HIDUPKATOLIK.COM – SUATU sore anak semata wayang saya berkeluh kesah, dia mengatakan, “Mami aku kok akhir-akhir ini merasa tidak punya sahabat.” Saya terheran-heran dengan keluhan dia, selama ini saya perhatikan dia banyak sekali berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-temannya dalam kegiatan online baik itu dalam kegiatan volunteer, tugas-tugas kuliah maupun acara-acara online lainnya, baik dalam organisasi maupun gaming, yang melibatkan dia dan teman-teman nya.
Keluh-kesah singkat ini akhirnya membuat kami terlibat dalam obrolan cukup panjang dan sampai pada sebuah definisi “sahabat” menurut dia. Sahabat adalah seseorang di mana dia bisa jujur mengungkapkan perasaannya tanpa takut membuat sahabatnya marah, tersinggung atau pun perlu berhati-hati dalam bercerita dan demikian pula sebaliknya.
Definisi yang dirumuskannya ini membuat saya berpikir apakah saya mempunyai sahabat seperti yang dimaksudkan olehnya? Saya jadi ragu apakah selama ini orang yang saya anggap sahabat adalah benar-benar sahabat sesuai definisi ini?
Saya berpikir sepanjang malam itu, menganalisa relasi satu per satu teman yang selama ini menurut saya cukup dekat, sudahkah saya memperlakukan mereka sebagai sahabat … Saya sampai pada sebuah kesimpulan, ternyata tidak ada satu pun dari mereka adalah sahabat sesuai definisi anak saya. Tidak heran jika anak saya merasa tidak punya sahabat. Mungkin yang dimaksudkan oleh anak saya adalah seorang “sahabat sejati”.
Jujur saya merasa tidak akan bisa menceritakan 100% kisah hidup saya pada seseorang. Paling tidak hanya 95% saya bisa jujur menceritakan perasaan saya, peristiwa yang saya alami ataupun saya bisa jujur dgn perasaan saya sesungguhnya terhadap tingkah pola mereka, hanya pada segelintir orang saja, yang cukup dihitung dengan 5 jari. Terus terang saya tidak tahu apakah orang yang saya percayakan kisah hidup saya, mereka pun menceritakan dengan jujur tentang diri mereka, perasaan mereka dan menganggap saya sahabat.
Rasanya mungkin lebih sedikit lagi sahabat yang bisa jujur membuka kesalahan-kesalahan saya dan mengungkapkan hal-hal yang berada dalam koridor “kebutaan” saya, demikian juga sebaliknya. Kami cenderung berhati-hati dalam berelasi, takut menyinggung perasaan sahabat saya, takut terjadi keributan, khawatir menyebabkan kehilangan sahabat.
William A. Barry, SJ dalam bukunya Berdoa dengan Jujur, menuliskan suatu bab yang sangat indah tentang persahabatan. Dia mengatakan, “Persahabatan berada dalam masalah saat kita menghindari persoalan peka yang membuat sulit untuk jujur satu sama lain.” Persahabatan berkembang lewat kejujuran, menceritakan hal yang sebenarnya dan transparan tanpa perlu menghindari kegaduhan, seolah-olah kehati-hatian dalam saling memperhatikan satu sama lain merupakan fondasi dari persahabatan. Fondasi sesungguhnya dari sebuah persahabatan adalah kejujuran.
Sahabat Seperjalanan
Dalam Injil Yohanes 15:15 dikatakan, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku”.
Jika dipikir-pikir saya jadi malu sendiri. Tuhan dengan jelas mengatakan tidak menyebut lagi kita manusia sebagai hamba, tetapi seringkali saya memperlakukan Tuhan sebagai hamba. Saya minta ini itu kepada Tuhan seolah-olah Tuhan harus menuruti segala yang saya inginkan. Jika tidak terpenuhi seringkali saya merajuk dan menganggap “Tuhan ga adil, Tuhan ga banget deh, bukan itu mauku ….”
Tetapi terkadang, jarang-jarang memang, hanya jika sedang waras saja. Saya memperlakukan Tuhan seolah-olah sebagai seorang raja yang perlu disembah, dipuja-puji dan segala titah-Nya, aturan-Nya harus ditaati dengan kaku dan ketat, seolah perlu berhati-hati, takut menyinggung Tuhan dan membuat-Nya marah. Bahkan tanpa disadari saya dengan takut-takut bertanya pada Tuhan “apa yang Tuhan ingin aku lakukan untuk-Mu”, seperti seorang bawahan ABS yang ingin menyenangkan atasannya saja.
Saya cukup terhenyak saat membaca apa yang Pastor Barry sharingkan mengenai percakapannnya dengan Tuhan. Ia menceritakan bahwa sejak Masa Prapaskah tahun 2010, ia mempunyai sebuah kebiasaan untuk menanyakan kepada Tuhan, “Apa yang Tuhan inginkan dalam relasi persahabatan kami.”
Suatu hari tampaknya Tuhan sudah bosan ditanya seperti itu, dan Dia berbicara kepada Pastor Barry, “Hampir setiap kali Barry, engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang Aku inginkan darimu, engkau mencari sesuatu untuk engkau kerjakan bagi-Ku. Aku tidak ingin engkau melakukan sesuatu bagi-Ku; Aku ingin engkau menjadi sahabat-Ku, supaya Aku dapat menyingkapkan diri-Ku kepadamu dan engkau dapat menyingkapkan dirimu kepada-Ku”.
Sebuah jawaban yang sangat intim sekaligus menohok cukup dalam dan berpotensi menciptakan kegaduhan. Tampaknya bagi Allah persahabatan tumbuh dari penyingkapan diri timbal balik, mengungkapkan kebenaran tentang diri satu sama lain dan menjadikan doa sebuah dialog, bukan monolog sesuai permikiran kita, atau sesuai rumusan-rumusan doa indah yang dituliskan secara berbunga-bunga dan panjangnya berlembar-lembar.
Tuhan hanya ingin kita menyingkapkan diri kita kepada-Nya, bukan karena Tuhan tidak tahu kondisi kita atau siapa diri kita sebenarnya. Tuhan pastinya lebih tahu tentang diri kita, tetapi karena Tuhan ingin kita jujur pada Nya, tentang semua hal yang kita alami, kepedihan yang kita rasakan, suka cita yang kita alami, perasaan kehilangan, yang dalam pandangan kita tergantung pada kuasa Allah sang pencipta, dan kita tidak mampu menerimanya, tetapi tidak cukup berani mempertanyakan dengan jujur, “Kenapa Tuhan ini terjadi?”
Mungkin kita perlu belajar dari bangsa Israel yang berani mengungkapkan keluh kesahnya dengan jujur atas malapetaka pembuangan di babel lewat kitab ratapan (dalam bahasa Ibrani disebut Eikhah, yang artinya “Kenapa”). Bagaimana mereka meratap dan berkeluh kesah kepada Tuhan dan mempertanyakan mengapa harus terjadi malapetaka yang menimpa bangsa merek? Walaupun Kitab Ratapan pada umumnya bernada sedih, namun di dalamnya tampak suatu kepercayaan kepada Tuhan dan harapan akan masa depan yang cerah.
Seringkali kejujuran yang kita ungkapkan pada Tuhan, akan membawa kita pada pengenalan akan diri kita sendiri lebih dalam lagi, membukakan hal-hal tersembunyi yang menjadi “blind area” diri kita, dan membuat relasi dan pengenalan akan Tuhan menjadi lebih intim dan personal layaknya 2 orang sahabat.
“Doa adalah sebuah hal sederhana, seperti dua orang sahabat yang ngobrol berdua, berbagi pemikiran dan perasaan, meminta dan menerima pengampunan, meminta dan menerima nasehat dan saling sadar akan kehadiran pribadi lainnya” – William A Barry SJ
Tidak heran jika KAJ mengambil tema BKSN tahun 2021 ini adalah Yesus sahabat seperjalananku. Dalam kondisi yang serba sulit dan tidak menentu ini, kita sangat perlu seorang sahabat sejati. Sahabat yang benar-benar mampu 100% memahami keseluruhan diri kita adanya dan Yesus sudah menawarkannya pada kita, untuk menjadi sahabat seperjalanan kita. Sudahkah kita memperlakukan Yesus sebagai sahabat sejati?
Felicia Fenny S., Kontributor