebenarnya)?” saya terbingung-bingung. Jawaban yang dia berikan sangatlah singkat namun menusuk: “Father, saya menyekolahkan putri-putri saya di sebuah sekolah non-Katolik karena saya lebih memilih untuk mengetahui bahwa mereka diajar oleh setan—dengan demikian, saya dapat secara khusus menyisihkan waktu untuk membekali mereka dengan pendidikan iman Kristiani yang memadai di rumah—daripada beranggapan bahwa mereka dibimbing oleh malaikat padahal, pada kenyataannya, mereka dididik oleh setan.”

Jika anda, di satu sisi, adalah orangtua yang berencana menyekolahkan anak anda di sebuah sekolah Katolik, pastikan bahwa tiga kualitas yang telah dipaparkan di atas dimiliki oleh sekolah tersebut. Di sisi lain, jika Anda terlibat dalam memajukan sekolah Katolik baik sebagai guru, pengelola yayasan, maupun pastor paroki, saya memohon agar anda bertanya kepada diri sendiri: apa yang dapat saya lakukan untuk meningkatkan (1) kesadaran sebuah sekolah bahwa ia adalah bagian dari Gereja, (2) keselarasan antara iman dan akal budi, serta (3) kualitas guru di sekolah-sekolah Katolik? Belum terlambat untuk mengubah haluan dan ketekunan kita tidak akan sia-sia!

Hanya apabila sebuah sekolah memiliki tim guru-guru yang kompeten, apostolik, dan mencintai dengan sungguh, ia layak menyandang nama ‘Katolik.’

R.D. Kenny Ang, S.T.B. & B.Phil. Universitas Navarra (angkatan 2018)

HIDUP, Edisi No. 39, Tahun ke-75, 26 September 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini