HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 3 Oktober 2021 Minggu Biasa XXVII Kej.2:18-24; Mzm.128:1-2, 3, 4-5, 6; Ibr.2:9-11; Mrk.10:2-16 atau Mrk.10:2-12
DALAM Bacaan Pertama yang diambil dari Kej. 2:18-24 dikisahkan bagaimana Tuhan menciptakan Adam dan Hawa. Mula-mula Tuhan menciptakan Adam (suatu kata Ibrani yang berarti manusia). Lalu Tuhan menciptakan Taman Eden dan menempatkan Adam di sana. Eden adalah suatu taman yang penuh dengan berbagai macam pohon indah yang buahnya menarik dan baik untuk dimakan. Namun, kebahagiaan Adam ternyata belum sempurna. Tuhan sendiri yang berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. “Mengapa? Sebab manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, artinya makhluk yang hidup bersama dengan dan berkembang dalam persatuan dengan sesamanya. Ada pepatah Yahudi yang berbunyi, “Sesama manusia atau kematian,” artinya daripada tanpa sesama lebih baik mati.
Kesepian memang penderitaan yang mengerikan (Bdk. Yes.27:10; Mikh.7:14; Rat.1:1 dsb.). Oleh karena itu, Tuhan memutuskan untuk menciptakan seorang penolong yang sepadan dengan Adam, artinya yang semartabat dengannya. Mula-mula Tuhan menciptakan segala macam binatang, lalu membawanya kepada Adam. Akan tetapi, dari antara mereka Adam tidak menemukan seekor pun yang layak menjadi teman setaranya. Dari sebab itu, Tuhan menciptakan seorang makhluk baru yang “dibangun” dari tulang rusuk Adam. Tulang rusuk yang menjadi “bahan” penciptaan makhluk baru ini mau mengungkapkan kesetaraan perempuan dengan pria karena perempuan memiliki “bahan” yang sama dengan pria. Selain itu, tulang rusuk melambangkan juga kedekatan perempuan dengan pria, sebab tulang rusuk letaknya dekat hati atau jantung manusia.
Ketika Tuhan membawa segala jenis hewan kepada Adam, tidak dikatakan bagaimana reaksi Adam. Akan tetapi, ketika makhuk baru yang dibuat dari tulang rusuknya sendiri dibawa Tuhan kepadanya, dengan penuh sukacita Adam menyambutnya sambil berseru, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku,” suatu ungkapan yang berarti, “Inilah sanak‑saudaraku” (Bdk. ungkapan yang sama pada Kej. 29:14). Penolong yang sepadan dengan Adam itu dinamai “perempuan” (Ibrani: issyah) karena ia diambil dari pria (Ibrani: isy). Di sini ada semacam permainan kata: isy (pria) dan isssyah (perempuan), seperti dalam bahasa Inggris: man dan woman! Sejumlah rabbi Yahudi mengajarkan bahwa manusia baru menjadi lengkap dan sempurna apabila bersatu dengan lawan jenisnya. Ajaran Alkitab yang luhur mengenai makna istri bagi suami‑ nya dapat dibandingkan dengan pandangan Jawa. Dalam bahasa Jawa istri adalah “garwa.” Menurut kata orang, garwa merupakan singkatan dari “sigaraning nyawa” (=belahan jiwa).
“Sebab itu seorang laki‑laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging.” Pria dan perempuan yang menikah akan menjadi “satu daging,” yang tidak hanya memiliki arti persatuan fisik semata‑mata melainkan juga persatuan hidup dalam semua aspeknya.
Yesus meneguhkan paham tentang hubungan suami-istri seperti yang kita temukan dalam kitab Kejadian dan menganggapnya sebagai maksud asli Sang Pencipta. Karena itu, izin untuk bercerai yang terdapat pada Ul. 24:1-4 Dia anggap sebagai akibat dari kekerasan hati bangsa Israel, dan bukan kehendak asli Tuhan. Yesus dengan tegas berkata, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mrk. 10:9. Berdasarkan ucapan Yesus ini Gereja Katolik Roma berpegang teguh pada keyakina bahwa dua orang yang dipersatukan secara sah dalam Sakramen Pernikahan tidak bisa diceraikan dengan alasan apa pun.
“Pria dan perempuan yang menikah akan menjadi “satu daging,” yang tidak hanya memiliki arti persatuan fisik semata‑mata melainkan juga persatuan hidup dalam semua aspeknya.”
HIDUP, Edisi No. 40, Tahun ke-75, Minggu, 4 Oktober 2021