HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 30 Mei 2021 Hari Raya Tritunggal Mahakudus Ul. 4:32-34, 39-40; Mzm. 33:4-5, 6, 9, 18-19, 20, 22; Rm. 8:14-17; Mat. 28:16-20
KALI ini saya ingin mengajak kita merenungkan misteri Trinitas dengan bertitiktolak dari pengertian agama. Agama menyangkut hubungan manusia dengan Allah (atau nama lain menurut masing-masing agama), dari mana manusia merasa tergantung dan berusaha mendekati-Nya; perasaan ketergantungan disebut kepercayaan dan usaha-usaha mendekati Allah itu berwujud doa, upacara keagamaan lain seperti persembahan, kebaktian. Tetapi sedemikian itu, agama membawa pertanyaan besar dalam dirinya: Mungkinkah agama?
Mari kita perhatikan kedua pihak yang terlibat: Allah dan manusia. Allah harus diterima sebagai Transenden Mutlak. Transendensi Allah itu tidak boleh dikurangi, karena kalau begitu, Dia bukan Allah lagi. Transendensi Allah itu harus Mahabesar, Mahaakbar, Mahamutlak, Tak Terbatas. Karena itu Dia ‘tidak dapat’ terlibat dalam ruang dan waktu. Sebab itu akan berarti Dia menjadi terbatas, dan bukan lagi Tak Terbatas, bukan Allah lagi! Sebaliknya, manusia adalah makhluk terbatas. Dua komponen utama keterbatasan ialah: ruang dan waktu. Sebagai makhluk yang terbatas, manusia terikat dalam ruang dan waktu; manusia itu nisbi, tidak mutlak, pernah tidak ada (sebelum dilahirkan) dan pernah tidak akan ada lagi (mati).
Kembalilah kita pada pengertian agama: hubungan antara Allah dan manusia; artinya antara Yang Tak Terbatas dan yang terbatas. Apakah hal itu mungkin? Dikatakan manusia berusaha mendekati Allah, a.l. lewat doa. Apakah doa manusia yang dipanjatkan pada saat tertentu (waktu) di tempat tertentu (ruang) dapat sampai pada Allah yang Transenden, Tak Terbatas? Misalnya, seseorang yang sedang sakit, berdoa agar Allah sudi menyembuhkan dia. Apa isi doa itu? Isinya, orang itu pada saat tertentu di tempat tertentu memohon Allah bertindak menyembuhkan dia. Bukankah itu berarti meminta Allah terlibat dalam ruang dan waktu? Dan itu sama dengan meminta Allah menjadi bukan Allah lagi, dalam arti bukan lagi sebagai Transenden Mutlak, sebagai yang Tak Terbatas. Jadi kesimpulannya, sesungguhnya agama tidak mungkin!
Lalu kita diperhadapkan pada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, agama hapus. Namun pada kenyataannya, juga sampai kini sekian banyak umat manusia yang tetap teguh beragama. Kemungkinan kedua, manusia diangkat ke wilayah tak tersekat dalam ruang dan waktu. Kalau demikian, maka hubungan riil antara manusia dan Allah menjadi mungkin. Tetapi alternatif ini disangkal oleh kenyataan. Sebab pada kenyataannya, manusia masih tetap dalam keterbatasan ruang dan waktu, dalam sejarah. Kemungkinan ketiga, Allah memang masuk dalam ruang dan waktu, dalam sejarah. Tetapi kalau demikian, Ia bukan Allah lagi (dalam arti Allah yang Transenden Mutlak). Jadi tampaknya kita diperhadapkan pada jalan buntu.
Hanya Allah sendirilah yang dapat mendobrak kebuntuan itu, sebab pada-Nya tidak ada yang mustahil (lih. Kej. 18:14; Luk. 1:37; Mat. 19:26). Dan menurut kesaksian Kitab Suci, Allah memang menerobos kebuntuan itu dan masuk serta berkarya menyelamatkan manusia dalam ruang dan waktu, menjadi imanen dalam sejarah (lih. Yoh. 1:1-18). Ia menjadi Imanuel, yang berarti: Allah menyertai kita (Mat. 1:23). “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruaniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Selain mengenai Bapa dan Putera, Kitab Suci juga berbicara tentang Roh Kudus yang memenuhi Yesus dari Nazaret (lih. Mrk. 1:10; Luk. 4:18-21). Selanjutnya, Kitab Suci menegaskan: “Tidak ada seorang pun yang dapat mengakui Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus” (1 Kor. 12:3). Artinya berkat kehadiran kasih Allah sendiri dalam diri kitalah (bdk. 1 Kor. 14:16; Gal. 4:4) pengakuan iman akan perwahyuan diri Allah dalam Yesus Kristus menjadi mungkin (lih. Rom. 5:5).
Jadi menurut wahyu Kitab Suci, Allah yang Transenden itu menjadi Imanen. Namun pada waktu yang sama tetap Transenden. Ini hanya mungkin apabila Allah yang esa dalam esensi (ousia) yang tak dapat kita pahami itu, berada dalam tiga bentuk ekspresi (hypostases) yang membuat Dia diketahui. Allah yang Esa adalah asal-usul transenden segala sesuatu (dalam tata penciptaan dan tata penyelamatan). Itulah Allah-Bapa. Tetapi Allah yang transenden itu, sebagai keselamatan manusia, menjadi imanen pada Yesus dari Nazaret, dan itu begitu rupa sehingga Yesus Kristus benar-benar Allah yang menyatakan diri dengan menjadi manusia. Itulah Allah-Putera. Tetapi berdasarkan Yesus Kristus, Allah juga menjadi imanen pada manusia lain (yang tetap manusia), sehingga menusia itu benar-benar bersatu dengan Allah. Itulah Allah-Roh-Kudus. Landasan dan dasar ketiga macam ‘adanya’ Allah itu tetap adalah Allah yang tertuju kepada manusia (landasan dan dasar kemungkinan agama).
Umat Islam dan Yahudi menganggap doktrin Trinitas itu membingungkan dan bahkan menghujat. Tetapi Karen Armstrong, melalui studi cermat, menemukan bahwa baik mistik Yudaisme (Kabbalah) maupun Islam (Sufisme) ternyata mengembangkan gagasan keilahian yang sangat mirip dengan doktrin Trinitas (baca Armstrong, Sejarah Tuhan, 2007:281-338). “Dalam Trinitas, Bapa menyalurkan segala sesuatu yang ada pada diri-Nya kepada Putera, menyerahkan segala sesuatu –bahkan kemungkinan untuk mengungkapkan diri dalam Firman yang lain. Begitu Firman telah diucapkan, Tuhan Bapa menjadi hening: tak ada yang bisa kita katakan tentang Dia, sebab satu-satunya Tuhan yang bisa kita ketahui hanyalah logos atau Putera … . Gagasan tentang suatu Tuhan yang personal atau personalisasi Yang Mutlak telah menjadi bagian penting dari umat manusia: orang Hindu dan Buddha telah memberikan konsesi kepada peribadatan bhakti yang bersifat personalistik. Namun paradigma atau simbol Trinitas menyarankan bahwa personalisme mesti ditransendensikan dan bahwa tidaklah cukup untuk membayangkan Tuhan sebagai manusia yang diperluas, berperilaku dan bereaksi dengan cara yang sama seperti kita” (Armstrong, 2007:184).
HIDUP, Edisi No.22, Tahun ke-75, Minggu, 30 Mei 2021