Suara Sumbang Saat Menyumbang

248

HIDUPKATOLIK.COM – Ketika aku mendefenisikan ini sebagai peduli
Kenapa kamu menjadikannya tuntutan
Sehingga aku kehilangan makna kata syukuri
Dan seketika mulut ini refleks melontar umpatan

Pesan orangtuaku, berbuat baik harus tulus, tanpa pamrih, jangan pamer. Masih sederet kata dengan didahului jangan. Tapi tidak sekalipun berpesan jangan marah! Sebab ketika berbuat baik, mana mungkin terbersit amarah. Perbuatan baik pasti selalu didasari sukacita. Mana ada amarah sehingga tak masuk dalam pesan moral yang perlu disampaikan. Otomatis!

Defenisi perbuatan baik luas, enggak perlu dibahas juga. Tapi sebut saja salah satu ya menyumbang. Sumbang uang, makanan, tenaga, benda-benda baik baru maupun bekas. Terserah, apa saja boleh! Yang tidak boleh saat menyumbang adalah suara sumbang. Selain itu juga tolong pahami kalau menyumbang itu bukan membuang. Semisal menyumbang baju bekas bukan karena mau numpang membuang jadi ngasinya ‘bekas baju’. Penerima juga butuh sebuah kelayakan meski statusnya bantuan sebagai ujud kepedulian. Jadi banyak hal harus dipedulikan.

Pernah di lorong pasar tradisional aku bertemu pengemis. Isi dompet cuma recehan Rp. 500 rupiah dan selembar Rp. 20.000. Hasrat menyumbang menggebu, tapi galau. Masak iya ngasi Rp. 20.000 yang nota bene itu kondisi miris keuanganku hingga akhir minggu dan saat itu baru Selasa. Mau memberi recehan Rp. 500, rasanya kok gimana gitu ya….! Menurutku, peduli pun butuh logika serta pertimbangan. Sempat terpikir lewat saja berlagak tidak lihat, tapi wajahnya memelas berharap kemurahan hati. Dalam bimbang kuputuskan menyerahkan Rp. 500 dengan asumsi bila 5 orang saja memberi sejumlah itu kan jadi Rp. 2.500, lumayan beli bakwan pengganjal perut. Namun apa  terjadi…? Dwaaaaarrr…. wajah sendu tadi berubah jengkel bahkan nyinyir berseru  “Yah.. cuma gopek…!”

Jelas terdengar sumbang selain cempreng membuat orang sekitar menoleh sekaligus ikut menertawakan. Aku malu dan itu membekas di hati, membuat ketika di lampu merah bertemu pengemis lain, dengan wajah memelas agak lebay memaksa dari samping mobil bermohon: “Mbaaaak kasihaaaaan, 3 hari nggak makan.”

Jatuh kasihan kah aku? Sayangnya tidak, langsung buka kaca, menyahut: “Weeiiissss…. kuat amat lu.. 3 hari enggak makan masih bisa keliaran di lampu merah! Gua enggak sarapan pagi saja langsung kliyengan… Anda luar biasa!”

Pengemis kaget,  tak sangka akting lemesnya gagal. Sponta berdiri tegak bersamaan dengan lampu berganti hijau dan aku melesat tak peduli. Tolong jangan hujat kelakuanku ya,  sungguh sekadar reaksi spontan atas lebaynya pemuda sehat itu dan tentu saja sedikit efek dari kasus gopek. Kali ini suaraku yang sumbang bahkan sebelum lagi menyumbang.

Peristiwa ‘suara sumbang’ juga menimpa ibuku. Ada wanita penjual kue selalu menyapa di pintu samping rumah. Hari itu dagangannya habis jadi tidak menawarkan kue tapi bertanya apakah ibu punya baju bekas? Karena  sedang tidak mengumpulkan baju bekas seperti biasa, ibu memberi beras sekarung kecil karena kebetulan ada. Lagi-lagi bukan terdengar terima kasih, tapi suara sumbang: “Ini beras jatah kantor ya..? Kan jelek!”

Sejatinya ibuku perempuan berhati lembut bersuara halus, mendadak emosi berseru: “Kalau tidak mau kembalikan saja. Somboooong!” Tukang kue melengos sambil nyengir mengejek, tapi beras tetap dibawa. Ibu kesal sebab merasa menyumbang bukan karena beras jatah dan jelek, memang sedang punya persediaan lebih dan ada rasa iba. Bahkan ibu memasak beras yang sama buat di rumah.

Masih seputar suara sumbang dalam sumbangan, selagi pandemi ini ada teman membagikan nasi bungkus kepada tuna wisma dan disambut pertanyaan: “Minumnya mana? Kok cuma nasi?”

Reaksi pertama tentu saja kaget dan jengkel. Tapi karena hatinya mulia dan tulus, dia cepat minta maaf. Merasa benar juga ya, selayaknya kalau berbuat baik jangan nanggung. Tapi reaksiku beda, langsung emosi, “Ihh.. enggak tahu bersyukur. Pilih mana? Dapat air mineral gelas, terus situ beli makan sendiri!”

Meski terkesima, temanku tidak terpengaruh emosi, malah berjanji lain waktu kalau menyumbang lebih komplit demi menghindari suara sumbang.  Ups… beda ya denganku.. he..he.. Maafkan aku masih marah karena berprinsip, sekecil apapun kebaikan itu tetap besar karena didasari niat  baik dan penerima pun harus berbesar hati. Tejadi secuil perdebatan diantara beberapa orang.

“Kalau enggak lengkap memang jangan nyumbang dari pada bikin kesel.”

“Terserah yang menyumbanglah, penerima tinggal bersyukur kok repot. Atau sekalian menolak. Jangan nerima tapi ngomel.!”

“Bagaimana kalau bisanya segitu? Terus, karena kurang komplit, enggak sesuai  keinginan penerima, apa nggak usah gitu?”

“Menyumbang memang sebaiknya lihat dulu orangnya butuh apa..!
“Enak banget….! Tinggal nerima kok ngatur! Kalau ternyata enggak butuh, kasi lagi ke yang membutuhkan. Jadilah saluran berkat saja!”

Ntar kalau ditanya dulu butuh apa, ternyata  kebutuhannya lebih mahal dari budget kita bahkan lebih banyak.. walaaaaah… modyaaar…!”

Ini baru secuil dialog. Belum lagi kalau ada aksi sosial lingkungan atau komunitas. Suara sumbang bukan soal apa sumbangannya, tapi siapa penerima layak. Si A bilang, B layak menerima. Lalu C menyahut, B rumahnya bagus jadi nggak layak. Padahal sesungguhnya baru PHK, sangat butuh bantuan. Ternyata D lebih merana,  tapi  masih ada sumbangan dari komunitas lain, jadi menolak. Begitu terus berputar hingga akhirnya ada G sangat butuh malah terlewatkan. Terlalu sibuk berdialog dan penyumbang juga pusing.

Sekali peristiwa ada kerabat mengabarkan kalau sekeluarga terpapar Covid dan minta bantuan. Lalu kami bantu, lantas dua hari kemudian telpon lagi minta dibelikan tabung Oxygen dengan menyebut  harga Rp. 5 juta. Mohon maaf, jujur saat itu ada rasa jengkel bahkan sempat berprasangka, sebab situasikupun sedang sulit. Kusarankan menghubungi kontak dan link anjuran pemerintah dalam menghadapi situsai serupa.

Manakala  kejengkelan nyaris  berubah  amarah, kucoba meredam dengan berdialog dengan diri sendiri, barangkali panik karena sekeluarga terpapar, jadi tak paham harus bagaimana. Justru seharusnya bersyukur karena dipercaya dan dipilih sebagai penolong. Beragam simulasi otak bergulir  demi meredam ketidaknyamanan. Tak hendak suara sumbang justru berasal dari aku. Kupilih mendiamkan, dan memang tak lagi ada kabar soal tabung sambil kuyakini no news is good news.  Salahkah aku karena sempat jengkel? Entahlah, masih banyak hal lebih penting untuk dipikirkan daripada sekedar berkutat soal salah benar soal kebaikan. Toh sudah ada tatanannya.

Jadi, suara sumbang perihal sumbangan tidak akan pernah selesai tanpa para pihak satu frekuensi. Sebaiknya bagaimana ya..? Tetaplah menebar kebaikan meski berbuat baik di republik ini tidak mudah.

Permiisiiiii… bukan bermaksud menghakimi
Bolehkan ada curiga meski pada situasi sulit
Apakah ini akan jadi dosa melilit
Jujur…, sulit kupahami

Salam Cinta

 

Ita Sembiring, pekerja seni, kontributor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini