SEBAIKNYA PANGGIL USKUP ATAU MONSINYUR?

2611

HIDUPKATOLIK.COM – Kita, umat Katolik biasa menyebut atau memanggil Bapak Uskup, Romo Uskup atau Monsinyur untuk menyebut imam yang tertahbih sebagai uskup, baik yang memiliki wilayah keuskupan maupun tidak. Kepada para uskup yang pernah menjabat, kita panggil uskup emeritus, dan bukan monsinyur emeritus. Dengan kebiasaan, bahasa dan rasa bahasa masing-masing daerah, mungkin ada sebutan lain. Umat di Keuskupan Agung Semarang, bagi Uskup Agung KAS misalnya, biasa memakai sebutan  Rama Kanjeng.

 

Para uskup Konferensi Waligereja Indonesia. (Foto: Ist.)

Dalam Sesi ke-52 Pertemuan Api Karunia Tuhan tanggal 6 September yang lalu (Pertemuan rutin pukul 20.00-21.00, awal-awalnya 20.00-22.00 tiap Senin dengan peserta sekitar 500 tiap pertemuan—saya baru absen tiga kali), Ignatius Kardinal Suharyo menyinggung etimologi kata uskup dan monsinyur. Dengan menghargai faktor situasi dan sejarah Gereja, Kardinal Suharyo menyampaikan, “saya lebih suka dipanggil uskup daripada monsinyur.”

Dalam percakapan malam itu, kardinal sebagai pengajar tetap, menjelaskan Surat Rasul Paulus kepada Timotius yang pertama, topiknya syarat-syarat bagi penilik jemaat (1 Tim. 3:1-7). Dalam sejarah Gereja awal di abad ke-1-2, untuk  kelancaran pelayanan kegembalaan, dari antara jemaat dipilih penatua-penatua, yang tugasnya mengunjungi dan memimpin umat dalam mengembangkan iman mereka. Timotius, murid setia Paulus, ditugasi memilih penatua-penatua seperti yang disyaratkan oleh Rasul Paulus (1 Tim. 3: 2-7) di Efesus. Titus, murid setia Paulus yang lain, ditinggalkan di Kreta juga diberi hak memilih penatua di setiap kota dengan syarat yang sama seperti disampaikan pada Timotius (1 Titus 1:6-9). Penatua artinya presbiter atau imam. Sedangkan Timotius disebut pemimpin atau episcopus yang sekarang disebut uskup.

Dalam konteks sebutan dan tugas penatua itu, menurut cardinal, untuk menegaskan karya pelayanan dan bukan kekuasaan, sebutan uskup dirasanya lebih pas daripada monsinyur (tuan). Pemahaman tentang teks-teks Kitab Suci perlu ditempatkan dalam kacamata zamannya.  Dengan tugas dan syarat, para penatua memimpin jemaat, bahkan dalam surat kepada Titus, Paulus menyebut dengan tegas penatua itu penilik jemaat. Tugas mengunjungi dan melayani jemaat ini di abad kemudian ditegaskan dalam Konsili Vatikan II dengan “Dekret tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja” (Christus Dominus).

 

 

Presiden Joko Widodo di tengah para uskup Indonesia dalam pertemuan di Istana Bogor tahun 2018. (Foto: Ist.)

Dalam dekret itu tidak disebut eksplisit tentang sebutan untuk uskup, sebab tergantung dan dipengaruhi faktor sosial budaya dan bahasa setiap kelompok masyarakat. Terkait sebutan yang biasa dipakai uskup atau monsinyur pun berkembang. Intinya sesuai dengan arahan Rasul Paulus adalah penilik jemaat. Seorang penilik jemaat bukan hanya tukang tiliktilik tetapi diwarnai dengan sekian turunan tugas sebagai pelayan. Karena itu sebutan para penilik sebaiknya disesuaikan dengan makna sebagai pelayan.

Sejalan itu, umat Katolik di Jawa Tengah dan Yogyakarta misalnya, menyebut para uskup sebagai Rama Kanjeng bagi Uskup KAS Albertus Soegijapranta, SJ dan para uskup sesudahnya, sementara bagi Paus di Roma mereka biasa sebut “Santo Bapa ing Ngerum”. Umat yang biasa berbahasa Indonesia menyebutnya monsinyur, uskup atau Paus. Mencoba mendudukkan makna yang seharusnya, kita umat sebaiknya bagaimana? Menyebut atau memanggil para gembala iman kita di tingkat keuskupan itu monyinyur atau uskup?

Paus Fransiskus, demikian Kardinal Suharyo sering mengkritik klerikalisme (paham tentang klerus – biarawan/biarawati, imam), dengan harapan mereka lebih menekankan karya pelayanan dan bukan kekuasaan seperti yang dipahami sebelum Konsili Vatikan II. Sebutan uskup dalam konteks ini memang bermacam-macam, tetapi sebutan uskup yang berlaku umum. Istilah penyakit klerikalisme tidak disebut oleh Paus Fransiskus, tetapi dalam Pesan Natal 2014 kepada Curia (lembaga yang menjalankan tugas administrasi Gereja Katolik), Paus menyebut 15 penyakit dalam tubuh Curia (Tempo.co, 23 Desember 2014). Ke-15 penyakit itu merupakan cerminan uskup sebagai pejabat dan penguasa, bukan pelayan dan penggembala iman umat.

 Mengajar, Menguduskan, dan Menggembalakan

Terkait sebutan uskup, tugas sebagai penilik umat, dan 15 penyakit klerikalisme yang diingatkan Paus Fransiskus, relevan penjelasan Uskup Ignatius Kardinal Suharyo dalam buku The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita, Kanisius 2009. Di antaranya, dalam dekret Christus Dominus itu,  dirumuskan secara singkat peran dan tugas uskup, yaitu mengajar, menguduskan, dan menggembalakan. Tugas dijalankan dengan cara yang berbeda-beda, tergantung dari banyak unsur di keuskupan masing-masing  (ibidem, h. 224-226). Keutamaan seorang uskup demi tiga tugasnya, sekurang-kurangnya yang dicita-citakan, dapat dibaca dari semboyan yang dipilih.

Ignatius Kardinal Suharyo (Dok. HIDUP)

Romo Ignatius Suharyo ketika ditahbiskan sebagai Uskup Agung KAS, 22 Agustus 1997, memilih semboyan “Aku melayani Tuhan dengan rendah hati” (Serviens Domino cum omni humilitate). Menurut Uskup Suharyo, semboyan itu baginya lebih mencerminkan cita-cita dan bukan cermin keadaan dirinya. Uskup ingat pidato perpisahan Rasul Paulus dengan para penatua di Efesus. Rasul Paulus ingin dikenal sebagai pelayan dan sudah berusaha menjalankan pelayanannya dengan rendah hati (Kis. 20:17-38).

Rendah hati, demikian dia tulis, artinya humilis turunan kata dasar humus. Humus adalah lapisan tanah hitam yang sangat subur, dan benih yang ditaburkan di tanah humus akan tumbuh. Kerendahan hati lantas menjadi keyakinannya merupakan keutamaan dasar. Semua benih bisa tumbuh di tanah humus, demikian pula setiap keutamaan dapat tumbuh dan berkembang di atas keutamaan kerendahan hati.

Kutipan penjelasan Ignatius Kardinal Suharyo di atas, saya temukan sebagai dasar pendasaran lebih jauh terkait pernyataan tentang “saya lebih suka dipanggil uskup daripada monsinyur”. Atau Bapak Uskup, atau Romo Uskup? Selain mengacu pada Dekret Christus Dominus juga semboyan tahbisan uskup yang dipilihnya “Aku melayani Tuhan dengan rendah hati”.

St. Sularto, Kontributor, Wartawan Senior

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini