HIDUPKATOLIK.COM – Saya terlalu awal mengucapkan “Selamat Idul Fitri” ke handai-taulan. Artikel “Dua Tamu Istimewa” yang saya tulis 11 Mei, saya tutup dengan ucapan itu, seraya “Minta maaf, lahir batin”.
Soegiharto, teman yang lama tak jumpa, membalas ucapan dengan sapaan sejuk.
“Terima kasih mas. Sekalian, Selamat Paskah”.
Saya senang membacanya, meski sedikit kaget.
Nampaknya Soegi ingin mengucapkan selamat “Kenaikan Isa Al Masih”, namun keliru “Paskah”.
Dengan sedikit penjelasan, Soegi mahfum apa yang terjadi.
Saya tak terganggu dengan “kesalahan teknis” tersebut. “Kekeliruannya” justru menambah pemahaman tentang hari raya keagamaan Kristiani.
Untung ada Soegi. Kemudian saya baru sadar, tahun ini, hari raya “Kenaikan Yesus ke Surga” bersamaan dengan “Idul Fitri 1442H”.
Istimewa. Dua hari raya dari dua agama besar dunia, jatuh pada tanggal yang sama.
Sepanjang ingatan saya, meski dirayakan sebagai “hari besar”, bukan merupakan kebiasaan untuk mengucapkan “selamat” di hari raya itu.
Ada Misa khusus seperti hari Minggu, namun mengucapkan selamat di hari raya “Kenaikan Yesus” jarang saya dengar. Mungkin ini yang disebut tradisi.
Ternyata Soegi tak sendirian. Ketika Idul Fitri tiba, umat Kristiani banyak mendapat ucapan selamat. Sahabat, keluarga, kerabat, tetangga menyandingkan kedua ucapan itu. Dalam berbagai bentuk, bahasa dan cara. “Idul Fitri” dan “Kenaikan” memenuhi ruang udara kita, ketika silaturahmi temu-muka mempunyai kendala.
Sebuah foto berlatar belakang warna hitam dengan 2 perempuan berhadapan menjadi viral dan puluhan kali mampir ke gadget saya. Sebagian dari kerabat Kristiani, lebih banyak dari sahabat Muslim. Gambar perempuan yang kiri mengenakan hijab khas Muslimah, sementara yang kanan berkerudung, khas biarawati Katolik. Masing-masing disertai dengan ucapan hari raya dari kedua agama besar itu.
Itu yang disebut solidaritas sosial. Cara terbaik untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. O…., alangkah indahnya perbedaan dalam bingkai kebersamaan.
Itu juga salah satu peristiwa yang menambah rasa nyaman sebagai masyarakat Indonesia. Meski bagian kecil, keberadaan kami diakui, bahkan dihormati, baik oleh negara mau pun masyarakat.
Hidup damai dalam komunitas yang penuh tenggang rasa atau tepa slira, hingga kebersamaan otomatis keluar tanpa disuruh apalagi dipaksa. Bila yang dituju adalah harmoni, banyak orang refleks mengangkat dan mendorongnya.
Memang masih ada beberapa cerita yang mengganggu di sana-sini. Ada yang berat, banyak yang ringan. Sesuatu yang harus terus dicarikan solusinya. Tak mudah memang, hidup bersama dalam masyarakat yang (super) majemuk, seperti Indonesia.
Saat merayakan Natal tahun lalu, masyarakat Kristiani Indonesia mendapatkan dukungan dengan penuh antusias. Ucapan “Selamat Natal” lebih banyak dikirimkan dan peringatanNya lebih banyak dirayakan, daripada masa-masa sebelumnya. Lagu-lagu pujian lebih banyak didendangkan. Lima bulan kemudian, kiprah toleransi kembali berkumandang tanpa komando.
Telly, keponakan saya yang tinggal di Kota Florence, Italia, umat paroki Gereja Bagno a Ripoli, menjumpai situasi yang mirip. “Kenaikan Tuhan” dirayakan secara meriah di gereja-geraja, tanpa saling mengucapkan “selamat”.
Istiarto dan Sunarna, dua sahabat yang mendalami ajaran Katolik dengan intens membenarkan hal itu. Jarang terdengar ucapan “selamat” pada hari raya “Kenaikan Yesus”. Istiarto menambahkan bahwa ucapan “Selamat Paskah” sejatinya diberikan sejak “Paskah Kebangkitan” hingga “Pantekosta”. Pendapat yang secara tak langsung menyetujui Soegi. Entah apa yang menjadi rujukannya.
Apa pun latar-belakangnya, membanjirnya ucapan selamat “Kenaikan Isa Al Masih” membesarkan hati kami. Oxytocin mulai mengalir dalam tubuh, hormon yang tumbuh karena adanya relasi yang erat dan bersahabat, kemudian melahirkan rasa bahagia di rongga dada manusia.
Hari raya “Kenaikan Yesus Kristus” atau “Kenaikan Isa Al Masih” adalah peringatan kenaikan Yesus ke surga. Perayaan berpindah (berbeda tanggal tiap tahunnya) selalu jatuh pada hari Kamis, 40 hari setelah Paskah, atau 10 hari sebelum Pentakosta. Beberapa orang menyebutnya sebagai hari Kamis Suci/Agung atau “Holy Thursday” (bukan Kamis Putih).
Peristiwa yang menandakan bahwa Yesus lahir, meninggal, bangkit dan naik ke surga, dengan mulia. Dia akan kembali ke dunia dengan cara yang sama seperti ketika naik ke surga. (Kisah Para Rasul 1, 11).
Sangat layak dan pantas kalau kita bersuka-cita karena-Nya. Dia naik untuk membukakan pintu surga dan mempersilakan manusia masuk ke dalamnya.
“At His Ascension our Lord entered Heaven, and He keeps the door open for humanity to enter” (Oswald Chambers – Pengkhotbah, 1874-1917. Terkenal dengan renungan hariannya berjudul, ‘My Utmost for His Highest’).
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif