BAHAGIAKAH MENJADI MANUSIA

257

HIDUPKATOLIK.COMDI sebuah kesempatan perkuliahan daring, dosen kami mengajak seluruh mahasiswa merenungkan pertanyaan ini: “Bahagiakah anda menjadi manusia?” Secara pribadi, saya terkesan dengan pertanyaan tersebut, hingga beberapa hari setelah pembahasan di kelas itu.

Kemudian saya bertanya-tanya sambil sedikit berimajinasi, “Apakah binatang bahagia mendapati diri mereka sebagai binatang? Atau mungkinkah banyak dari binatang justru kagum melihat keberadaan manusia? Tapi, apa kira-kira yang mereka kagumi dari manusia?”

Saya pun membayangkan kekaguman mereka ketika melihat bahwa manusia melakukan banyak hal dengan bekerja sama dalam jumlah yang besar. Pasalnya, manusia mempunyai akal budi, kecerdasan, dan perasaan (hati) untuk menjalani kehidupan. Mungkin saja ada keinginan dilahirkan sebagai manusia, tapi mereka harus menerima diri apa adanya. Bagaimanapun setiap makhluk tidak bisa mengubah kodratnya.

Melihat realitas itu, saya kembali ke rumusan pertanyaan tadi dan sedikit mengembangkannya, “Bahagiakan anda menjadi manusia? Apakah anda juga selalu menghargai kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri sendiri sebagai manusia?” Mungkin tidak jarang saya dan anda mengabaikan kekuatan yang telah dianugerahkan Tuhan dalam diri kita masing-masing karena berbagai alasan. Mungkin karena terlalu banyak pekerjaan, tugas-tugas, situasi lingkungan yang membuat kita merasa seakan-akan terkekang. Ironisnya, perasaan itu tidak jarang disebabkan kemalasan kita sendiri.

Hidup itu anugerah, hidup itu hadiah. Betapa bahagia mereka yang menyadarinya, betapa ringan langkah mereka”. Demikianlah secarik lirik ayat lagu berjudul “Hidup itu Anugerah” yang diambil dari buku ACHM* no. 71. Hidup adalah anugerah dan hadiah yang Tuhan berikan kepada kita. Bukan atas dasar kerja keras kita. Adakah di antara kita yang mengemis pada Tuhan supaya dilahirkan sebagai manusia? Tentu saja tidak. Kita mendapat hadiah yang sangat besar yaitu dilahirkan sebagai manusia. Marilah kita mengambil waktu sejenak untuk menyadarinya, sehingga langkah hidup kitapun lebih ringan dan bersemangat. Marilah kita menjadi berkat bagi sesama manusia dan makhluk lain dengan menggunakan segala daya yang telah dianugerahkan Tuhan pada kita.

Memang, tidak dipungkiri bahwa kesadaran kita sebagai makhluk berharga tidak selalu penuh. Sebagai manusia, kita kerap dihadapkan pada titik jenuh; sebuah fase di mana kita merasa berada dalam posisi terendah dalam hidup. Namun, agaknya kutipan Rasul Paulus ini mampu menyemangati kita dalam menghadapi tantangan yang ada, “pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Kor. 10:13)

Lebih lanjut, kutipan di atas mau menyadarkan kita akan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali kita lupa untuk memberi ruang kepada Allah untuk berbicara melalui doa-doa kita. Padahal, melalui doa yang tuluslah kita mampu menimba inspirasi rohani serta menambah kekuatan iman kita. Hingga akhirnya, kitapun tidak berlarut dalam rutinitas keseharian yang acapkali menutup rasa syukur kita atas rahmat kehidupan, anugerah dan hadiah paling berharga dari Tuhan. Semoga kita bisa tetap bersyukur atas kehidupan sebagai manusia serta bertanggungjawab untuk mengubah potensi-potensi yang ada dalam diri kita masing-masing menjadi berkat bagi banyak orang. Bukankah ini adalah perwujudan konkret syukur kita kepada Tuhan? God bless us.

Fr. Dominikus Waruwu, OSC, tinggal di Biara OSC, Bandung, Jawa Barat

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini