HIDUPKATOLIK.COM – HAMPIR tiap hari saya mendapat kabar duka meninggalnya orang-orang yang saya kenal baik. Di antara mereka ada mertua adik ipar, teman lama satu angkatan kuliah, istri sepupu, istri teman kantor, papa teman lingkungan. Dua hari terakhir ini, berturut-turut saya mendapat kabar duka karena dua orang suster Kongregasi Sang Timur, yang pernah bertetangga waktu saya masih di Cakung, juga telah dipanggil Tuhan. Kisah menjelang kematian mereka, sangat beragam. Ada yang harus menderita cukup lama, namun ada yang sangat singkat, ada yang harus dirawat di RS, namun ada juga yang tidak sempat, karena tidak kebagian kamar perawatan RS.
Bicara kematian, ada satu hal yang menurut saya patut kita renungkan, bagaimana sikap mereka saat menjelang berangkat. Apakah mereka sudah siap? Siap menyambut kehidupan baru bersama Bapa Surgawi.
Belasan tahun lalu, saya pernah mendengar satu percakapan di antara para suster sepuh di Biara Sang Timur Cakung. Sore itu saat acara minum teh, mereka sedang membicarakan kematian, namun suasananya begitu santai dan penuh nada sukacita. Sangat nampak para suster ini siap saja bila sewaktu-waktu dipanggil Bapa. Saya saat itu agak merinding mendengarnya. Namun saya menyadari, para suster ini selama puluhan tahun, telah menjalani hidup spiritual yang setia dan saleh. Mereka juga sudah mempersembahkan hidup untuk pelayanan yang tulus. Jadi bisa menghadap Yesus yang mereka cintai, wajar bila menjadi saat-saat yang mereka nantikan.
Kisah Santo Ignatius Loyola menjelang kematiannya juga menarik perhatian saya. Sejak Februari 1556, Ignatius jatuh sakit, ia menderita penyakit hati yang cukup parah. Namun kondisinya turun naik, sakit dan sembuh. Seorang rekannya, Diego de Eguia bahkan mengatakan ada mujizat terjadi pada Ignatius hingga masih dapat tetap hidup sampai sejauh ini. Sepertinya Tuhan masih membutuhkan Ignatius untuk beberapa tugas Serikat.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1550, Ignatius juga pernah mengalami masa krisis yang amat berat, karena sakitnya. Saat itu, dia dan banyak orang mengira inilah saat terakhirnya. Hebatnya dalam kondisi krisis itu, Ignatius merasakan kegembiraan dan hiburan karena merasa akan segera bertemu dengan Yesus yang dicintainya. Mujizat terjadi, Ignatius lolos dari masa krisis.
Akhir Juli 1556, Ignatius kembali menyadari akhir hidupnya sudah dekat. Pada sore hari tanggal 30 Juli, ia memanggil Polanco, sekretarisnya, dan meminta agar Polanco ke Vatikan menghadap Sri Paus Paulus IV untuk memberi kabar, bahwa akhir hayatnya sudah dekat, dan dengan rendah hati mohon berkat Sri Paus untuk dirinya dan juga untuk Magister Lainez (salah satu rekan Yesuit perdana) yang juga sedang sakit parah. Ignatius menjelang akhir hidup, masih memikirkan sahabatnya. Ignatius memang selalu sangat mengasihi dan memperhatikan para sahabatnya. Ia juga sangat rendah hati, walau tahu akan segera berangkat, dalam jabatannya sebagai Jenderal Serikat, ia tidak merasa perlu mengumpulkan rekan-rekan para Jesuit untuk diberi wejangan dan berkat, ia juga tidak merasa perlu mengangkat pengganti. Sikap rendah hati yang luar biasa.
Malam itu ia masih makan malam seperti biasa dengan Polanco dan Madrid, membahas beberapa hal terutama masalah pembelian sebuah rumah untuk Kolese Roma.
Saat tidur, menurut kesaksian perawat Bruder Tommaso, Ignatius sempat gelisah, namun kemudian tenang, sambil terus mengulang-ulang seruan Ya, Allahku. Rupanya nama Allah adalah kata terakhir yang diucapkannya.
Keesokan hari, pagi-pagi sekali Polanco bergegas ke Vatikan, memohon berkat Sri Paus, namun saat berkat diberikan, Ignatius sudah menghembus nafas terakhirnya. Kondisinya sangat tenang dan damai. Tidak nampak sedikit pun bekas rasa kesakitan. Ini seperti kematian biasa, tidak ada orang yang menyadari kondisi sakit yang sebenarnya sedang ia derita. Ia menyambut akhir hidupnya dengan gembira.
(Gereja menetapkan tanggal 31 Juli sebagai hari memperingati St Ignatius Loyola. Pada Kalender Liturgi ditandai sebagai PW Perayaan Wajib.)
Dalam sejarah Serikat Jesus, rintisan Ignatius Loyola, yang tahun ini berusia 500 tahun, telah lahir banyak Jesuit tangguh yang bertugas merasul kemana pun Sri Paus meminta. Banyak di antara mereka gugur dalam menjalankan karya kerasulan. Salah satunya adalah St. Fransisco de Javier atau lebih dikenal sebagai St. Fransiskus Xaverius. Pada bulan Maret 1540 ia diutus oleh Ignatius atas permintaan Paus, untuk melakukan karya misi ke India. Dengan penuh semangat ia langsung berangkat ke Portugal untuk berbagai persiapan. Pada 16 April 1541 ia mulai berlayar dari Lisbon dan baru tiba di Goa, India pada 6 Mei 1542, sungguh perjalanan melelahkan terombang ambing di lautan selama 13 bulan. Memutari benua Afrika, mengarungi samudera Atlantik serta lautan India.
Tidak berhenti di India, dengan semangat merasul yang tinggi, pada 1 Februari 1546 Fransiskus berlayar menyeberang Lautan India menuju Malaka, dan sempat mampir di Kepulauan Maluku, tinggal beberapa waktu di Pulau Ternate dan Pulau Moro. Hampir 2 tahun di Malaka, lalu ia pulang ke Goa. Pada 15 April 1549 ia juga pergi ke Jepang, tepatnya Kagoshima. Selama 2 tahun ia di Jepang, sempat membaptis sekitar 500 orang di Yamaguchi. Dari Jepang ia pulang ke Goa. Misi ke Jepang, ternyata menimbulkan tantangan untuk bisa lanjut ke Cina. Maka pada akhir tahun 1552, ia berlayar lagi menuju China. Tapi baru saja tiba di Pulau Changchuen, 10 km dari pesisir Kanton, ia sakit keras. Malam hari tanggal 3 Desember 1552, diusia 46 tahun, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Beberapa saksi menceritakan bagaimana ia meninggal dengan begitu tenang dan damai.
Fransiskus Xaverius salah seorang teladan hidup yang setia melaksanakan perintah Allah, dengan mengikuti tugas yang diberikan oleh Paus. Ia berjuang selama lebih dari 10 tahun di India, Maluku, Malaka, Jepang, mewartakan Injil dan membaptis begitu banyak orang. Ketika Tuhan memanggilnya pulang, ia terima dengan bahagia. Walau impian untuk mewartakan Injil di CHina belum tercapai, ia percaya Tuhan akan menyelesaikannya.
(Gereja menetapkan tanggal 3 Desember sebagai Pesta St Fransiskus Xaverius, Imam dan Pelindung Karya Misi.)
Barangkali kita bisa mengambil inspirasi dari kisah kematian St. Ignatius dan sahabat dekatnya St. Fransiskus Xaverius. Manakala keseharian hidup kita sangat dekat dengan Yesus, Sang Juru Selamat sejati, dan manakala dalam hidup kita telah berusaha menjalani perintah-perintah-Nya, maka kematian bukan lagi suatu hal yang menakutkan. Bahkan seperti Ignatius dan Fransiskus, kita bisa menyambut akhir hidup dengan gembira.
Fidensius Gunawan, Kontributor, alumni KPKS Tangerang