SEUTAS MAKNA PADA BANJIR BANDANG DAN TANAH LONGSOR DI NTT

64

HIDUPKATOLIK.COM – HARI Minggu Paskah, 4 April 2021. Pagi-pagi benar ketika para warga desa masih terlelap. Sebagian baru saja tidur selepas tengah malam perayaan Malam Paskah. Kali ini, mereka tidak ke kubur Yesus bersama para perempuan. Tidak ada yang mereka risaukan soal siapakah yang akan menggulingkan batu penutup kubur bagi mereka. Justru batu-batu besar, pasir dan banjir bandang datang “menjemput”.

Ratapan keluarga dari balik hujan lebat terdengar pilu. Tuhan, Engkau sungguh tega menimpakan derita ini pada kami. Mengapa harus bapa, mama, kaka dan ade kami yang Engkau ambil?

Protes dan keberatan kepada Tuhan karena tragedi ini susah beranjak pergi. Jika sudah begitu, haruskah kita berpaling pada protes mereka yang tidak percaya pada Tuhan? Haruskah kita kalah dan tunduk pada alam pikir kaum ateis, bahwa banjir bandang dan tanah longsor di berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan sebagian di Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah bukti ketidakperkasaan Allah?

Saya sependapat dengan Alvin Platingga, filsuf pembela iman Kristiani, yang mengatakan bahwa hal yang paling dibutuhkan ketika berhadapan dengan tragedi seperti bencana alam adalah “dukungan dan penghiburan rohani” (Philosophers who Believe, 1993: 71). Alasannya, berspekulasi pada problem kemahakuasaan Allah di hadapan kekejaman bencana alam hanya akan melahirkan keputusasaan bahkan kegilaan.

Intuisi Platinga bukan sebuah sikap ketakberdayaan. Sama seperti juga ditegaskan Katekismus Gereja Katolik, sebuah jawaban yang cepat atas pertanyaan mengapa Allah “mengizinkan” tragedi dan penderitaan tidak akan pernah memuaskan kita (KGK, 309).

Bisa jadi term “mengizinkan” tidak tuntas menggambarkan kebenaran dan cinta kasih Allah kepada manusia di satu sisi serta bencana alam di sisi lainnya. Dalam konteks ini, pendapat Platinga bisa saja benar, bahwa lebih baik mengatakan “kita tidak tahu mengapa Allah mengizinkan tragedi dan penderitaan” (Philosophers who Believe, 1993: 71-72), dan bahwa yang kita tahu dengan pasti adalah kehendak bebas Allah untuk rela menderita demi menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan-Nya. Dalam arti itu, Platinga tampak sejalan dengan penegasan Katekismus Gereja Katolik, bahwa tragedi dan penderitaan hanya bisa dipahami dalam misteri keselamatan secara menyeluruh (KGK, 309), apa yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam KGK 309-314.

Tetapi lagi-lagi ini bukanlah jalan keluar yang memuaskan. Meskipun tidak lengkap, sebuah jawaban bisa membantu dapat diberikan di sini dengan catatan bahwa pemahaman yang lebih lengkap harus diberikan dalam konteks rencana keselamatan Allah secara menyeluruh. Menurut saya, teori entropi dapat menjadi jawaban atas gugatan terhadap kemahakuasaan Allah di hadapan bencana alam. Dalam diskursus eksistensi Tuhan, teori ini dipopulerkan oleh George Coyne, ilmuwan dan imam Yesuit yang pernah bekerja di observatorium Vatican pada tahun 1978.

Sejalan dengan ajaran Gereja (bdk KGK 309-314), Coyne mengatakan bahwa alam semesta diciptakan sempurna dan memiliki hukumnya sendiri. Alam semesta selalu membarui diri demi mencapai keseimbangan baru. Dalam arti itu, bencana alam adalah bagian dari cara kerja alam mencapai suatu keseimbangan.

Dalam proses keseimbangan alam itulah tidak jarang manusia menjadi korban karena “kebetulan” sedang berada di sekitarnya. Manusia sebenarnya dapat menghindari bencana alam tersebut persis karena Allah menganugerahinya akal budi untuk memelajari gejala-gejala alam agar bisa memberi peringatan dini kepada sesamanya – melalui teknologi super canggih yang menghasilkan ramalan cuaca yang tepat (Gary Stern, Can God Intervene?, 2007: 92-94).

Bencana alam sudah terjadi di NTT dan ratusan orang telah menjadi korban. Dukungan rohani apa yang dapat diberikan kepada keluarga korban? Dalam suratnya memeringati satu tahun runtuhnya jembatan Morandi di Genoa, Italia, tanggal 13 Agustus 2019 yang menewaskan 43 orang, Paus Fransiskus menegaskan bahwa alih-alih mempermalukan manusia, bencana alam justru dapat mendekatkan kita dengan penderitaan itu sendiri yang telah diambil alih Allah melalui penderitaan Putra-Nya. Bagi Fransiskus, dalam relasi mendalam dan doa, kemarahan, kekecewaan, rasa marah, dan frustrasi karena penderitaan mendapatkan maknanya pada Allah yang menderita.

Allah yang hadir dan ikut menderita adalah wujud solidaritas yang paling paripurna. Penderitaan saudara-saudara kita di NTT tidak hanya mendekatkan kita dalam solidaritas dan persaudaraan, tetapi juga meneguhkan kita dalam solidaritas Allah yang paripurna: jalan kesempurnaan melalui jalan salib.

Yeremias Jena, Katekis dan Dosen di Unika Atma Jaya Jakarta

(HIDUP, No.16, Tahun ke-75, Minggu, 18 April 2021)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini