Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko: Engkau Adalah Mesias

334

HIDUPKATOLIK.COM – Renungan Minggu, 12 September 2021 Minggu Biasa XXIV Yes.50:5-9a; Mzm.116:1-2, 3-4, 5-6, 8-9; Yak.2:14-18; Mrk.8:27-35

Mgr. Robertus Rubiyatmoko (Foto: Ist.

JAWABAN Petrus “Engkau adalah Mesias” ini berawal dari pertanyaan Yesus kepada para murid-Nya: “Tetapi menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Mrk. 8:29). Merasa tidak puas dengan kata orang banyak mengenai diri-Nya yang tidak lebih dari seorang nabi (Mrk. 8:28), Yesus ingin mengetahui sejauh mana para murid-Nya sendiri mengenal Dia. Telah cukup lama para rasul mengikuti Yesus kemanapun Dia pergi, bahkan hidup bersama dengan-Nya. Maka dapat dipahami kalau diandaikan mereka memiliki pengenalan yang lebih dalam tentang siapakah Yesus, dibandingkan dengan orang-orang Yahudi lainnya.

Dan betul jawaban Petrus lain dari yang lain. Sementara orang banyak menyamakan Yesus dengan Yohanes Pembaptis atau Elia atau seorang dari para nabi, Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Petrus melihat dalam diri Yesus adanya kualitas lebih dari seorang nabi, sekalipun itu nabi besar seperti Yohanes Pembaptis dan Elia. Karena itu jawaban Petrus “Engkau adalah Mesias” cukup melegakan, meskipun masih menyisakan pertanyaan apakah gambaran Petrus mengenai Mesias sama dengan kemesiasan (mesianitas) yang dihidupi oleh Yesus sendiri.

Bacaan Injil (Mrk. 8:27-35) dan bacaan I (Yes. 50:5-9a) dari Minggu Biasa XXIV – B kiranya memberi penegasan akan adanya perbedaan paham yang jelas mengenai kemesiasan Yesus. Seperti kebanyakan orang Yahudi lainnya, Petrus memiliki gambaran Mesias sebagai seorang tokoh politik yang diutus Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan bangsa lain. Ia bermartabat raja dari keturunan Daud yang diurapi Allah untuk melestarikan wangsa Daud dan membawa kemakmuran bagi umat Israel. Bahkan diyakini Mesias akan mampu memimpin bangsa-bangsa lain.

Petrus memiliki gambaran Mesias yang sama dengan orang-orang Yahudi lainnya. Itulah sebabnya ia menegur Yesus ketika berkata “Anak Manusia harus menanggung banyak pen­deritaan. Ia akan ditolak oleh tua-tua, oleh imam-imam kepala dan ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari”. Sebenarnya melalui ungkapan ini Yesus ingin menyampaikan bahwa kemesiasan yang dihidupi-Nya sangat berbeda dengan yang diharapkan oleh Petrus dan orang-orang Yahudi lainnya. Yesus memang Mesias, namun bukan dalam arti politis yang berkuasa dengan penuh kemegahan dan kedigdayaan, sebaliknya Mesias yang sederhana penuh dengan penderitaan dan aniaya. Kemesiasan-Nya nampak bukan dalam kemampuan-Nya membebaskan Bangsa Israel dari para penjajah, namun dalam keberhasilan-Nya membebaskan bangsa manusia dari kuasa kejahatan (kegelapan). Seluruh karya pelayanan-Nya tidak dimaksudkan untuk memberikan kemakmuran duniawi bagi Israel, namun untuk mendatangkan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Untuk itu Yesus rela menderita dan menyerahkan diri hingga mati di kayu salib demi penebusan dosa umat manusia.

Kelihatan sekali Yesus menghidupi kemesiasan-Nya menurut gambaran Hamba Yahwe sebagaimana dilukiskan dalam Yesaya 50:5-9a: memberikan punggungnya kepada yang memukulnya, memberikan pi­pinya kepada yang mencabuti janggutnya, dan tidak menyembunyikan mukanya ketika dinodai dan diludahi oleh orang-orang yang menuntut kematiannya. Hanya satu yang menjadi kekuatan-Nya: Tuhan Allah yang pasti menolong-Nya. “Sungguh, Tuhan Allah menolong aku; siapakah yang berani menyatakan aku bersalah?” Demikian keteguhan Hamba Yahwe.

Perlu dicatat bahwa aniaya, penderitaan, dan kematian yang dialami oleh Yesus, Sang Mesias, Sang Hamba Yahwe, bukanlah kesia-siaan dan kekalahan, sebaliknya keberhasilan dan tanda kemenangan-Nya mengalahkan kuasa kejahatan. Penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib menjadi jalan menuju pemuliaan diri-Nya dan penebusan seluruh umat manusia. Itulah sebabnya Yesus mengajak semua murid untuk mengikuti jalan salib-Nya menuju keselamatan, dengan berkata: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mrk. 8:34). Menyangkal diri dan memikul salib merupakan konsekuensi yang harus ditanggung oleh setiap murid yang mau mengikuti-Nya, agar nantinya memperoleh hidup kekal. Perlu dipahami bahwa “salib” tidak selalu berarti penderitaan; demikian juga tidak semua penderitaan adalah salib. Yang dimaksudkan salib adalah setiap beban kehidupan yang harus dipikul sebagai konsekuensi menjadi murid Yesus. Hal ini menjadi nyata dalam kerelaan, ketekunan, dan kegembiraan melaksanakan tugas harian dengan penuh tanggungjawab. Inilah jalan salib murid-murid Yesus menuju puncak Golgota, yakni kemenangan dalam kehidupan abadi.

Semoga kita, para murid-Nya, selalu setia mengikuti Yesus, Sang Mesias, memikul salib sampai di puncak Golgota. Berkah Dalem.

Seluruh karya pelayanan-Nya tidak dimaksudkan untuk memberikan kemakmuran duniawi, namun untuk mendatangkan keselamatan bagi seluruh umat manusia.”

HIDUP, Edisi No. 37, Tahun ke-75, Minggu, 12 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini