HIDUPKATOLIK.COM – PAGI pada musim semi 2014 itu begitu memanjakan mata. Mentari tampak jelita mengulum senyum di ufuk Timur. Sementara aku dan kau tengah menyantap kimbab (nasi berbumbu yang berbungkus rumput laut) di kantin Sewol, sebuah kapal berbendera Korea Selatan bikinan Jepang. Kami, siswa-siswi kelas 2 SMA Danwon di Kota Ansan, sedang dalam perjalanan wisata dari Incheon menuju Pulau Jeju.
“Sarapanmu sedikit sekali,” tuturmu seraya menyangga rahang dengan telapak tangan.
“Porsi sarapanku memang segini,” kilahku. “Selera makanku belum muncul jika belum beraktivitas.”
Seusai makan, aku dan kau masih bercengkerama di kantin. Di antara debur ombak, aku dan kau melebur dalam gemuruh rasa. Tak terhitung kali tatapan kita bertumbuk, membuatku tersipu. Baru dua pekan lalu, panah asmara melesat dan menembus jantungku. Kaulah cinta pertamaku.
“Wajahmu lembut, Ae-Cha,” pujimu membuat jantungku mendadak berdebar.
“Wajahku seperti kue bolu ya…,” balasku dikuntit tawa bahagia.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.40. Percakapan kita masih berlanjut meski kantin mulai lengang. Teman-teman yang semula ramai berkerumun, penuh canda tawa, telah beranjak. Sebagian naik ke buritan kapal, ingin mengabadikan momen dengan ponsel masing-masing. Tiba-tiba, terdengar gelegar dentuman. Seketika peralatan-peralatan makan dan perabot-perabot memasak di kantin berjatuhan dan berserakan.
“Kapal miring!” jeritmu dengan suara melengking.
Sejurus berselang, beberapa teman terluncur dari geladak Sewol. Kapal feri ini bergetar dan terasa kian miring. Kontainer-kontainer mulai berjatuhan ke laut. Para penumpang terlempar, terjungkal, dan tertumpuk satu sama lain. Suasana sontak kacau dan gaduh. Suara teriakan dan jerit tangis bagai bersahutan.
Lantas, terdengar pengumuman dari kru kapal, “Semua penumpang diminta untuk tinggal di kabin masing-masing. Kapal sedang bermasalah. Jangan panik!” Musibah ini bermula pada pukul 08.49 tatkala Sewol melintasi Selat Maenggol yang memiliki arus bawah air yang kuat.
Aku termangu di sisimu sementara kau genggam erat tanganku. “Bagaimana kalau kapal ini tenggelam?” tanyaku disergap khawatir.
“Tenang, Ae-Cha. Kita akan selamat!” katamu membesarkan hatiku yang terasa menciut. Karena para penumpang diminta untuk tinggal di kabin masing-masing maka aku terpaksa berpisah darimu. Kau mengantarku ke kabin. “Pakai pelampung, Cha. Jaga-jaga kalau kapal tenggelam,” ucapmu mengingatkan. Sebelum berlalu, mata seteduh samudera milikmu menatapku.
“Hati-hati, Ye-Jun. Semoga kita bersama-sama lagi nanti,” kataku dengan suara tercekat.
Di dalam kabin, kudapati teman-teman dikepung panik. Beberapa siswa meracau cemas. Sebagian sibuk mengirim teks kepada keluarganya. Sebagian masih sempat merekam video untuk diunggah di media sosial. Suasana mencekam. Ajal seakan tinggal sejengkal tatkala air laut mulai mencapai kabin.
Kupergoki teman karibku, Ae-Ri, menelepon neneknya sembari terisak. “Oma, kapal akan tenggelam… aku bakal mati…,” bebernya kehilangan harapan. Sementara sebagian penumpang sudah tidak mengindahkan lagi pengumuman kru kapal. Mereka berjejalan, saling berebut keluar dari pintu kabin, siap terjun ke laut, menantikan uluran pertolongan.
“Gila! Mana mungkin kita hanya diam saja di kabin padahal kapal ini segera tenggelam!” teriak seorang siswa disalut kalut.
***
Jauh-jauh hari aku telah memimpikan wisata ini. Ibuku harus menyisihkan sebagian perolehannya sebagai pegawai administrasi di Kedutaan Besar Indonesia untuk Korea Selatan demi keberangkatanku ke Pulau Jeju.
“Ma, kalau kita tidak punya cukup dana, aku tidak usah pergi,” kataku. Namun, perempuan berdarah Indonesia ini mengupayakannya dengan sepenuh hati. Terlebih, ibu tahu bahwa aku tengah dekat dengan dirimu. “Kalian sama-sama lahir dari rahim perempuan Indonesia ‘kan,” ungkap ibuku girang.
Pada 15 April 2014 malam, kami para siswa SMA Danwon berangkat dari Pelabuhan Incheon dengan menumpang Sewol. Malam terasa begitu indah. Aku dan kau terus menempel laksana dua kutub magnet yang berlainan. Sementara kedua orang tua kita akrab bercakap-cakap.
“Mamamu dan mamaku gembira lho bisa berbicara dalam bahasa Indonesia,” ujarku.
“Mereka ‘kan senasib, kawin dengan lelaki Korea,” timpalmu dengan seringai wajah menggemaskan.
Dalam pelayaran ini, Sewol mengangkut 476 penumpang, di antaranya 339 murid dan guru. Rencana menikmati keindahan Pulau Jeju pun menghampar di depan mata.
“Tiga belas jam lagi, kita tiba di Jeju,” ucapmu senang.
“Baru besok pagi kita sampai, Ye-Jun,” balasku.
Ini kali pertama aku akan melihat keindahan Pulau Jeju.
Pulau itu merupakan destinasi wisata utama di Korea Selatan. Beberapa lokasi yang paling terkenal adalah Seongsan Sunrise Peak yang terletak di ujung Pulau Jeju, dan Bunjae Artpia yang memamerkan koleksi bonsai khas Korea.
Sayangnya, sebelum impian indah itu menelentang di hadapanku, Sewol keburu terjungkir sehingga air menerjang para penumpang. Dalam waktu dua setengah jam setelah sinyal tanda bahaya dikirimkan, kapal naas itu lenyap dari pandangan mata. Banyak siswa terjebak di dalam air karena terlanjur berdiam di kabin akibat terkecoh oleh pengumuman konyol kru Sewol.
“Aku harus melompat dari kapal ini dan berenang. Aku masih ingin hidup!” pekikku. Nyatanya, yang berhasil selamat adalah mereka yang melompat dari kapal dan berenang dengan menggunakan jaket pelampung demi mencari pertolongan.
Enam belas April 2014 merupakan hari teramat kelabu. Tragedi Sewol menewaskan 250 siswa Sekolah Menengah Danwon. Tim penyelam menemukan banyak korban tewas berada di lambung kapal. Namun, jasadmu lenyap tak ketahuan di mana….
***
Sebulan setelah peristiwa itu, aku kembali ke sekolah. Langkahku amat berat sewaktu memasuki kelas. Aku dijerat peranjat tatkala melihat foto-foto, hiasan-hiasan, dan origami dipajang rapi di meja para siswa korban Sewol. Emosiku sontak teracak-acak. Ketika kuhampiri mejamu, bandungan air mataku jebol.
“Ye-Jun…,” ratapku.
Seorang teman mendekapku. “Ikhlaskan, Cha… supaya arwahnya tenang.”
“Sulit…,” jeritku tak terkendali.
Pengalaman kehilanganmu menghantuiku. Akalku kerap tersesat, bahkan selama berbulan-bulan semangatku terkulai dan konsentrasiku gampang sekali buyar.
Kini, tujuh tahun setelah Sewol tenggelam, masih ada kerak-kerak kepedihan di hatiku saban kali kumengenangmu. Kuseka duka itu sebisa mungkin demi meraih esok yang terasa buram.
Aku merasa surprise ketika mama dan papamu mengajakku memperingati tujuh tahun kepergianmu. Kami menumpang kapal feri Myeong Minho jurusan Incheon-Pulau Jeju. Begitu kapal melepas jangkar, sendi lututku gemetar. Masih kupergoki tapak-tapak trauma. Sebisa mungkin aku menata hati sementara bayanganmu hilir-mudik lagi di benakku.
“Ye-Jun pasti senang melihatmu menziarahinya,” ungkap mamamu.
Tepat di Selat Maenggol, mama dan papamu menabur bunga untukmu, kemudian aku melakukan hal serupa. Pada saat itu, kudapati wajah mereka berubah sendu bak langit tersapu awan kelabu.
“Semoga kelak, kita dipertemukan kembali dalam keabadian,” harapku sembari menatap satu per satu kuntum mawar yang berjatuhan di permukaan laut yang seakan bersisik akibat embusan angin.
Waktu terus mengepakkan sayapnya, tak peduli pada rasa kehilangan yang menderaku. Tujuh tahun telah terlintasi, nyatanya sosokmu tak tergantikan dalam hidupku. Kendati hanya singgah di hatiku, kau telah menyuntingkan untaian makna cinta selamanya…
Tiba-tiba, kudukku meremang merasakan sebuah sentuhan di bahu.
“Ye-Jun, Kaukah itu…?”
Oleh Maria Etty