MANAJEMEN: MAU YANG MENDALAM ATAU MELEBAR?

124

HIDUPKATOLIK.COM – DI penghujung kuliah terakhir semester penutup menjelang sidang kelulusan, seorang dosen praktisi ditanya mahasiswa tentang kiatnya sebagai karyawan selama ini. Sambil tetap tersenyum, dosen tamu yang bersahabat dengan para mahasiswa itu menjawab dengan balik bertanya, apakah mahasiswa lebih suka hal yang mendalam atau melebar? Apa yang dimaksudkannya dengan kedua pilihan itu?

Mendalam di sini maksudnya mendalami bidang keilmuan yang dipilihnya sampai serinci-rincinya alias menjadi seorang spesialis, menguasai teknis dan fungsional. Ia menjadi tahu banyak hal dalam sedikit bidang keahlian tertentu. Di ujung ekstrem yang satunya lagi, seseorang menjadi generalis yang tahu banyak hal, namun secara terbatas. Hal ini disebut sebagai pilihan yang melebar atau khas manajerial.

Kedua pilihan (menjadi spesialis atau generalis) adalah baik dan sama baiknya. Dunia dan masyarakat membutuhkan banyak spesialis yang sangat menguasai bidang keahlian tertentu. Kurang lebih sama banyaknya dengan jumlah generalis yang dibutuhkan untuk menata dunia dan masyarakat itu sendiri. Tidak ada orang yang ekstrem spesialis dalam bidang tertentu saja dan blank dalam bidang lainnya. Demikian pula seorang generalis tetap dapat mengetahui bidang lainnya walau tidak secara mendalam.

Ikuti Passion

Bisa dimengerti dan sangat manusiawi bila seseorang akan lebih memilih menjadi seorang generalis. Karena dengan demikian, seseorang itu akan lebih berpeluang untuk menjadi pemimpin organisasi. Secara struktural, seorang pemimpin itu bertanggungjawab penuh atas seluruh atau sebagian organisasinya. Ia yang membuat kebijakan dan mengatur semua orang di dalam organisasinya.

Oleh karena itu, seorang pemimpin organisasi harus menguasai banyak aspek manajerial. Yang umum diketahui adalah akuntansi dan keuangan, produksi dan operasi, penjualan dan pemasaran, sistem informasi, hukum, sumber daya manusia, hingga urusan komunikasi antar-manusia. Belakangan ini semakin wajib untuk diketahui adalah lingkungan hidup, serta manajemen kepatuhan dan risiko.

Dalam menjalani proses pematangannya (selama bertahap) sebagai calon pemimpin, seseorang itu biasanya dijadwal untuk merasakan tugas dan fungsi di bidang-bidang manajerial yang berbeda itu. Tujuannya untuk memperluas cakrawala wawasan, serta mengenal proses bisnis dan pelakunya. Seorang (calon) pemimpin itu perlu tahu banyak hal, walaupun tidak perlu sampai mendalam.

Seorang pemimpin struktural akan menjadi ikon (perwakilan) bagi organisasinya dalam pergaulan di masyarakat. Ia akan bersentuhan dengan pihak luar organisasi yang tak semuanya dan tak selamanya bisa dikendalikan. Dan karena itu ia layak mendapat lebih banyak fasilitas dari organisasinya, bagi dirinya (juga untuk keluarganya), khususnya dalam hal kompensasi. Jadi take home pay (THP)-nya pun pantas diduga lebih besar daripada yang lain. Ini menarik bagi seseorang untuk menjadi generalis.

Sebaliknya seorang spesialis cenderung berkutat pada dunia kesehariannya yang itu-itu saja. Dunia yang praktis lebih terbatas dan terkuasai dengan baik, serta kemungkinan sebab-akibat kejadiannya pun relatif terkendali dan dampaknya dapat diduga. Seorang spesialis cenderung bekerja dengan diam dan dalam diam, lebih fokus mengamati proses internal yang praktis relatif statis dan rutin.

Karena jenis dan ciri pekerjaannya yang cenderung lebih berorientasi pada internal, seorang spesialis umumnya akan merasa gamang bila didapuk untuk menjadi pemimpin organisasi yang cenderung berorientasi eksternal. Mengurusi banyak hal dan bersinggungan dengan publik. Memang banyak hal bisa dipelajari seorang spesialis seperti mengikuti Finance for non-Finance, atau HR for non-HR, namun sensitivitas dan reaksi seorang spesialis (yang statis dan rutin) itu berbeda bila bidangnya berlainan.

Ada saja spesialis yang berhasil menjadi seorang generalis hingga menjadi pemimpin puncak, namun jumlahnya tidak banyak dan orang itu mungkin mempunyai bakat kepemimpinan terpendam. Setiap musim hanya ada beberapa orang khusus seperti itu, dan biasanya muncul secara tidak terduga. Gaya bekerja orang itu biasanya khas, umumnya kukuh dalam pendirian dan bertekun hingga berhasil.

Sebaliknya seorang generalis umumnya lebih sulit untuk menjadi spesialis. Cakrawalanya yang luas sudah terbentuk sejak muda dan itu bisa menjadi salah satu kendalanya untuk putar balik haluan.

Seseorang yang mau menjadi spesialis atau generalis itu, tidak serta merta mengikuti pilihan bebasnya semata saja. Secara psikologis, seseorang itu akan dianalisis tentang minat atau passion-nya. Selain passion itu, kemampuan memimpin seseorang (yang dapat berkembang dari masa ke masa), adalah prasyarat lain yang mutlak diperlukan. Kepribadian khas bawaan seseorang sejak lahir juga sangat menentukan. Seorang pemimpin membutuhkan sifat ekstrover lebih besar daripada introver.

Dalam organisasi yang memiliki sistem dan wadah kaderisasi, calon-calon pemimpin yang memiliki passion, kelayakan teknis dan kemampuan manajerial, serta jiwa kepemimpinan, akan diamati secara bertahap dan diukur. Pengamatan itu dilakukan bersamaan dengan proses pendewasaan seseorang secara mental, dan berjenjang dengan uji kelayakan melalui penugasan.

Organisasi akan lebih berdaya-guna bila memiliki spesialis dan generalis yang sama-sama handal. Ibarat sebuah kelompok musik, mesti ada vokalis yang bersuara merdu dan pendukung yang kompak, walaupun biasanya sang vokalis lebih dikenal. Tim sepakbola pun membutuhkan pencetak gol dan penjaga gawang yang sama-sama jago, meskipun pencetak gol terbanyak lebih sering terkenal. Dalam hal rumah sakit, pasien pun lebih mencari dokter spesialis terkenal daripada pemimpinnya.

Tak perlu memaksakan seorang spesialis untuk menjadi pemimpin yang bersifat generalis. Lihatlah contoh perguruan tinggi, tidak harus dipimpin Dekan atau Rektor yang paling unggul secara akademik, sebab yang dibutuhkan adalah seorang manajer yang handal. Demikian pula Direktur Rumah Sakit tak harus seorang dokter spesialis yang piawai. Syukur-syukur Rektor, Dekan, atau Direktur Rumah Sakit adalah ilmuwan yang mumpuni juga, dan ini berarti sangat mendukung kepemimpinannya.

Beda dengan organisasi hierarkial seperti militer atau aparatur sipil. Mereka punya jabatan fungsional hingga eselon 1 yang dijabat oleh orang dengan persyaratan teknis pangkat tertentu. Di atasnya adalah jabatan politik yang ditentukan dengan pertimbangan kepala negara atau pemerintahan.

Dengan latar belakang pemahaman di atas, orang akan lebih mudah saling mengerti, mengapa orang-orang yang tumbuh dari sebuah perguruan yang sama, setelah sekian waktu akan berada pada tingkat pencapaian yang berbeda. Hal itu bisa terjadi karena alasan teknis, manajerial, kepemimpinan, dll.

Manajemen atau Teknis?

Kembali ke pilihan karier antara teknis dan fungsional yang mendalam; atau manajerial yang melebar, keduanya adalah 2 hal yang saling melengkapi, dan searah tujuannya. Manajemen yang berhasil adalah yang dapat mengoptimalkan semua unsur teknisnya sesuai tujuan organisasi dalam batasan waktu, dana, serta sasaran tertentu.

Manajemen yang berhasil, tidak hanya mengandalkan kapabilitas dan kapasitas orang-orang yang sama tujuannya. Namun lebih penting lagi adalah merangkul hati dari setiap orang-orang itu agar tetap seia pada visi dan misi bersama untuk suatu masa yang cukup lama.

Demikian pula para spesialis membutuhkan generalis yang dapat merumuskan visi besar organisasi dengan misi-misinya dan strategi pencapaian yang realistis. Selain itu harus dapat menggerakkan organisasinya secara serentak, searah, dengan kecepatan yang dapat dijalani semua dengan mantap.

Oleh karena itu, setiap kali ada kegagalan operasional, tidak tepat lagi disebut gangguan atau kesalahan teknis semata-mata. Sebab semuanya itu adalah satu kesatuan antara teknis dan manajerial.

Cosmas Christanmas, Kontributor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini