Uskup Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi: Menjadi Tanda Kehadiran Gereja yang Dekat dengan Mereka yang Memerlukan Bantuan

174
Mgr. Pius Riana Prapdi

HIDUPKOTOLIK.COM – Minggu, 29 Agustus 2021 Minggu Biasa XXIIB Ul. 4:1-2, 6-8; Yak. 1:17-18, 21-22, 27; Mrk. 7:1-8, 14-15, 21-23

PENGINJIL Markus mengisahkan perdebatan Yesus dengan orang Farisi dan ahli Taurat mengenai hukum Taurat. Yesus tidak menentang hukum Taurat tetapi menentang praktik kesalehan lahiriah yang berlebihan. Orang Farisi lebih mementingkan tradisi, yaitu interpretasi manusiawi daripada hakikat hukumnya sendiri. Mereka berpegang teguh pada adat istiadat nenek moyang. “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri” (Mrk. 7:9). Ketika mereka melihat murid-murid Yesus makan dengan tangan najis, mereka mempertanyakan kepada Yesus. Mereka juga menganggap Yesus gagal mendidik para murid-Nya menaati hukum Taurat. “Mengapa murid-muridMu tidak hidup menurut adat-istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” (Mrk. 7:5).

Yesus menanggapi tuduhan orang Farisi dan ahli Taurat dengan bersabda: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik. Sebab ada tertulis: bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dariKu. Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat-istiadat manusia” (Mrk. 7:6-8). Yesus menolak kesalehan lahiriah orang Farisi dan ahli Taurat yang terlalu bersifat formalistis bahkan menjadi orang munafik. Mereka rajin berdoa, berpuasa, dan menjalankan berbagai peraturan agama tetapi hatinya jauh dari Allah. Bahkan mereka menganggap orang yang tidak menaati peraturan dianggap sebagai orang berdosa. Mereka lebih mementingkan tradisi demi kesucian lahiriah daripada kesucian hati. Mereka mengutamakan tata lahiriah daripada perubahan hati.

Sebagaimana Musa, demikian pula Yesus menegaskan makna hukum Taurat yakni sebagai hukum yang mempersatukan dan menjadi berkat. Hukum Taurat mempersatukan semua suku yang ada pada bangsa Israel dan watak yang berbeda-beda menjadi satu umat Allah. Hukum Taurat membuat mereka menjadi berkat. Dengan melaksanakan hukum itu, umat Allah menjadi bangsa yang unggul daripada bangsa lain. Hukum Taurat membuat mereka dekat dengan Allah. Keunggulan bangsa Israel terletak pada kedekatan dengan Allah. “Bangsa besar manakah yang mempunyai Allah yang demikian dekat kepadanya seperti Tuhan Allah kita, setiap kali kita memanggil kepadaNya?” (Ul. 4:7). Kedekatan dengan Allah merupakan berkat bagi bangsa Israel sendiri dan bagi bangsa lain karena keadilan sosial benar-benar dihayati dan dilaksanakan. “Ketetapan dan peraturan demikian adil seperti seluruh hukum itu…” (Ul. 4:8). Yesus menegaskan bahwa perbuatan jahat kepada sesama itulah yang membuat seseorang najis (Bdk. Mrk. 7:14-23). Perbuatan jahat dapat timbul dari hati seseorang karena hatinya jauh dari Allah.

Covid-19 memanggil lebih kuat agar Gereja menghadirkan kedekatan dengan Allah. Dekatnya Allah dalam Gereja harus tampak melalui tindakan yang nyata mengasihi sesama, terutama yang menderita. Paus Fransiskus juga menginginkan Gereja yang keluar untuk menjumpai mereka yang menderita. Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan” (Evangelii Gaudium, art. 49). Saat ini kita dapat menyaksikan banyak orang dan lembaga yang memberi hati bagi mereka yang terpapar Covid-19. Paroki-paroki, rumah retret, biara, kelompok kategorial dan lain-lain, menyediakan tempat untuk isolasi mandiri. Ada kelompok-kelompok yang membagikan makanan dan vitamin-vitamin untuk memperkuat imunitas tubuh. Ada orang-orang yang menyediakan diri untuk mendampingi kesehatan mental dan berbagai bantuan yang menghidupkan. Ada orang yang memberikan modal usaha dan melatih orang-orang muda untuk berwiraswata. Dan masih banyak usaha-usaha baik yang menjadi tanda kehadiran Gereja yang dekat dengan mereka yang memerlukan bantuan.

Dengan menjadi dekat dengan mereka yang menderita dan menjadi berkat kebaikan bagi sesama yang memerlukan berarti kita ‘menjadi pelaku firman’ (Yak. 1:22). Hukum telah tertanam dalam hati dan dilakukan supaya kita hidup (Bdk. Ul. 4:1). Hukum yang tertanam dalam hati itu ‘berkuasa menyelamatkan jiwa’ (Bdk. Yak 1:21). Buah dari hukum yang telah tertanam dalam hati adalah usaha-usaha kreatif mewujudkan kebaikan bagi sesama.

Saya lebih menyukai Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan” (Evangelii Gaudium, art. 49)

HIDUP, No. 35, Tahun ke-75, Minggu, 29 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini