Berkhotbah secara Digital Perlu Mengakomdir Aspek-aspek Digital

120

HIDUPKATOLIK.COM – PERAYAAN Ekaristi ‘online’ masih menjadi pilihan untuk beberapa saat ke depan.  Malah tidak bisa disangkal, dampak setahun pandemi bisa membawa efek terhadap perayaan Ekaristi tatap muka saat dibuka kembali. Hal ini mendorong inovasi agar Misa online tetap menjadi satu alterantif.

Yang jadi pertanyaan: apakah model perayaan online dilaksanakan dengan memperhatikan logika dan mindset digital? Pemanfaatan teknologi digital tanpa memperhitungkan logika, maka terancam tidak efektif.

Tapi jenis kreativitas apa yang bisa ditawarkan mengingat perayaan Ekaristi memiliki struktur yang baku?  Jawabannya ada pada homili. Hal ini tidak berarti mengambil peran imam sebagai pembawa homili. Yang perlu dilakukan, bagaimana imam yang memimpin Misa online, menggunakan sarana digital yang ada sebagai media pewartaan yang efektif.

Bagaimana hal ini bisa dilakukan? Mengutip Teddy Hong, dalam “Why Asynchronus is the Future Communication”, 2020, diuraikan tentang ketidakefektifan komunikasi sinkronus. Komunikasi ini terjadi pada waktu, tempat, dan media yang sama. Ketidakefektifan itu juga bisa terjadi dalam Misa online, khususnya pada saat homili.

Hampir bisa dipastikan, cara membawakan homili pada saat Misa tatap muka maupun Misa online sama. Tidak sedikit homili yang abstrak, eksegetis, dan sangat teoritis. Ia bersifat deduktif dengan uraian historis-argumentatif sebagai dasar untuk menarik kesimpulan. Kata-kata yang digunakan sangat jauh dari apa yang diharapkan Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium tentang bahasa percakapan seorang ibu (no 139), dan menggunakan kata-kata yang mengorbankan hati (142).

Kesulitan itu akan kian terasa dalam Misa online. Darinya dibutuhkan inovasi dengan memperhatikan tuntutan teknologi digital yaitu kombinasi teks, suara, gambar, animasi, bahkan video. Itu berarti, sebagai pembawa homili, pengkhotbah perlu mengakomodir aspek-aspek digital.

Penggunaan elemen digital ini hanya akan efektif kalau kalau homili bisa disiapkan, ‘direcord’, dan pada saat perayaan online bisa ditampilkan. Ia tidak dibawakan secara ‘sinkronus’ pada saat itu juga tetapi telah disiapkan dan ditampilkan sebagai sebuah sajian yang ‘asinkronus’.

Untuk mengemasnya tentu bukan hal yang mudah. Butuh persiapan dengan tim yang handal, hal mana ditekankan Teddy Hong: Emmphasize trust and accountability to the team. Itu berarti komsos (paroki atau keuskupan) tidak sekadar membantu menyiarkan Misa tetapi bahkan secara intens membantu pengkhotbah (pastor) menyusun homili asinkronus dengan bantuan teknologi digital.

Apakah inovasi seperti ini diperbolehkan? Pertama, dalam perayaan tatap muka, inovasi seperti ini tentu bersifat ‘debatable’. Namun ketika dihadirkan secara digital-online, maka yang jadi bahan pertimbangan adalah efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan. Media online logika dan alogoritma yang perlu dipertimbangkan. Penekanan ‘dual channel’ (visual dan auditorial) menjadi salah satu pertimbangan penting. Di sana orang tidak bisa dipaksakaan untuk mendengar (auditorial), tetapi perlu diseimbangkan dengan aspek visual berupa gambar.

Kedua, homili asinkronus memperbaiki ketidakefektifan dalam model homili sinkronus baik dalam misa online maupun misa tatap muka. Pada homili sinkronus misalnya, yang aspek utama yang digunakan adalah kekuatan vokal dan verbal yang menjadikan efektivitas homili menjadi sangat kurang. Padahal menurut Lynda Katz Wilner dalam “The Three V’s Communication”, aspek verbal dan vokal hanya menyumbang 7 % dan 30% dari efektivitas komunikasi. Sementara itu, komunikasi hanya akan efektif kalau diperhatikan dimensi visual yang menyumbang 55%.

Ketiga, penerapan homili yang asinkronus bila dilakukan dengan seksama, maka ia mewujudkan esensi dasar dari homili. Ia yang berasal dari kata  ‘homilein’ (Yunani), ‘platica familiar’ (Spanyol), memiliki warna dan ciri khas berupa  percakapan kekeluargaan. Sayangnya aspek ini kerap dilupakan dan digantikan dengan model homili yang abstrak dan eksegetis yang ketika dibawakan secara berlebihan, akan menjauhkannya dari percakapaan kekeluargaan.

Bila sampai pada pemahaman ini maka kita sepakat bahwa Misa (homili) online yang dilaksanakan harus mengikuti logika digital. Hal itu akan membawa efektivitas dan dampak yang besar dan sanggup menyapa umat yang berada dalam kungkungan covid. Karenanya, homili asinkronus merupakan alternatif yang kalau belum diterapkan, minimal ia menjadi bahan pertimbangan.

Robert Bala, Pengamat Homiletik, tinggal di Jakarta

(HIDUP, No. 14 Tahun ke-75, Minggu, 11 April 2021)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini