HIDUPKATOLIK.COM – SORE itu, alroji yang melingkar di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 16.15 waktu Dili, Timor Leste. Langit yang nampak dari pandangan mata terlihat cerah, sekaligus gerah. Ada sedikit mendung putih di atas bumi Timor Leste. Saya raih HP dan buka aplikasi cuaca yang menunjukkan suhu udara saat itu 27⁰C. Ini terasa karena biara kami berjarak tiga km dari pantai di Dili. Walaupun masih terasa gerah, tetapi tak menyurutkan niat diri ini untuk doa dan olah raga (donor) di tempat doa patung Cristo Rei (Kristus Raja) yang jarak 8,5 km dari biara kami, Bruderan FIC, Camea Raihun, Camea, Dili.
Untuk mengantisipasi rasa panas terik matahari sore itu, saya siapkan topi warna biru berbordirkan tulisan dan gambar bendera Timor Leste. Juga air minum dalam botol minum kesayangan yang berwarna pink. Saya kenakan sepatu olah raga yang warna hitamnya sedikit pudar. Sapu tangan model handuk kecil warna biru muda juga saya siapkan untuk mengusap keringat nantinya. Saya merasa sudah lengkap dan sangat siap. Tinggal berangkat. Sebelum berangkat tak lupa saya menuliskan di papan informasi biara, Br. Blasius: ”Donor” ke Cristo Rei. Dengan tujuan supaya bruder sekomunitas tahu ke mana saya pergi. Bruder lain belum pulang dari kerasulannya di sekolah (sekolah masuk pagi dan siang).
Setelah segalanya beres, kini saatnya berangkat. Mengendarai sepeda gunung yang sudah usang, saya ambil jalan pintas. Lewat jalan tengah sungai yang kering – di mana kebanyakan sungai di Dili, dilewati air saat hujan datang saja. Tiga atau empat jam berikutnya sudah bisa dilewati kendaraan lagi. Setelah menggayuh sepeda sekitar 20 menit melewati jalan sungai, tibalah di jalan beraspal di bibir pantai Kota Dili. Saya berhenti sejenak, menenggak air minum sambil merasakan angin pantai yang segar sore itu.
Begitu tubuh terasa segar kembali, mulailah saya kayuh pedal sepeda menelusuri jalan beraspal tepian pantai Dili menuju Bukit Tanjung Fatukaman yang masih harus menempuh jarak 5 km lagi – Fatukaman dalam Bahasa Tetun (Bahasa Ibu Negara Timor Leste) artinya fatuk: batu dan aman: bapak. Di puncak bukit inilah patung Cristo Rei berdiri. Meskipun masih harus menempuh jarak sejauh itu, tetapi terasa lebih segar karena angin pantai yang berhembus menerpa tubuh. Ditambah lagi mata juga dimanjakan suguhan pasir putih yang indah dan ombak kecil yang turut menambah indahnya pantai sepanjang lima km itu.
Sesudah melewati kelak-keloknya jalan, akhirnya sampailah saya di taman parkir yang cukup luas. Kawasan parkir yang juga ditanami pohon-pohon yang sudah tumbuh rindang ini sebenarnya sudah berada di area wisata religi. Di kawasan parkir ini juga dibangun beberapa gasebo yang bisa dipakai untuk istirahat. Di area parkir yang luas ini juga digunakan untuk berolah raga, ada yang jogging, skiping, dan yang cuma berlari-lari melatih otot kaki menjadi kekar. Penting untuk diketahui bahwa taman doa ini masuknya gratis. Demikian juga parkirnya. Karena itu, kendaraan apapun yang parkir di sini menjadi tanggung jawab pribadi. Maka, demi amannya, sepeda saya parkirkan dekat tiang lampu taman, kemudian saya rantai dengan tiang dengan menggunakan rantai anjing dan gembok yang memang selalu ada di sepeda.
Memuncak sambil “Donor”
Untuk sampai puncak, jalan yang harus dilalui adalah jalan menanjak. Sebab patung Cristo Rei berdiri kokoh di puncak bukit Tanjung Fatukaman dengan ketinggian 90 meter dpl. Namun, jangan kawatir, jalan untuk sampai puncak sudah tersedia dengan sangat apik dalam bentuk anak tangga. Meskipun demikian saya harus menyiapkan tenaga untuk menaiki anak tangga yang jumlahnya 692 buah dengan setiap beberapa anak tangga ada anak tangga yang pelatarannya lebih luas. Dimaksudkan untuk istirahat sejenak. Dan, di samping kanan jalan anak tangga ini dibuat relief Jalan Salib berjumlah 14 perhentian. Sepanjang jalan tangga ini sangat rindang oleh pepohonan.
Tibalah saya pada perhentian pertama Jalan Salib Tuhan. Saya keluarkan HP dari saku celana. Saya buka sebuah aplikasi untuk membuka rumusan doa Jalan Salib. Saya mulai doa Jalan Salib. Anak tangga demi anak tangga saya lalui dalam suasana Doa Jalan Salib Tuhan dan akhirnya sampai juga perhentian ke-14. Dan, selesai sudah Jalan Salibnya.
Sore itu saya dapat menikmati dan merasakan bagaimana rasanya Jalan Salib ini yang tentunya masih lebih ringan bila dibandingkan dengan Jalan Salib Tuhan. Yesus menaiki Bukit Golgota dengan memanggul Salib di siang bolong. Masih di dera lagi. Sementara saya hanya jalan kaki tanpa memikul kayu salib dan matahari sudah tidak terik lagi sinarnya. Selain itu juga terhalang oleh rimbunnya daun pepohonan.
Empat belasperhentian sudah terselesaikan. Namun, ini masih setengahnya untuk sampai puncak. Saya tenggak bekal air minum untuk mengurangi dahaga dan mengantisipasi dehidrasi. Kemudian lanjut lagi melangkahkan kaki menampaki anak tangga demi anak tangga sambil sekali waktu berhenti. Hingga tak terasa sampailah saya pada pelataran utama yang luas biasa digunakan untuk Ekaristi. Istirahat lagi sambil menikmati udara segar. Menyegarkan mata dengan melihat keberadaan keindahan parkiran, Kota Dili, juga pantai Dolok Oan.
Waktu di aloroji sudah menunjukan pukul 17.40. Saya melanjutkan pemuncakan dengan menapaki anak tangga yang lebih menukik dan sempit. Hanya bisa untuk jalan satu orang dari bawah dan satu orang dari atas. Namun tetap ada beberapa tempat yang dibuat pelataran agak luas untuk beristirahat sejenak. Tepat pukul 18.00 sampailah saya di puncak Bukit Tanjung Fatukaman di mana Cristo Rei menapak bumi dengan megahnya. Dengan posisi menghadap Kota Dili. Tangan-Nya membentang seolah memberkati Kota Dili.
Selanjutnya, saya langsung mencari posisi di bagian depan bawah patung Cristo Rei menghadap. Di bawah patung yang tingginya 27 meter ini saya duduk dan “curhat”.
Inilah curhatan saya pada Sang Cristo Rei yang merentangkan tangan-Nya memeluk saya, sahabat-Nya dan orang yang penuh dosa ini:
“Sahabatku ya, Sahabatku….
Aku datang kepada-Mu…
Datang untuk mematrikan cintaku, cinta yang tidak sempurna…
Cinta yang sering terkoyak dosa….
Aku datang untuk menjadikan jiwa raga jadi kekasih-Mu yang tak berkesudahan…
Menjadikan hatiku tempat tahta-Mu…
Sahabat dari segala sahabat….
Buatlah hidupku selalu dan selalu mengalirkan rahmat-Mu…
Supaya semesta dan sesamaku makin mengenal-Mu…
Dan mengalami kasih-Mu..
Kristus Raja, sahabatku…
Rajailah setiap hati dengan hati-Mu…
Supaya dunia baru terjadi…
Dunia baru yang penuhi lautan kasih-Mu..
Terima kasih Sahbatku… Amin.
Selesai saya bercurhat dengan Sang Cristo Rei, saya bangkit dan membalikkan badan. Puji Tuhan matahari masih belum “tertelan” laut. Saya cari tempat keluar pagar pembatas lokasi patung menuju gundukan tanah yang menjorok ke laut.
(Anda boleh percaya boleh tidak, matahari benar-benar tidak kelihatan setelah jam 18.25). Syukur pada Tuhan, cuaca baik memihak saya, sehingga sinar matahari yang membias ke lautan menguning indah. Entah berapa kali ponselku ini cekrak-cekrek mengabadikan keindahan sore itu.
Bruder Blasius Supriyantoro, FIC, tinggal di Dili, Timor Leste
Curhat yang membut pembaca ikut ‘mendaki’. Terimakasih bruder Blas