HIDUPKATOLIK.COM – BERITA menggembirakan berhembus setidaknya di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), yaitu dibukanya kembali gereja untuk peribadatan dengan mengikuti ketentuan (prokes) yang telah ditetapkan oleh otoritas Keuskupan. Pembukaan kembali ini tentu saja pertanda bahwa situasi sudah mulai membaik setelah pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dilakukan. Dampak positifnya mulai dirasakan, tidak hanya oleh umat Katolik, tetapi juga umat beragama alias sesama warga bangsa yang lain. Zona-zona hijau makin meluas. Masyarakat mulai berkegiatan dengan lebih leluasa. Berita baik seperti ini kita sangat harapkan datang dari keuskupan lain atau wilayah lain di Tanah Air ke depan.
Namun hal itu bukan berarti dampak atau terpaan pandemi telah berakhir. Tidak. Justru inilah yang perlu mendapat perhatian yang tidak kalah seriusnya dengan penanganan penyebaran virus itu sendiri. Media nasional Harian Kompas menurunkan berita tentang adanya puluhan ribu anak di Indonesia yang kehilangan orangtua yang meninggal akibat Covid-19 selama masa pandemi (Lihat Kompas, tertanggal 23 dan 24 Agustus 2021). Hal ini sangat memprihatinkan kita semua. Bagaimana anak-anak yang kehilangan orangtuanya ini harus menjalani hari-harinya ke depan, tak hanya dari sisi psikologis tetapi juga kelansungan kehidupan mereka secara ekonomis. Bukan hanya anak-anak yang kehilangan orantuanya, tetapi juga suami kehilangan istri/anak atau istri yang kehilangan suami/anak, kerabat dan keluarga lainnya akibat Covid-19. Hal ini pun kemungkinan besar akan menjadi problematika sendiri tak hanya bagi pemerintah tetapi juga lembaga-lembaga keagamaan seperti Gereja.
Tak mengherankan jikalau Uskup Malang, Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan OCarm yang kami angkat dalam Sajian Utama edisi ini dengan tegas mengatakan, tak memikirkan lagi merayakan lima tahun pertama tahbisan episkopalnya sebagai Uskup Malang yang jatuh pada awal September ini. Dalam wawancara dengan majalah ini ia mengatakan, makin banyak umatnya yang jatuh dalam kemiskinan, kehilangan pekerjaan, dan pengangguran. Apa yang terjadi di Keuskupan Malang kemungkinan besar tidak jauh berbeda dari keuskupan atau wilayah lain di Tanah Air.
Kendati masalah makin banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan dan jumlah warga miskin yang meningkat adalah tanggung jawab pemerintah, Gereja tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya juga alias Gereja pun perlu menyinsingkan lengan baju. Dalam hal ini, bagaimana memberikan bantuan sosial kepada umat yang terdampak langsung. Hal ini sudah banyak dilakukan sejak awal pandemi. Gerakan baksos-baksos muncul dari pelbagai paroki dan kalangan, termasuk organisasi atau kelompok kategorial di lingkungan Gereja. Tanpa diperintahkan, masing-masing mengambil inisiatif untuk melakukan aksi kemanusiaan konkret.
Ke depan, untuk jangka pangjang, perlu dipikirkan suatu skema, selain baksos, juga pemberdayaan umat perlu dirancang. Kerja sama dengan pihak-pihak lain alangkah sangat diharapkan. Kebersamaan, semangat gotong-royong, bela rasa musti makin direkatkan dan diperkuat. Perlu diberi perhartian secara khusus untuk anak-anak/remaja/orang muda yang kehilangan orangtua agar mereka tak kehilangan harapan akan masa depan mereka.
HIDUP, Edisi No.36, Tahun ke-75, Minggu, 5 September 2021.