HIDUPKATOLIK.COM – “BELUM berani mengatakan kondisi darurat namun kondisinya tidak ideal.”
Sekretaris Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (Komsem KWI), Romo Joseph Kristanto S, narik nafas panjang mengungkapkan kalimat di atas. Pandemi telah merangsek ke jantung Gereja. Bagaimana seminari-seminari menghadapi hantaman badai ini? Berikut petikan wawancara HIDUP dengan Romo Kristanto menyambut hari jadi ke-20 Gerakan Orangtua Asuh untuk Seminari (Gotaus).
Bagaimana hubungan antara Gotaus dan Komsem KWI?
GoTaus adalah salah satu dari mitra kami. Ada empat mitra. Mitra pertama kali muncul kelompok Semangat. Mereka membantu pengadaan dan renovasi gedung, alat-alat studi, dan sarana prasarana lainnya. Mitra kedua, Paguyuban Gembala Utama (PGU). Mereka ini mantan seminari, frater, pastor, membantu soft skill. Mitra ketiga, Komunitas Peduli Seminari (KPS) dibawah Profesional dan Usahawan Katolik (PUKAT) Keuskupan Agung Jakarta. Mereka ini membantu mengolah lahan-lahan seminari yang kosong/nganggur menjadi pertanian atau peternakan. Kelompok keempat, Gotaus. Gotaus ini lahir atas inisiatif Mgr. Blasius Pujaraharja. Ia pernah menjadi Ketua Komsem KWI. Mereka mengumpulkan dana untuk membantu seminaris di seluruh Indonesia khususnya meningkatkan gizi.
Bentuk kerja samanya seperti apa, Romo?
Kerja sama dengan Gotaus berbeda dengan mitra yang lain. Gotaus ini berdiri mengembangkan diri. Komunikasi dengan kami kalau ada permintaan bantuan dari seminari, Gotaus menanyakan kepada kami. Kopian permintaan diberikan kepada kami, kami setujui, kemudian diserahkan ke mereka.
Tiga tahun lalu, Gotaus masih diperbolehkan Misa di paroki-paroki di Jakarta untuk menggalang dana. Tapi waktu membuat surat, karena ditanyakan juga oleh Bapa Kardinal, tidak ada suratnya, lalu dihentikan karena di Jakarta banyak pihak melakukan penggalangan dana. Lalu, diberikan kemungkinan saat Sidang KWI di tengah-tengah sidang pada hari Minggu. Di situ diadakan Misa konselebrasi untuk cari dana.
Sekali lagi, kemitraan kami karena kami punya data namun mereka bisa langsung kerja sama dengan seminari yang mengajukan permohon. Masing-masing rektor setiap semester mengajukan jumlah seminaris yang mendapat bantuan. Misalnya, di seminari ada 100 orang, tapi yang dimintakan hanya untuk 80 seminaris, nah 80 inilah yang diberi. Kalau tidak mengajukan, tidak dibantu. Sekarang ada Gotaus Jakarta, Gotaus Pontianak, dan Gotaus Surabaya, dan lain-lain.
Apakah Komisi mengecek sampai atau tidaknya bantuan ke seminari yang bersangkutan?
Sejak saya diangkat menjadi Sekretaris Komisi ini, saya mengajak Gotaus untuk tidak hanya memberi uang tapi ikut mengawal, apakah seminari memperuntukkan bantuan sesuai dengan visi Gotaus. Hemat saya sampai hari ini, ini belum. Memang kalau ada yang meminta ke Gotaus diberi, tidak beri laporan juga tidak apa-apa. Beda dengan satu lembaga Vatikan (POSPA, Pontificia Opera di San Pietro Apostolo) kerja sama dengan Karya Kepausan Indonesia (KKI), memberi bantuan ke seminari di seluruh dunia. Kalau tidak diberi laporan, tahun berikutnya, lembaga ini tidak akan memberi.
Terlepas dari kekurangan dalam monitoring, dan lain-lainnya, sejauh mana peran mitra seminari ini dalam konteks mengembangkan seminari?
Peran mereka sangat penting. Seminari luar Jawa yang dapat bantuan, kendati jumlahnya kecil, tapi sungguh mendambakan. Kontribusi lain seperti soft skill tetap berguna seperti penulisan refleksi, mengarang, pendidikan seksuali-tas (oleh PGU misalnya). Seminari-seminari punya lahan yang luas, ketika ditawari untuk digarap, seminari membutuhkan. Misalnya, Seminari Kisol mengembangkan ternak babi (Saat ini malah sangat dibutuhkan karena pascabencana hanya babi seminari ini yang masih hidup sehingga diminta pemerintah untuk pengadaan bibit untuk masyarakat). Ini dibuat KPS. Mengganti atau memperbaiki kandang ayam, tambak ikan. Ini menambah gizi dan pemasukan. Semangat lebih pada renovasi. Jadi, peran mitra lebih-lebih untuk seminari luar Pulau Jawa sangat penting dan bantuan mereka sangat dibutuhkan.
Seperti apa kondisi fisik seminari-seminari saat ini secara keseluruhan?
Sebelum pandemi dan sesudah pandemi memang kami bantu. Misalnya, Seminari Santo Petrus Claver, Makassar. Kami membangun dapur, kapel, bagian lain. Tahun 2020, yang dibantu adalah Seminari Bunda Segala Bangsa, Maumere. Seminari ini tidak punya kamar mandi yang layak, dapur, kamar makan. Tahun ini kita tidak bisa adakan galadinner. Padahal ada sejumlah seminari yang perlu dibantu, misalnya seminari di Merauke. Saya sendiri sungguh acungi jempol seminari-semari di luar Jawa bagaimana mereka berjuang. Misalnya, Keuskupan Amboina. Di sini ada tujuh seminari menengah karena banyak pulau. Uskupnya berjuang keras agar semua seminari ini bisa bertahan.
Pada masa pandemi ini, ada sejumlah seminari yang kena Covid. Ada seminari yang hampir separuh lebih kena. Seminari asrama, satu kena yang lain bisa kena. Masa pademi ini, dalam sharing dengan para rektor, mereka mengatakan, orangtua seminaris juga kesulitan. Mereka tidak menerima bayaran uang sekolah dan asrama. Ada seminari yang sampai menunggak satu setengah sampai dua milyar karena orangtua tidak membayar. Seminari mengalami kesulitan membayar gaji karyawan dan guru. Keuskupan mengalami kesulitan keuangan karena tidak ada kolekte karena tidak ada Misa. Pemasukan keuskupan berdampak pada seminari. Saat ini saya sedang minta dari mitra untuk keuskupan yang sedang kesulitan ini. Tidak hanya untuk seminari menengah, tapi juga seminari tinggi. Seminari tinggi lebih kesulitan karena mahal bayarnya.
Apa dampak kesulitan ini terhadap formatio?
Ada seminari yang siswanya masih di rumah, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Ini misalnya Seminari Pematangsiantar. Di Palembang, seminaris dititip di paroki asal. Beberapa staf keliling mengunjungi. Lalu, Seminari Wacana Bhakti dan Mertoyuan, orangua meminta anak-anaknya agar pulang. Seminari Garum dan Probolinggo tidak meliburkan seminarisnya Natal lalu. Mereka di dalam dan terlindungi.
Pandemi ini akan berpengaruh ke depan bagi pendidikan di seminari ….
Akan sangat berpengaruh pada banyak hal. Dalam diskusi dengan para rektor, saya katakan, kita tidak usah ideal saat ini. Sekarang ini memang ada yang membuka pendaftaran dengan video call, zoom, karena kalau datang ke seminari serba repot. Antigen tidak menjamin. Itu kondisinya. Seminari tinggi ada yang kena. Ada rektornya yang kena, begitu dengan Tahun Rohani. Memang saya belum berani mengatakan darurat.
Apa harapan Romo terkait dengan situasi ini?
Pertama, sebenarnya kalau seminaris sudah di seminari lebih aman kecuali kalau ada yang nekad jalan-jalan keluar. Kedua, tetap menjalankan protokol kesehatan, baik sudah divaksin ataupun tidak. Saya katakan kepada para rektor, kalau kita tidak jeli atau lepas kendali, maka satu kena, bisa semua kena.
Jika kondisi pandemi ini masih belangsung lama, apa yang Komsem pikirkan tetang pendidikan seminari ke depan?
Satu generasi sudah kehilangan pendidikan yang baik karena pandemi ini sudah hampir satu setengah tahun. Ada seminari yang sudah masuk ada yang belum. Yang belum masuk sudah bosan dengan PJJ. Yang jenuh bukan hanya seminarisnya juga gurunya. Karena tidak siap, ini juga melelahkan guru-guru. Mengajar lewat laptop melelahkan mata. Maka, saya katakan, kita tidak usah terlalu ideal tapi bagaimana keluarga dilibatkan dalam pendidikan seminari atau seminaris juga mendidik keluarga. Yang saya maksudkan dengan tidak idealis itu, para seminaris tidak harus dikumpulkan di seminari. Karena pendemi ini, biar saja mereka di rumah, Roh Tuhan akan turut barkaya, itu di luar kemampuan kita. Yang penting, mereka tetap dimonitor, disapa lewat lewat alat komunikasi. Jangan dibiarkan tanpa komunikasi. Tugas-tugas bisa dikirimkan lewat email, wa, dan lain-lain.
Dengan kata lain perlu cara baru pendidikan seminaris?
Betul. Melibatkan orangtua dan pastor paroki. Seperti seminari diaspora dulu. Melibatkan orangtua seminaris dengan membentuk kelompok kecil di masing-masing paroki.
Kepada Gotaus dalam rangka HUT ke-20 ini?
Karena ini eranya media sosial, buatlah video pendek mengenai Gotaus lengkap dengan nomor rekeningnya, disebarkan untuk menghimpun dana karena sekarang ini tidak bisa mengadakan Misa untuk penggalangan dana. Maksimalkan media sosial.
Kepada umat, saya kutip Paus Yohanes Paulus II. Ia mengatakan, “Setiap umat Katolik bertanggung jawab atas pembinaan calon imam mereka.” Konsili Vatikan II dalam Optatam Totius menegaskan, “Seminari adalah jantung Gereja.”
Nah, kalau jantung itu sampai berhenti, kita bisa bayangkan. Kalau sebuah keuskupan tidak punya calon/seminaris, bagaimana Gereja ke depan. Maka, ini tanggung jawab umat tanpa kecuali. Kalau masing-masing umat ikut membantu, itu kan besar sekali. Bayangkan, berapa paroki seluruh Indonesia ini.