HIDUPKATOLIK.COM – SAYA suka sekali dengan hujan. Makin deras makin bagus, kalo perlu pake geledek segala, asal jangan pake banjir loh ya. Saat hujan, langit menjadi teduh, udara menjadi dingin…hati saya pun jadi ikut adem. Suatu sore hujan pun turun, saya segera membuat minuman coklat panas untuk kemudian meringkuk di sofa panjang, memejamkan mata menikmati alunan musik alam yang menenangkan jiwa itu. Aaahhhh…so relaxing! Suara hujan yang turun teratur itu tanpa sadar mengantar saya mengembara jauh ke alam bawah sadar saya, saat pikiran tenang dan memasuki meditative state of mind, yang sering disebut gelombang Alpha-Brain Wave, yang bila kurang hati-hati bisa terpeleset ke gelombang Delta-Brain Wave, alias ketiduran.
Saya merasa berada di lorong panjang berkarpet merah tua dengan dinding yang dilapisi wallpaper berwarna senada. Beberapa lampu dinding yang terbuat dari kristal memberi cahaya kekuningan, berbaris rapi di sepanjang kedua dinding lorong. Di kanan-kiri pintu sepanjang lorong itu, ada banyak pintu. Di depan tiap pintu ada plakat logam berwarna emas bertuliskan nama ruangan di balik pintu tersebut.
Saya berjalan perlahan-lahan sambil membaca nama-nama ruangan itu, dan mengintip sebentar ke dalamnya. Dalam Ruang Imajinasi ada ratusan screen TV yang menempel di tembok, berisi beragam video berisikan bermacam-macam acara sirkus, acrobat dan show-show lain, bahkan ada video outer space...ini sepertinya menggambarkan bagian imajinasi kreatif saya yang terus berputar non-stop yang membuat saya seringkali menderita insomnia. Huh…
Saya beralih ke ruangan sebelahnya; Ruang Perpustakaan. Ruangan ini besar dengan jendela-jendela tinggi dengan pemandangan ke taman luar yang asri. Ada 3 rak buku berukuran besar, diapit oleh beberapa sofa panjang yang empuk. Masing-masing rak diberi label; “Best Stories”, “Mediocre” dan “Rubbish”... sepertinya ini berisi buku-buku dan movies yang pernah saya baca atau tonton.
Ruangan diseberangnya bernama Ruang Profesi, di dalamnya terpajang replika saya sendiri dalam bentuk patung-patung lilin full body seperti di Museum Madam Tussaud. Masing-masing memakai kostum yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan kostum penari perut Timur Tengah lengkap dengan cadarnya, ada yang pakai seragam Hogwarts lengkap dengan tongkat sihirnya (Yes! saya pengen banget bisa sekolah di Hogwarts bareng Harry, Ron dan Hermione hehehhe…). Ada juga beberapa patung saya yang bergaya movie star dan penyanyi idola tentunya, ada lagi patung saya yang tampil seperti malaikat lengkap dengan sayap putih besar (Yes! saya juga pengen sekali bisa terbang kemana-mana, termasuk ke Surga!).
Tapi ada satu pintu yang dinamakan Hall of Fame. Ruangan ini kecil tetapi terasa hangat. Di dalamnya berisi berbagai lukisan portrait setengah badan dari orang-orang yang paling saya sukai dan hormati yang pernah saya temui dalam hidup saya. Lukisan ini dibuat bergaya naturalis dari cat minyak dan berpigura emas. Ada lukisan Guru Bahasa Indonesia SMA saya, kecintaan dan passion beliau akan dunia sastra dan puisi-lah yang membuat saya ingin sekali jadi penulis. Ada lukisan Creative Director di tempat saya pertama bekerja setelah kuliah dulu, beliau-lah yang sudah banyak mengajari saya dan memberi banyak kepercayaan sehingga talenta artistik saya bisa berkembang.
Sayup-sayup terdengar musik jazz di ruangan itu…aaah iya, saya baru ingat…beliau juga suka musik jazz sama seperti saya. Lukisan paling besar di ruangan itu…tentunya portrait almarhum papi saya tercinta. My biggest fans, my life mentor, teman diskusi terbaik sekaligus the best Dad that a daughter can ever ask for. Saya terdiam sejenak didepan lukisan itu dengan perasaan sedih dan rindu yang bergelora. Sebelum tangisan saya pecah, saya cepat-cepat menutup pintu dan membuka pintu lain disebelahnya. Kali ini nama didepan pintu itu Monster Hall of Fame.
Ruangan ini jauh lebih besar. Sepanjang dinding berderet-deret lukisan portrait juga, hanya saja tidak berbingkai emas melainkan bingkai kayu sederhana berwarna hitam. Penerangan di ruangan ini sangat sedikit, sehingga agak gelap dan suram. Ruangan ini juga sepertinya jarang dibersihkan, lantainya kotor dan banyak sarang laba-laba di langit-langit. Entah mengapa suhu udara di ruangan ini juga terasa lebih dingin dibandingkan dengan ruangan-ruangan lainnya. Mendadak saya merasa merinding…Hiii…
Saya berusaha melihat foto siapa saja yang terpasang disini. Salah satu wajah tirus dengan tampang nyinyir menatap sewot ke arah saya…astaga! Ternyata itu wajah temen kuliah saya dulu, spoiled rich brat yang sok asik dan menyebalkan. Di bawah pigura ada tombol play, dan ketika saya pencet tombol itu keluar rekaman kata-kata menyakitkan yang pernah dia ucapkan pada saya. Rasanya kepengen sekali saya tonjok lukisan wajah itu. Sambil menahan geram, saya melihat lukisan lainnya. Ada lukisan wajah temen sekerja dulu yang hobby mem-bully Saat tombol play ditekan, ada berbagai rekaman kata-kata bully lengkap dengan suara “ketawa jurit-nya”.
Saya makin sewot, dan terus menatap semua lukisan portrait yang dipajang disana. Semakin banyak wajah-wajah menyebalkan yang menatap saya. OMG!…ini ternyata adalah kumpulan orang-orang yang paling saya gak sukai sepanjang hidup saya. Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar “Daaarrrrr!!!!!” Saya berteriak keras sambil terlompat saking kagetnya.
Ternyata itu suara petir yang membangunkan saya dari tidur singkat di sore itu. Gak jelas deh kapan saya tergelincir dari Alpha Brain-wave ke Delta Brain-wave. Setelah mencuci muka dan membuat teh manis hangat saya merenungkan ‘perjalanan’ saya barusan. My Monster Hall of Fame itu jelas-jelas mengganggu ketenangan batin saya. Oh Tuhan…ternyata banyak sekali orang-orang yang belum saya maafkan dengan sungguh-sungguh, sebab saya ingat persis setiap mimik muka sinis dengan senyum mengejek, semua kata-kata menyakitkan lengkap dengan nada suara mereka masing-masing saat mereka mengucapkannya, seolah-olah kejadian itu baru saja saya alami, dan bukannya bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun silam.
Mungkin ini yang disebut Luka Batin. Luka yang terlupakan, tapi belum tersembuhkan. Saya menghela nafas panjang. Sejujurnya saya juga bukan manusia sempurna, tanpa sengaja mungkin saya juga pernah menyakiti hati orang lain, dan bisa jadi lukisan portrait saya terpajang sebagai salah satu Monster Hall of Fame Oh no…
Masih dalam kondisi shock, saya mengambil Rosario dan bertekat minta bantuan Bunda Surgawi, untuk membantu saya menyembuhkan luka batin ini. Setiap butir Doa Salam Maria saya daraskan sambil mengenang satu-persatu wajah para “Monster” itu, dan dengan tulus berusaha melepaskan pengampunan. It’s been too long and too many. Saya berharap bisa menurunkan portrait itu dari dinding satu-satu, sampai Ruangan Monster Hall of Fame itu kosong. Saya ingin membersihkan dan merenovasi ruangan itu, menjebol temboknya, dan menyatukannya dengan Ruangan Hall of Fame, sehingga ruangan Hall of Fame yang tadinya kecil menjadi luas. Dindingnya akan saya cat dengan warna cerah, sehingga tersedia banyak dinding kosong untuk menaruh foto orang-orang yang saya sukai dan segani yang masih akan saya temui nanti dalam perjalanan hidup saya di masa mendatang. Saya betul-betul harus mendalami ilmu mengampuni, to forgive and forget. Semoga nanti saat tanpa sadar saya kembali berjalan-jalan jauh ke ruang jiwa saya yang terdalam, renovasi itu sudah selesai dilakukan. No more Monster Hall of Fame for me!
Fransisca Lenny, Kontributor, Pekerja Seni