Ursulin Sukabumi: Merintis, Mengabdi, dan Merawat Jiwa

1099
Biara Suster Ursulin di Sukabumi tahun 1897. (Foto: Dok Ursulin)

HIDUPKATOLIK.COMUrsulin Sukabumi telah mengayuh perahu, memegang kemudi, dan menjaga layar pengabdian agar terus mengembang di tengah samudera luas dan gulungan ombak.

HELLEVOETSLUIS telah tertinggal jauh di belakang. Kota kecil bagian dari Pulau Voorne-Putten sekaligus pelabuhan luar Rotterdam ini menjadi kota terakhir di Negeri Belanda yang dapat dinikmati dengan jelas. Kapal Herman telah membentangkan layar. Dari kota kecil ini, dimulailah pelayaran perdana menuju Batavia, Hindia Belanda, medio September 1855.

Angin Laut Utara yang cukup bersahabat membantu Kapten Matthijs van Velthoven membawa KM Herman memasuki bagian selatan Laut Utara yang mengarah ke Selatan Inggris. Kapten yang pernah mengenyam pendidikan di Akademi Pelayaran Zeemanshoop Amsterdam ini dengan cekatan membawa KM Herman melintasi wilayah perairan batas antara Inggris dan daratan Eropa yang relatif sempit.

Ada 18 penumpang dalam kapal itu. Di antaranya kelompok misionaris – tiga orang imam diosesan dan tujuh orang religius dari Tarekat Santa Ursula (Ursulin), bersama delapan penumpang lainnya. Para Suster Ursulin adalah Sr. Marie Meertens, OSU (pemimpin kelompok); Sr. Xavier Marie Catherine Verhuyght, OSU; Sr. Angèle Christine Kuivers, OSU; Sr. Jeanne Marie Antoinette Nieuwenhuijzen, OSU; Sr. Marie Henriette Elisabeth Geraedts, OSU; Sr. Emmanuel Robine Harris, OSU; dan Sr. Andre van Gemert (novis).

Mereka menikmati pesisir Britania yang akan menjadi wilayah Eropa terakhir yang dapat dilihat. Sesaat mereka memasuki Selat Celtic meninggalkan perairan Britania, setelahnya mereka akan memasuki laut lepas di mana hanya ada ombak dan angin.

Karya di Batavia

Dikisahkan tidak sedikit penumpang yang dalam keadaan stabil, rata-rata mengalami mabuk laut dan terhuyung-huyung. Disebutkan bahwa dari antara mereka yang paling parah mabuk lautnya adalah Sr. Emmanuel Harris, OSU. Apalagi ketika memasuki Teluk Biscay yang disambut cuaca buruk. Tanpa ampun badai Teluk Biscay menghempaskan KM Herman seraya menyisahkan buih putih, biru, hijau di atas geladak. Namun seperti hendak menentang badai, Herman secepat kilat meninggalkan badai itu. Awak kapal yang berjumlah 23 orang itu cekatan mengikuti perintah dari sang kapten hingga lenyap dari amukan ombak Biscay.

Melihat kapasitas KM Herman bisa disebut kapal ini cukup tangguh. Terbuat dari bahan kayu berlapis tembaga. Ketiga tiang layarnya menjulang tinggi di atas badan kapal berukuran 38, 6 meter x 7,38 meter. Kapal ini memiliki dua deck dengan kapasitas kargo 660 ton. Semestinya KM Herman cukup tangguh menembus setiap samudra menuju Batavia.

Sekitar tiga bulan perjalanan, KM Herman belum juga sampai di tempat tujuan. Pada 24 Desember 1855, penumpang terpaksa merayakan Natal di atas kapal. Baru beberapa bulan kemudian, tepatnya 7 Februari 1856, KM Herman tiba di Batavia. Kehadiran para Ursulin tak lain memenuhi undangan Vikaris Apostolik Kedua Batavia, Mgr. Petrus Maria Vrancken untuk memberikan bekal pengetahuan kepada anak-anak Batavia khususnya para putri. Untuk maksud itu, didirikannya sekolah Suster Ursulin pertama di Noordwijk (sekarang Santa Maria Jalan Juanda, Jakarta). Tiga tahun kemudian, didirikan pula sekolah di Weltevreden (sekarang Santa Ursula Jalan Pos Jakarta) yang dikhususkan bagi anak-anak terlantar.

Tanggal 6 Januari 1902, Suster Ursulin di Noordwijck membuka sekolah di Buitenzorg (sekarang Sekolah Regina Pacis Bogor). Tahun 1930, didirikan Hollands Chinese School untuk anak-anak Tionghoa. Sayang karena kekurangan tenaga imam di masa para suster di kamp tahanan sehingga diserahkan kepada para Suster FMM tanggal 8 Juli 1947.

Sementara itu, para Suster Ursulin di Weltevreden membuka cabang di Sukabumi dengan mendirikan biara dan Sekolah St. Xaverius di Jalan Selabatu dan diberkati oleh Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Anton Pieters Van Velsen, SJ pada 21 Juni 1926 yang dikemudian hari diakui sebagai awal berdirinya karya Ursulin Sukabumi. Sebagai Kepala Sekolah dan pimpinan komunitas pertama adalah Sr. Gerardine Emonds, OSU.

Kemudian dibuka pula Europese Lagere School (SD untuk anak-anak Eropa). Tanggal 1 Januari 1930 didirikan Hollands Inlandse School (SD untuk orang-orang pribumi). Sekolah-sekolah ini akhirnya ditutup pada pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Sebagian suster diusir dan dibuang ke Cicurug, Sukabumi seluruh kompleks diduduki tentara KNIL.

Pendidikan Sukabumi

Pada Oktober 1947, para suster kembali ke Sukabumi. Rumah mereka masih diisi bekas tentara sehingga untuk sementara menempati bekas kompleks Suster Jesus Maria Joseph (JMJ) – yang sudah kembali ke luar Jawa. Mereka menetap di Gunung Parang (sekarang kompleks Mardi Yuwana di Jl. RE Martadinata), tepatnya di Pastoran Gunung Parang bersama dengan pastor Fransiskan dan Sr. Adrienne, OSU. Sekolah-sekolah mulai dibuka kembali oleh Sr. Adrienne dengan mendirikan Asrama Putri Sukapiena. Baru pada 1950, rumah di Selabatu dikembalikan kepada para suster. Maka sekolah, biara, dan asrama juga pindah.

Rumah Retret Ursulin Sukabumi (Foto: HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk)

Pada 14 Desember 1957, Majelis Waligereja Indonesia, (MAWI, sekarang Konferensi Waligeraja Indonesia, KWI) memberikan intruksi agar biarawan-biarawati segera mendirikan karya-karya kerasulan baik pendidikan, kesehatan, atau kehidupan berpola asrama, dan karya karitatif lainnya. Hal ini juga sesuai dengan harapan Prefek Apostolik Sukabumi, Mgr. Paternus Nicholas Geise, OFM. Demi mengerucut pada harapan Gereja dan sang gembala akhirnya berdiri Yayasan Yuwati Bhakti yang didirikan oleh para Suster Ursulin dengan Akte Pendirian tertanggal 12 Juni 1958 berkedudukan di Jakarta, dengan Ketua Yayasan Sr. Loyola Mas Bakal, OSU. Dalam perkembangan mulai berdiri TK Sukapirena, SD St. Angela, dan SMP Yuwati Bhakti.

Selain Kampus Yuwati Bhakti, komunitas Sukabumi juga mengelola Rumah Retret yang awalnya merupakan bagian dari komunitas Ursulin Jalan Pos, Jakarta. Udara Jakarta yang sangat panas, membuat para suster menginginkan rumah vakansi di tempat yang sejuk. Akhirnya muncul gagasan para pemimpin di Jakarta antara Mgr. Petrus Johannes Willekens, SJ dan Moeder Gerardine, OSU beserta dewannya untuk mencoba mencari dan membeli tanah yang letaknya di belakang biara Sukabumi.

Rumah vakansi dibangun pada 25 April 1954, sejak itu selalu ada para suster yang  datang dan beristirahat, retret, atau berlibur. Siswa dan guru serta beberapa guru Ursulin di Jakarta sering memanfaatkan tempat ini untuk retret dan sebagainya.

Sr. Margriet Gunawan, OSU

Sr. Margriet Gunawan, OSU selaku Direktur Rumah Retret Ursulin Sukabumi menjelaskan, dulu rumah retret di bawah para Suster Ursulin Jalan Pos, kini rumah retret dan komunitas Sukabumi telah bergabung menjadi satu komunitas pada 1 Januari 2017. “Rumah retret juga telah ditata ulang mulai dari taman yang asri dan penambahan beberapa bangunan tempat tidur untuk retret yang didesain moderen untuk menjawab kebutuhan sebuah rumah retret,” jelas Sr. Margriet.

Lanjutnya, “Kami pada 2016 ada penataan taman yang lebih asri dan lebih luas dengan air mancur di tengah dan jalan salib. Lalu pada Mei 2018 kami menambah kamar sehingga menambah daya tampung, juga ruang pertemuan.”

Persaingan Sehat

Komunitas Ursulin Sukabumi sudah 95 tahun berdiri teguh dengan dua karya besar pendidikan dan rumah retret. Khusus pendidikan, kini komunitas Ursulin Sukabumi sedang menghadapi tantangan baru dari sekolah-sekolah yang makin hari makin menjamur di Sukabumi. Jumlah sekolah negeri makin hari diminati oleh orangtua dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Mungkin 30 tahun lalu sekolah negeri di Sukabumi hanya di hitung dengan jari sekitar empat buah. Tapi kini sudah empat kali lipat, sekitar 48 sekolah SMP dan diminati orangtua karena menawarkan program pendidikan gratis. Dampak dari ini para siswa yang masuk sekolah Yuwati Bhakti tidak lagi seperti di masa dulu.

Persoalan lain lagi adalah Sukabumi menjadi kota kecil yang masih dirasa pendidikan sulit di akses dan bahkan terlalu jauh ke mana-mana. “Oleh karena itu dibutuhkan strategi khusus,” ujar Ketua III Kampus Yuwati Bhakti, Sr. Elisabeth Sri Utami, OSU.

Sr. Utami melanjutkan, pada Oktober 2016 lalu, terjadi renovasi gedung secara besar-besaran. “Membangun secara fisik dulu karena bangunannya sudah sekian lama tidak tersentuh karena persoalan dana. Bangunan ini kalau mau dilihat berdiri sejak dahulu pada 26 Juni 1926,” ceritanya.

Kini kesan teduh dan asri terasa ketika melangkahkan kaki di halaman kampus Yuwati Bhakti. Pada lahan seluas 14.347 m² berdiri bangunan TB-TK, SD dan SMP Yuwati Bhakti, serta Rumah Retret.

Sr. Utami menambahkan, pihak yayasan akan terus berjuang agar tetap bertahan sebagai sekolah favorit. Hingga saat ini ada banyak murid non-Katolik yang bersekolah di sini dengan satu alasan karena disiplin dan mutu. “Untuk hal ini, kami berusaha menjawab kebutuhan dengan mutu pendidikan yang baik,” ujarnya.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No. 29, Tahun ke-75, Minggu, 18 Juli 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini