Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga, Masuk Jurang Pula!

365

HIDUPKATOLIK.COM

Terjatuh memang bukan masalah…
Asal tetap berupaya bangkit…
Tapi bagaimana kalau saat tersungkur, lalu terjepit…
Mampukah kita berucap: jangan menyerah?

Ada pepatah lama, sudah jatuh tertimpa tangga, menggambarkan situasi di mana kemalangan datang beruntun. Seiring era bergeser, ada pula  tambahan begini: “Saat terjatuh… sakitnya tak seberapa, tapi malunya minta ampun.” Faktanya, di masa sekarang aku tidak lagi malu meski jatuh tersungkur, tapi jelas sakitnya tak terperi hingga kutambahkan pepatah lama itu untuk situasi saat ini: “Sudah jatuh tertimpa tangga masuk jurang pula.”

Kok bisa?

Memang kalimat di atas terasa berlebihan, semacam bentuk canda nyinyir sekelebat asal nyeplos.  Tapi setelah turut terperosok ke dalam ‘jurang’, menurutku itulah situasi terkini.  Berawal dari pesan-pesan di media sosial, mulai dari kecemasan hingga dukacita. Tiada hari tanpa kabar sendu. Saling berbagi (bertanya) informasi situasi terkini atau terdesak mencari ruang rawat inap, oxygen hingga obat-obatan yang mendadak langka bahkan lenyap dari peredaran. Kalaupun masih ada tersisa dalam jumlah terbatas, sudah barang tentu harga menggigit.

Kalau membahas tetangga, kenalan, teman, sahabat hingga kerabat yang terpapar wabahpun sudah kehabisan kata di tengah masih ada juga yang tidak percaya keberadaan penyakit ini tapi yah kenyataannya korban berjatuhan. Aku enggan  menghabiskan energi dalam perdebatan, hanya ingin berbagi lara andai diperbolehkan. Situasi kini mengajakku berjuang tetap waras meski cemas. Bagaimana tidak, seliweran berita, informasi, jenis obat, tips soal Covid-19 yang seakan tak tampak ujungnya ini. Belum lagi perang pendapat, saling bantah, adu kebijakan, mempertontonkan kuasa termasuk pengetahuan. Pokoknya segala macam ramai mewarnai media sosial.

Belum lagi soal kebohongan seperti sempat terjadi, baru saja saling berbagi info akan ketersediaan oxygen dengan jasa pelayanan antar jemput, eh ternyata hanya menjemput tabung, boro-boro di isi, bahkan tabungpun tidak diantar kembali. Melayang sudah!  Ijinkan aku sedikit berbagi kisah upaya mencari obat rutin ibu yang sudah beberapa bulan terbaring akibat stroke. Kakakku yang merawat ibu berhari-hari keliling apotek, lalu aku ikutan mencari termasuk minta pertolongan beberapa teman, siapa tahu apotek di wilayah mereka masih punya stok.

Sekonyong-konyong kosong, tetapi lewat online ada dengan harga mengagetkan, bikin penyakit tambah kumat. Selama ini  bisa diperoleh mudah dengan  harga beberapa puluh ribu saja, mendadak jadi seratus ribu lebih, belum termasuk ongkos bahkan tanpa jaminan sungguh dikirim atau tidak. Dijanjikan pengiriman tiga hari berselang dari pemesanan, namun  lewat dua hari dari janji, tak ada kabar. Ketika ditanyakan, malah bilang barang kosong  tapi uang tidak kembali. Ditanya berulang kali nasib uang yang sudah ditransfer pun nihil. Hanya mesin penjawab dengan sapaan baku,  jelas tidak nyambung dengan pertanyaan sama sekali.

Peristiwa berikut, dalam pemesanan vitamin yang selama pandemi juga jadi salah satu yang selalu diburu, pesanan datang tapi palsu. Kemasan yang ditunjukan lewat foto melalui chat beda dengan yang dikirim. Mencoba komplain sebagai hak konsumen, eh galakan dia….!

Sebentar…., sekadar tambahan informasi, soal pesanan ini bukan hasil dengar curahan hati orang atau bersumber dari kata si anu atau mereka bilang. Oh tidak.., ini  nyata aku alami dalam seminggu ini. Lalu seorang teman baik hati berpesan: “Sudah.. relakan saja.. jangan emosi dan jadi pikiran nanti malah tambah sakit. Barangkali orang itu sedang susah…, butuh duit.”

Oh yeah…. siapa tak butuh duit? Siapa tidak sedang susah dalam kondisi begini? (eh ada kali yak… yang  santai saja, tidak susah… karena memang hidup   berkelimpahan, tabungan masih banyak). Tapi apakah kesusahan boleh jadi kambing hitam untuk melukai hati dengan segala kebohongan ini?  Atau demi lepas dari kesusahan sendiri boleh menyusahkan orang lain? Ups... alinea ini tampaknya terasa betul aroma kemarahanku yang tak tertahankan.  Memang benar, sebab akupun dalam kecemasan berusaha keras tetap bertahan tapi situasi kok semakin runyam.

Sedang meratapi obat tak kunjung datang dan uang melayang…. muncul kiriman  video peristiwa petugas membubarkan paksa dan menggulung dagangan sayur seorang ibu.  Meski sudah memberi penjelasan ditambah permohonan untuk memahami kondisinya ditambah minta waktu sejam saja buat jualan, tak ditanggapi.  Dagangan yang digelar seadanya seluas kain sarung toh digulung juga meski si ibu berusaha melawan demi bertahan.

Karena tak turut langsung dalam peristiwa itu,  tidak adil rasanya jika aku mengemukakan pendapat. Tapi boleh dong berpikir sendiri dengan otakku yang dangkal dangkal keruh ini. Terdengar jelas di video alasan si ibu, butuh berjualan demi menghidupi dan memberi makan anak. Lalu aku menambahkan dalam hati  bahwa ibu itu juga memenuhi kebutuhan para ibu lain yang ingin memberi makan anaknya dengan belanja sayur di situ. Namun atas nama pembatasan kegiatan dalam situasi pandemi, dagangan tetap digulung paksa.

Bukan ingin mencari salah benar, sebab malas juga mencari kebenaran yang sudah tergolong langka belakangan ini, sekali lagi sekedar berpikir, sebenarnya siapakah yang harus ditertibkan? Si penjual, pembeli atau justru rombongan penertiban? Sebab kerumunan malah terjadi ketika ada tindakan penertiban oleh beberapa petugas, di mana akhirnya orang bersitegang dan terbentuklah kerumunan  spontan penonton.

Jadi teringat tukang sayur kompleks perumahan yang rutin datang bawa mobil bak terbuka, parkir di pengkolan jalan, kemudian 6 sampai 10 ibu berbarengan belanja menggunakan masker berlapis juga jaga jarak. Membayangkan tiba-tiba si abang dilarang berjualan dengan dalih menimbulkan ‘kerumunan’ kecil atas nama pembatasan kegiatan, bagaimana nasib para ibu yang harus masak makanan keluarga?

Eiiitss… sebentar! Jangan mengira aku sedang menolak kebijakan pemerintah soal pembatasan atau apapun itu.  Sama sekali tidak! Aku rakyat sederhana, berusaha patuh pada kebijakan yang telah diberlakukan. Tapi ijinkan lagi ya aku berpikir, bisakah sedikit lebih bijak menjalankan kebijakan?. Maafkan…, tampaknya tulisanku ini kacau sekali, tanpa alur terkendali, merembet sana sini. Benar sekali begitu adanya, sama seperti situasi terkini yang terjadi.

Ada pesan manis: Bijaklah memilih berita…
Hei…. bahkan pilihan pun aku tak lagi  punya…
Semua sama…… (sama membingungkan)
Bukan hanya wabah pandemi merenggut kehidupan
Tapi ketidakpastian serta keserakahan menghempas
Aku berjuang tetap WARAS, meski hati kecilku CEMAS

Dalam hening kurasuki pikiran ini  lewat kalimat sederhana: “Meski sedang susah, paling tidak  jangan menyusahkan!”

Ita Sembiring, Pekerja Seni, Kontributor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini