BURAKE

372
Patus Yesus di Bukit Burake, Toraja (Foto: HIDUP/FHS

HIDUPKATOLIK.COM – AKU hanya duduk termangu di belakang Ansel yang sedang serius membawa motor. Kami hampir tak pernah berbicara sejak ia menjemputku tadi. Wajahnya juga datar-darat saja. Antara serius atau menyimpan sesuatu. Aku tak tahu. Kucoba mencairkan kebekuan ini.

“Tempatnya masih jauh enggak?” teriakku dari belakang yang sedikit mengganggu konsentrasinya membawa motor. Motor sedikit oleng, tanda bahwa dia cukup kaget. Sebenarnya aku sudah tahu kalau tujuan kami masih jauh. Hanya saja aku juga tidak tahu mau membicarakan hal apa. Jadinya pertanyaan konyol inilah yang keluar dari mulutku.

“Masih,” jawabnya singkat dan tegas. Ansel sedikit berteriak.

Jalan menuju Gunung  Burake memang sangat menanjak. Walaupun demikian jalannya cukup bagus dan lebar. Pemerintah daerah kami memang sangat memberi perhatian kepada objek wisata rohani ini. Aku sendiri baru akan kedua kalinya pergi tempat ini. Pertama kali empat tahun lalu bersama Ansel. Waktu itu, tempatnya masih cukup berantakan dan kurang tertata. Jalan menuju puncak juga masih lumayan rusak. Berbeda dengan sekarang semuanya sudah berubah. Namun, aku masih sangat penasaran dengan suasana di sekitar pelataran patung. Mungkinkah sangat berbeda dengan empat tahun lalu? Apakah batu tempat aku dan Ansel pernah duduk berdua masih ada? Kini aku hanyut dalam memori empat tahun yang lalu.

***

Burake  pertengahan Mei 2017

“Aku akan kuliah di Jogja. Seperti yang telah aku katakan, aku akan mengambil jurusan Teologi, Ansel,” kataku dengan gugup. Ansel lantas diam saja, seolah tak mau mendengar apa yang aku katakan. Ia memang lebih banyak berdiam diri ketimbang membicarakan hal-hal yang asyik. Bisa dikatakan ia cukup kaku. Namun, ada sisi dalam dirinya  yang membuatku selalu mengaguminya. Ia banyak berdiam tetapi seolah selalu punya cara yang membuatku nyaman bersamanya. Kami sama-sama nyaman namun tak pernah mengikat diri dalam hubungan yang serius. Kedekatan kami hanya sebatas sahabat saja. Teman-teman sekolah saja yang selalu berpikir bahwa  kami pacaran.

“Semua adalah keputusanmu. Aku juga tak bisa memaksamu supaya kita selalu bersama.” Jawab Ansel dengan nada datar, sedikit ketus.

“Maksudmu selalu bersama?”

“Hmmm.. maksudku berarti kita tidak bisa jalan-jalan lagi.” Ia menjawab dengan kikuk. Mungkin ia tak sadar apa yang baru saja diucapkannya.

Matahari semakin mendekati peraduannya, dan kami masih termangu di atas batu kapur ini. Orang-orang di sekitar kami lalu-lalang. Kami tak peduli. Kami hanya sibuk dengan pikiran masing-masing, seolah saling memberi isyarat bahwa kami akan berpisah. Mungkin tak akan ada lagi momen seperti ini. Semenjak hari itu pun meski banyak memikirkan Ansel, aku fokus mempersiapkan diri untuk masuk ke fakultas teologi di salah satu Perguruan tinggi Swasta di Jogjakarta.

***

Beberapa menit yang lalu, kami telah tiba di bukit Burake. Benar dugaanku, semuanya sudah berubah. Hanya patung Tuhan Yesus setinggi 40 meter ini yang tetap berdiri kokoh, membentangkan tangan seakan sedang memberkati. Tempat ini memang terberkati, mendatangkan mata pencaharian baru bagi orang-orang yang tinggal di sekitar bukit ini. Kulihat ada banyak pedagang yang menjajakan peralatan rohani. Dalam lapak-lapak kios di sekitar parkiran, beberapa orang sedang sibuk membuat untaian-untian rosario.

Aku mengajak Ansel menuju ke depan patung, tempat paling favorit untuk berfoto. Sekaligus aku ingin pergi ke batu tempat kami empat tahun lalu pernah menghabiskan sore bersama. Sayang, batu itu sudah tak ada lagi. Dari tempat batu itu pernah berada, justru terdapat gugusan tangga menuju sebuah lembah. Di lembah itu terdapat beberapa pendopo.  Kami turun beberapa langkah. Ansel sendiri berjalan di depan dan aku hanya mengekor mengikutinya. Ia kemudian berhenti dan mengajakku duduk di tangga itu. Sebelum mempersilahkanku, ia terlebih dahulu membersihkan tempat untukku. Aku tersenyum dan dia hanya diam saja. Mungkin merasa bahwa semuanya biasa saja. Aku sendiri cukup terkesan. Justru dari hal-hal sederhana ini aku merasa nyaman dengannya, dan tak ingin membuka hati dengan orang lain.

Kami berdua duduk membelakangi patung itu, menghadap Kota Makale[2]. Dari belakang, patung Tuhan Yesus seolah memberkati semua orang  beserta seluruh Kota Makale. Seperti biasa, aku yang pertama kali membuka pembicaraan.

“Aku berpikir bahwa Tuhan Yesus bukan hanya untuk kita orang-orang Kristiani.”

“Mengapa?” tanya Ansel terheran

“Dengan adanya patung ini, Ia seolah menampakkan diri sebagai Tuhan bagi semua orang. Ia memberkati Kota Makale dengan segala yang ada di dalamnya: masjid, gereja orang Katolik dan Protestan, serta orang-orang benar dan berdosa. Ia tak pernah memilih-milih kita. Hanya saja, beberapa dari kita tak pernah menyadarinya. Kita justru lebih sering memanfaatkan patung ini sebagai  alat untuk mengisi media sosial kita.”

“Ah sepertinya kau terlalu banyak membaca buku teologi, aku pun tak pernah berpikir sampai ke situ,” ujar Ansel sambil tersenyum. Senyum pertama yang kusaksikan di wajahnya hari ini.

“Ia tak pernah mengotak-ngotakkan kita, bahkan oleh kita yang sama-sama menyebutnya Tuhan meski kita terpisah oleh batas-batas agama. Justru kita sendirilah yang tak sadar punya naluri untuk saling membeda-bedakan.” Aku sekali lagi keceplosan mengungkap hal yang tak seharusnya aku katakan. Mengapa aku harus menyinggung perbedaan agama di antara kami?

“Betul, Dian. Kita selalu punya kesempatan untuk bersatu, tapi kita terlalu tunduk pada kesetiaan pada agama kita masing-masing. Itulah mengapa aku tak pernah mau mengungkapkan perasaan padamu, walau aku tahu memendam semuanya terasa berat. Bukankah kita juga sudah nyaman dengan pilihan kita masing-masing?

Aku tak pernah mendengar ia berkata sejujur ini. Telingaku terasa panas. Perasaan tak menentu dan aku hanya mempersiapkan diri mengeluarkan kata-kata berikutnya.

“Aku merasa bahwa kita selalu punya kesempatan bersatu, meski kau  telah mengatakan bahwa kita terlalu tunduk pada iman kita masing-masing. Kita bisa mempersatukan perasaan yang telah lama  kita pendam tanpa harus memperhitungkan batasan iman kita masing-masing. Jawabku tersengal-sengal.

“Tidak, Dian. Bukan hanya iman yang memisahkan kita. Pilihan dan impian kitalah yang membuat kita tak harus bersama”

Sama dengan empat tahun lalu, senja mulai menampakkan jingga di langit sebelah Barat, arah kami menghadap. Dan pikiran kami masing-masing menyisakan tanya.

***

Beberapa hari kemudian aku menerima pesan singkat dari Ansel

Dian. Pilihan, rasa cinta dan impian kitalah yang membuat kita tak bisa bersama, bukan hanya karena iman. Persiapkanlah dirimu menjadi gembala di Gerejamu dan aku juga mempersiapkan diri menjadi seorang gembala di Gerejaku.

Besok aku akan kembali ke Manado melanjutkan pendidikan teologiku. Sama sepertimu.

Oleh Kelvin Tandiayu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini