HIDUPKATOLIK.COM – “Krisis, resesi, dan pandemi itu seperti api.
Kalau bisa, kita hindari.
Tetapi, jika hal itu tetap terjadi,
Banyak hal yang bisa kita pelajari.
Api memang membakar,
Tetapi juga sekaligus menerangi.….”.
(Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo, 16 Agustus 2021)
Nama panggilannya Hansen, usia sekira 30 tahun. Dia pedagang bendera dengan gerobak. Ada juga umbul-umbul beraneka warna, juga tiang bendera warna merah-putih.
Sebetulnya, Hansen pedagang tanaman. Setiap awal Agustus, dia berubah profesi menjadi penjual bendera. Tanggal 17 Agustus dia kembali ke profesi semula.
“Sekalian merayakan 17-an pak”.
Celetuknya menjawab pertanyaan saya.
Minggu lalu Hansen lewat depan rumah. Beberapa tetangga menyerbu dagangannya. Saya idem dito. Kebetulan ingin memajang umbul-umbul dan bendera panjang di pagar rumah.
Tak lama berselang, jualannya nyaris ludes. Tinggal 1 Bendera Merah Putih yang tersisa.
“Laris manis, tanjung kimpul”.
Tiba-tiba, seorang tetangga berlari kecil menghampiri gerobak Hansen. Dia mau beli Bendera Merah Putih, lengkap dengan tiangnya.
Sesuatu yang mengejutkan terjadi.
“Maaf pak, tidak saya jual. Saya mau pasang di rumah kontrakan saya”.
Si calon pembeli setengah memaksa. Hansen bersikukuh. Transaksi batal. Hansen bergegas melipat kursinya, dan menghela gerobak menjauh dari kami. Kami ternganga melihat “ulahnya”.
Saya membayangkan, itu akan segera dipasang di rumah kontrakannya yang mungkin akan lebih semarak dihiasi Bendera Merah Putih.
Sikap Hansen “agak aneh”. Sebagai pedagang, dia tak melulu mengejar uang. Sebagai Warga Negara Indonesia, dia memilih kontrakannya dihiasi Merah Putih.
Hansen kehilangan delapan puluh ribu rupiah. Meski bukan orang kaya, dia lebih memilih kebanggaan akan simbol kemerdekaan bagi bangsanya, bagi negaranya.
Tidak hanya pandemi yang bisa menjadi api. Hari Kemerdekaan juga bisa menjadi bara yang menyala di dada. Ia bisa membakar semangat dan menyinari makna bangsa yang merdeka.
Kemungkinan besar Hansen tak paham akan retorika itu. Dia hanya menuruti perasaannya bahwa Bendera Merah Putih telah membuat dadanya bergetar, setiap tanggal 17 Agustus.
Harry Hartoyo, sahabat saya sejak SD, asal Semarang, menyebut pilihan Hansen sebagai “krenteg”. (Bahasa Jawa : Kehendak yang kuat atau getaran jiwa). Krenteg yang sama juga dimiliki oleh seorang ibu asal Batusangkar yang jualan rempeyek berkeliling kampung kami.
Saya tak tahu namanya. Saya hanya menandai bahwa jalannya agak diseret. Dia menjual satu bungkus rempeyek dengan harga enam ribu rupiah.
Yang istimewa bukan rasanya. Tapi di dalam tas plastik besar wadah rempeyek-rempeyek itu, terselip Bendera Merah Putih.
Tak begitu besar, tapi cukup menyita perhatian saya untuk menanyakannya.
“Saya beli duapuluh ribu. Mau saya pasang di rumah”.
Siapa bilang kemerdekaan itu milik kaum elit saja?. Siapa bilang kebanggaan akan Merah Putih itu monopoli para cerdik-cendekia saja?. Siapa bilang nasionalisme itu punya golongan menengah ke atas saja?.
Tidak.
Hansen dan si ibu membuktikan lain.
Greys dan Apriyani tergolong orang-orang spesial. Mereka menangis saat Merah Putih dikerek diiring lagu Kebangsaan Indonesia Raya di Olimpiade Tokyo.
Tidak hanya mereka yang terharu. Duaratus tujuhpuluh juta rakyat Indonesia menggenggam rasa bangga yang sama.
Greys dan Apriyani bukan hanya membuat airmata suporter Indonesia mengucur mendengar lagu Indonesia Raya.
Ada yang lebih dari itu.
Telah terjadi “mukjizat” di luar gegap-gempita pertandingan Olimpiade Tokyo. Kemenangan mereka berefek ganda pada hal-hal lain, yang berkenaan dengan spirit, ruh atau semangat kebangsaan.
Merinding saat menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 17 Agsutus 2021. Kebanggaan yang tiba-tiba muncul bereng-bareng, seolah menyadarkan bahwa dunia belum kiamat. Indonesia negara besar yang tidak akan usai karena pandemi atau gangguan-gangguan apa pun yang menghadangnya.
Ketika ada orang menanyakan apa manfaatnya sikap penjual bendera, pedagang rempeyek, dan pasangan ganda putri yang merebut medali emas, saya memilih diam.
Saya kadung yakin bahwa sikap dan perilaku seperti itu, bila dilakukan oleh sebanyak mungkin orang, dalam berbagai bentuk dan manifestasi, dengan berbagai pencapaian, akan melahirkan optimisme yang menggumpal.
Optimisme membuahkan kebanggaan. Kebanggaan melahirkan usaha dan kerja keras, yang pada ujungnya menggapai pencapaian yang lebih banyak dan lebih tinggi.
“Proud creates achievement”. (AVM)
Begitu seterusnya, proses akan bergulir semakin cepat dan menghasilkan buah yang semakin banyak dan besar.
Itulah, saya mengajak siapa saja, untuk tak kenal lelah, tak henti-hentinya, merayakan kemenangan dan rasa nasionalisme, baik yang dilakukan oleh kaum elit atau masyarakat awam.
Biar hanya catatan kecil dan tak berkesan, jangan berhenti untuk menggaungkan ke setiap kesempatan dan permukaan.
Dua kali Hari Kemerdekaan yang dirayakan di tengah berkecamuknya pandemi bukan hanya api yang membakar, tapi juga nur yang menerangi. Menghujat dan melumat adalah sia-sia, karena hanya menghancurkan pencapaian yang sudah setengah jalan.
Kita berjalan di atas rel yang sudah benar, meski jalan itu berliku, meliuk, berkerikil, dan panjang. Dengan sikap konstruktif dan sinergis, akan terdengar lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dialunkan oleh seluruh bangsa Indonesia dengan penuh semangat, dan irama yang menghentak.
“……….Hiduplah Indonesia Raya”.
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif