TIGA PULUH MENIT SAJA

96

HIDUPKATOLIK.COM – Cinder menatap Paulo sesaat setelah mendengar hasil pemeriksaan dokter. Paulo menunduk sedih namun tak sampai meneteskan air mata. Cinder menggenggam erat jemari kekasihnya itu seakan berusaha menularkan energi positif. Kecemasan yang selama ini membayangi terjawab sudah. Paulo harus mejalani kemoterapi. Perlahan keduanya beranjak dari ruang serba putih itu dan berusaha tetap tegak.

“Kita harus mengakhiri hubungan ini,” ucap Paulo sendu.

Cinder tersentak, spontan berseru, “Apa salahku? Kamu lupa, tinggal selangkah kita akan jadi satu keluarga utuh penuh cinta. Semua sudah siap dan pasti indah.”

“Mencintai seseorang itu berarti harus bisa membuatnya bahagia.Tinggalkan aku, jangan habiskan waktu untuk bersamaku yang sakit. Kamu harus bahagia, bersama orang lain, bukan aku di ujung umur yang tinggal sejengkal seperti keterangan dokter tadi.”

“Bagaimana kalau kukatakan bahagiaku saat berada di sampingmu. Dan tak  seorang pun berhak menentukan seberapa panjang umur seseorang.”

“Terima kasih untuk kesetiaanmu… juga cinta yang begitu besar. Tapi tinggalkan aku. Jangan sia-siakan waktumu, Cinder. Cintaku untukmu terlalu besar dan aku tidak ingin melihatmu menderita.”

“Bagaimana bisa kamu bicara cinta sekaligus juga meninggalkan aku. Enggak sinkron. Kamu sakit secara fisik, jadi tolong jangan lagi sakiti dirimu sendiri.”

“Tapi kamu berhak bahagia!”

“Bukan cuma aku! Semua orang juga berhak bahagia. Termasuk kamu.”

“Hidupmu masih panjang….kamu harus bahagia.”

“Lalu  kamu pikir hidupmu sudah pendek? Terus..,  boleh menyiksa diri, terpuruk mengatas namakan kebahagiaan aku..? Haaah… omong kosong apa ini.  Satu lagi Paulo, ingat….., kebahagiaan dan kualitas hidup bukan terletak dari panjang atau pendek usia kita. Tapi bagaimana kita mengisi waktu yang diberikan Tuhan itu dengan baik, apakah mau lama atau sebentar kita diberi hak hidup.”

Dalam diam Paulo berusaha meremas jemari Cinder. Perempuan itu paham bahwa sesungguhnya Paulo sangat membutuhkannya. Yang terbaik saat itu adalah pulang tanpa perlu bicara lagi. Keheningan akan membawa ketenangan berpikir.

***

Sinar mentari merayap hingga ke kolong meja makan. Duduk di hadapan ibu dengan mata sembab membuat Cinder makin tak nyaman. Pastilah ibu ingin tahu penyebabnya. Benar saja tanya beruntun bagai melepas anak panah meluncur dari bibir ibu. Cinder pun berusaha menceritakan apa adanya berharap simpati ibu akan menguatkan untuk bertahan bersama Paulo. Tapi ini yang terdengar.

“Pauolo benar. Berpisah sekarang  lebih baik daripada nanti setelah ……”

“Ibu…!” Cinder memotong.

“Jangan melankolis.., hidup harus realistis dan Paolo  sudah mengajarkan itu. Ibu senang dan setuju Paolo merelakan cintanya. Kamu nggak mau kan jadi janda justru di awal pernikahan.”

Cinder kaget. Kecewa luar biasa mendengar komentar ibu yang dia anggap sarkas tapi menurut ibu justru realitas.

“Kembalilah ke Jore. Dia paling tepat untukmu. Lihat setianya dia menanti sampai sekarang tidak menikah karena mengharapkan kamu.”

***

Entah sudah berapa kali matahari kembali ke kaki langit Barat, lalu muncul kembali di ufuk Timur. Selama itu pula Paulo tak terlihat, menghilang tanpa kesan apalagi pesan. Segenap jiwa Cinder berusaha melupakan semua kenangan akan Paolo sambil  berusaha mengukir cinta kembali pada Jore yang saat ini membimbing tangannya berjalan menuju altar, mengucap janji setia dalam untung maupun malang,  suka maupun duka, sakit juga senang.

Di saat tangan pengantin itu tertumpang di atas Kitab Suci, sepasang mata menatap tak berkedip sambil mengucap doa tulus untuk kebahagiaan orang yang sangat dia cintai. Sebelum lagi Misa pemberkatan selesai, Paulo berbalik perlahan dan pergi dalam diam. Jemarinya mengetik pesan singkat: “Bu, terima kasih sudah mengizinkan saya melihat dari jauh kebahagiaan Cinder. Bahagianya adalah spirit dalam tiap tarikan nafas saya.”

Pesan itu pun baru akan terbaca Ibu Cinder sehari setelah semua keriahan pesta usai. Cinder tidak pernah tahu percakapan apa saja telah terjadi antara Ibu dan Paolo sampai pria itu menghilang begitu saja. Hari-hari yang akhirnya bisa terajut indah dengan Jore membantunya menata kembali kepingan hati yang sempat tercabik cabik.

***

In Paradisum deducante angeli…..

Cinder tak kuasa melantunkan lagu ini hingga selesai mengiringi peti putih berisi jasad kaku Jore diturunkan. Cinder mengahpus setetes air mata tersisa dan bersiap berdiri setelah mengucapkan sekali lagi selamat jalan kepada Jore yang jadi korban kecelakaan pesawat dalam perjalanan dinas. Satu tangan terulur berusaha menolong berdiri tegak dan itu membuatnya tersedak.

“Paolo…!  Kamu hadir?”

“Turut berduka cita!”

Paolo meraih Cinder dalam pelukan dan air mata yang tadi mengering sekarang mengalir sederasnya.

“Apa arti bahagia Paolo? Apa defenisi umur panjang dan pendek? Apa kriteria  memilih jalan hidup?” Cinder terhisak.

Ganti air mata Paolo yang menitik.

“Ibu melarang menikah denganmu karena divonis kanker dan mereka telah menghitung sisa umurmu. Dan, aku menikahi Jore yang sehat tapi kecelakaan merenggutnya dan pergi tanpa pernah mengucakan selamat tinggal. Jadi menurutmu bagaimana aku mendefenisikan keterangan umur?”

“Pulang yuk. Nak Paolo ikut ya ke rumah. Ngobrol sambil Ibu sediakan teh lemon panas kesukaanmu,” bujuk Ibu yang sedari tadi ikut menahan haru menyaksikan pertemuan ini.

“Terima kasih, Ibu selalu ingat kesukaan saya.”

“Ibu enggak akan pernah melupakan semua yang kamu suka.  Ka…..!

“Tapi Ibu meminta Paolo melupakan aku,” potong Cinder pelan dan sangat menusuk hati yang mendengar.

“Paolo menjauhi aku supaya kami tidak menikah karena atas nama kasih sayang Ibu tak ingin aku menjanda di usisa muda. Sekarang lihat apa yang terjadi, aku sekarang janda di usia muda dan Paolo masih bertahan dalam kesendirian dan penyakit dalam tubuhnya,” lanjut Cinder lagi sedikit pun tanpa emosi tapi air mata mengucur deras membuat timbunan penyesalan pada Ibu. Paolo kembali menarik Cinder ke dalam pelukan seraya membelai lembut rambut tebalnya.

Langit mulai berawan seakan ikut merasakan kelabunya suasana hati Cinder.

***

Kursi besi di tengah taman masih kokoh, hanya catnya mengelupas di sana sini berganti karat. Paolo menunggu Cinder yang berjanji akan menemuinya di kursi besi. Tempat di mana mereka dulu selalu berbagi cerita. Cinder muncul dengan senyum cerah.

“Senang melihatmu tersenyum lagi!” sambut Paolo, lalu mencium pipi Cinder penuh kasih.

“Kamu kelihatan lebih sehat  Paolo dari sebelumnya.”

“Puji Tuhan… semoga seperti yang terlihat.”

“Kita mau ke mana? Kali ini kamu tentukan tujuan. Aku nurut.”

“Tetaplah di sini.  Aku ingin duduk bersamamu meski hanya 30 menit.”

“Aaaahhh… kupikir kamu ingin duduk di pelaminan denganku selamanya….,”canda Cinder.

“Memangnya masih mau berbagi cinta denganku?”

“Sejak dulu cinta untukmu selalu ku simpan di satu sudut yang tersembunyi. Tak pernah kukeluarkan lagi rasa itu karena sudah menjadi istri Jore. Aku ingin menjaga sebuah kesetiaan setelah mengerti dan meraskan  sakitnya saat cinta tak berbalas dan orang yang kita cintai pergi begitu saja.”

“Cinta kan cukup dirasakan, tak perlu dibalaskan. Mencintai dalam diam juga bisa kan.”

“Enggak ketahuan dong kalau tidak dibalas dan didiamkan saja,” protes Cinder.

“Terima kasih kamu tetap menyimpan rasa cinta. Semoga tetap tersimpan abadi. Akupun akan membawa cintamu, cintaku…, cinta kita dalam keabadian.”

“Sok puitis ah….”

Paolo memeluk Cinder penuh kasih dan mencium ubun-ubunnya.

“Setiap malam aku berdoa semoga diberi kesempatan lagi seindah ini, sekalipun 30 menit saja. Bisa memelukmu dalam tawa, canda dan mengatakan meski aku pergi darimu, tak seorang pun pernah menggantikan tempatmu di sisiku.”

Cinder mempererat pelukannya, tapi tiba-tiba merasakan pelukan Paolo melemah bahkan tangannya hampir terlepas dari bahunya. Wajah Paolo memutih, Cinder cepat menuntun ke mobil.

“Terima kasih untuk 30 menit yang menyenangkan tadi,” ujar Paolo lirih

“Kamu yakin itu tadi 30 menit? Kan aku datangnya telat,” balas Cinder sama lirihnya.

“Tidak pernah ada yang terlambat. Semua sudah diatur dan selalu indah pada waktunya.”

Cinder diam.

***

In Paradisum deducante angeli…..

Untuk kedua kali Cinder tak kuasa menyelesaikan bait lagu ini. Dari kejauhan dia  mengangkat tangan kanan seakan melambai dan berucap halus dengan bibir gemetar:

“Terima kasih untuk 30 menit yang indah sebelum kamu mebawa cintaku, cintamu, cinta kita dalam keabadian seperti katamu.”

“Tidak mudah mencari waktu bersekutu, tapi kita bisa menciptakan waktu untuk bertemu. Sebelum akhirnya waktu juga yang memisahkan kita.”

Cinder berjalan dengan pikiran berkecamuk sambil mencoba berdamai dengan  gerakan jarum jam dan mencukupkan seberapa waktu pun yang dia miliki.

 

Oleh Ita Sembiring

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini