HIDUPKATOLIK.COM – JALAN-jalan. Itu hal pertama yang dilakukan Valentino Luis ketika menginjakan kaki di Kota Kordoba, Andalusia, Spanyol Selatan. Dalam tulisannya, setibanya di sana sepuluh tahun yang lalu, Valentino berjalan kaki sambil menikmati cuaca yang cerah dan suhu yang sejuk. Suasananya sama pada umumnya seperti di daerah Italia dan Yunani. Karakter masyarakatnya lebih santai. Mirip-mirip di Indonesia, mereka suka jalan dan nongkrong. Kala itu, ia terbang ke Spanyol lantaran tiket yang ramah di kantong ketika musim panas dan telah menyelesaikan studinya di Jerman.
Sekitar 250 meter dari penginapannya, ia menuju ke Barat, melalui tiga alun-alun, yaitu Plaza de Abades, Plaza de Concha, dan Plaza de Santa Catalina. “Tujuan saya melihat sebuah kompleks rumah ibadah nan megah dan arkais bernama Mezquita-catedral de Córdoba. Ini adalah maskot Kordoba. Tempat ini memadukan unsur Kristen dan Islam yang amat detail. Dahulu, Kordoba pernah dikuasai kaum Moor yang sukses menyebar pengaruh Islam di Semenanjung Iberia. Banyak tempat di kota ini memakai kata-kata berbahasa Arab,” ungkapnya. Valentino berada di Kordoba selama kurang lebih tiga hari lamanya tetapi ia tidak mendengar bahwa di sana ada sebuah kisah mengenai Salib Pengampunan.
Mimpi Ditolong
Valentino bergegas membuka browser dan mengetik “Salib Kordoba” ketika ia ditanya oleh HIDUP mengenai Salib Kordoba. Ia tertegun sejebak ketika melihat bentuk Salib yang unik itu. Ia menjadi teringat akan bunga tidurnya. Suatu hari, ketika ia masih duduk di bangku SMP, ia tergeletak sakit. Malamnya, ia bermimpi, Yesus yang di salib melepaskan tangannya, dan mengulurkan tangannya ke arah Valentino. Kelahiran Maumere, Flores ini langsung terkejut dan merasa sedikit ngeri. Ia tidak tahu apa maksudnya.
Lambat laun ia lupa akan mimpi tidurnya, dan terkenang kembali ketika melihat Salib di Kordoba. “Sepertinya belum populer di masyarakat ya, khususnya Indonesia,” tuturnya.
Secara pribadi, Valentino biasanya berkunjung ke tempat-tempat rohani berdasarkan yang dibicarakan di tanah kelahirannya. Wajar jika Salib Kordoba ini belum terlalu dikenal. Umat Katolik sudah familiar dengan Yesus yang membentangkan kedua tangannya di Salib.
Menurut Valentino, posisi Salib yang “tidak wajar” itu juga hampir menyerupai salib yang ada di Kapela STF Ledalero. “Tangannya sama-sama terlepas. Salib di Kordoba, tangan Yesus lepas dan ke arah bawah, kalau yang di Ledalero, tangan Yesus agak naik ke atas,” jelasnya.
Tidak Cukup Disalib
Sepuluh tahun lalu, ketika di Kordoba, Valentino menuturkan bahwa dirinya memang fokus melihat arsitektur-arsitektur di sana. “Menyesal juga sih. Setelah tahu dikabari HIDUP, ya jadi ingin tahu. Kalau ada kesempatan ke sana, tentu saya akan mencari informasi mengenai Salib tersebut,” terangnya. Ia juga memiliki keinginan untuk bertolak menuju Santiago de Compostela. Tenyata, menurut Valentino, di zaman sekarang masih banyak peziarah, yang ikut berjalan kaki di sana dan semua diatur dengan baik di pos-pos pemberhentian. Tetapi, memang perlu persiapan fisik yang matang.
Kendati demikian, umat Paroki Santa Maria Immaculata Lela, Keuskupan Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini membagikan kesannya mengenai Salib Kordoba. Ketika Valentino melihat foto Salib Kordoba yang ditemukannya di internet, ia merasa bahwa pengorbanan Yesus itu totalitas. Sehabis-habisnya. “Yesus sudah berkorban untuk kita dengan membentangkan tangannya di Salib. Tetapi dengan posisi tanganya yang terlepas ke arah bawah, bagi saya, Yesus ingin menolong kita. Menarik kita kembali kepada-Nya,” ungkap jurnalis travel ini, posisi Yesus yang melengkungkan badan dan bertahan hanya dengan satu tangan dipaku, dapat dibayangkan sakitnya luar biasa. Seakan-akan, disalib itu tidak cukup, maka Yesus mau berkorban menurunkan tangan untuk umat-Nya.
Merinding
Berbeda dengan Valentino, Carlos Melgares Varon pernah melihat Salib Pengampunan. Kelahiran Guadix, Granada, Andalusia, Spanyol bagian Selatan ini telah melihat salib yang dikenal orang lokal sebagai “de la Cruz del Perdón”. Pria yang lahir pada tanggal 6 Februari 1964 ini mengaku untuk pertama kalinya melihat salib tersebut saat berusia 24 tahun.
Ia berkisah dari kampung halamannya, Granada, butuh waktu sekitar satu jam untuk mencapi Kordoba. Salib yang dikenal orang di luar Spanyol sebagai Salib Kordoba tersebut berada di sebuah kapel dalam biara St. Ana dan St. Yosef milik para karmelit. Ketika memasuki pelataran kapel itu, Carlos merasakan lututnya gemetar dengan tatapan mata terpaku. “Saya jujur merinding melihatnya,” ungkapnya tulus.
Rasa merindingnya itu muncul lantaran begitu kagum dengan postur yang sedemikian realistik dari corpus dalam salib itu. “Ia begitu nyata sehingga membuat kita benar-benar terbawa dalam perasaan haru sekaligus takjub,” akunya lagi. Bagaimana tidak, di mata Carlos, sosok yang begitu ia kagumi bersedia untuk melengkungkan tubuhnya sebegitu rupa untuk mengulurkan tangannya kepada manusia. “Ini adalah suatu ekspresi pelayanan total yang mampu mengubah hati kita, membuat kita berpikir dan langsung membuat tanda salib sebagai pengakuan bahwa sudah sepantasnya kita menaruh hidup kita seluruhnya kepada Dia yang tersalib,” tuturnya berapi-rapi.
Beredar Kisah
Salib yang tidak lazim ini diceritakan Carlos memiliki kisahnya tersendiri. Di Andalusia beredar cerita yang semuanya berangkat dari biara St. Ana dan St. Yosef di Kordoba. Semua ini bermula dari sebuah kisah seorang kriminal yang begitu kalut dan menyembunyikan dirinya di dalam kapel tempat salib itu berada. Selama bersembunyi di sana, terjadi sebuah transformasi di dalam hidupnya sebab ia mengalami pengampunan total dari Tuhan. Dari situ, hidupnya perlahan berubah. Sentuhan pengampunan itu membuatnya menjadi manusia baru. Ia yang semula berkubang di dalam lembah kekelaman sekarang seperti terlahir kembali. Perjumpaan dengan salib itulah yang telah membersihkan hidupnya yang penuh lumpur dosa. Setitik embun pengampunan Tuhan yang ia cecap itu seperti tertulis di dalam kitab Yesaya 1:18 yang berbunyi, “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” Kisah kasih sang kriminal dengan Tuhan Maha Pengampun itu pun beredar luas di kalangan masyarakat.
Selain itu, Carlos juga menuturkan ada kisah lain yang tak kalah menariknya. Dikisahkan suatu hari seorang pendosa pergi untuk mengaku dosa kepada imam di bawah salib itu. Seperti biasa, ketika sang pendosa melakukan kejahatan serius, imam itu bertindak dengan tegas. Tidak lama kemudian, orang itu jatuh lagi ke dalam dosa dan setelah mengaku dosa, imam itu pun mengancam demikian, “Ini terakhir kalinya saya memberikan pengampunan kepada Anda.”
Berbulan-bulan berlalu dan orang berdosa itu pergi berlutut di kaki imam di bawah salib dan meminta pengampunan lagi. Namun pada kesempatan itu, imam itu dengan jelas mengatakan: “Tolong jangan bermain-main dengan Tuhan. Saya tidak bisa membiarkan Anda terus berbuat dosa.” Namun anehnya, saat sang imam menolak si pendosa, tiba-tiba terdengar suara. Tangan kanan Yesus terbuka dan tergerak oleh pertobat pendosa itu. Dari atas salib, Yesus berkata, “Akulah yang menumpahkan darah pada orang ini, bukan kamu.”
Sejak saat itu, tangan kanan Yesus tetap di dalam posisi itu, sambil terus menerus mengajak manusia untuk meminta dan menerima pengampunan. Dipercaya juga bahwa setiap detak jantung kita adalah pernyataan kasih Tuhan yang mengatakan betapa Dia mencintai kita. Ia menunggu kita untuk dengan rendah hati dan penuh sesal meminta dan memohon rahmat pengampunan dari-Nya.
Carlos pun menjelaskan relasi kisah imam dengan sang pendosa ini merupakan bagian dari kolaborasi kepercayaan populer bersama doktrin Gereja dengan menempatkan suatu dialog disitu. “Ada narasi terhadap Kristus Pengampun di mana meskipun manusia atau pastor tak sanggup mengampuni, Tuhan akan mengampuni dosamu, Tuhan akan membangkitkanmu kembali dan akan memulihkanmu supaya kamu tetap bisa berjalan dalam terang. Iman yang demikian diteguhkan oleh Yesus yang mengampuni. Makannya ada istilah jangan memakai perkataan sumpah demi Allah atau memainkan nama Allah dengan tidak hormat,” jelasnya.
Total Mengasihi
Kemudian Carlos juga dengan lugas memaparkan apa makna di balik bentuk tubuh Yesus di dalam Salib Pengampunan. Ia menuturkan, salib yang terlihat begitu sederhana itu menampilkan sebuah figur yang kuat. Hal ini tergambar bagaimana seseorang bahkan di saat menghadapi kematian-Nya masih memedulikan orang lain. “Kristus yang kesakitan dan tak berdaya, babak belur akibat penyiksaan itu sedang membelokkan tubuh-Nya, lutut-Nya sampai sebegitunya untuk merangkulmu,” jelas pria yang sudah lama tinggal di Indonesia ini dengan penuh kekaguman. Ia melanjutkan, jika ditinjau dari bentuk teologisnya yang terkandung di dalamnya ialah Kristus sebagai penyambung antara surga dan bumi. “Tangan di atas adalah Surga, tangan yang turun ke bawah adalah untuk kita yang ada di bumi,” ungkapnya.
Selain itu menurut Carlos, arti tubuh yang melengkung itu di Spanyol dikenal dengan istilah “recto verse el torso”. Ini artinya orang yang benar-benar siap sedia demi cinta dan pengampunan bersedia membelokkan tubuhnya untuk mengulurkan tangannya. Ia menjelaskan dengan gamblang, “Demi berusaha merangkul kita yang ada di bawah, Ia bersedia membelokkan tubuh-Nya di mana kaki-Nya sendiri terkunci pada paku agar bisa mengulurkan tangan-Nya. Ini adalah usaha yang superior demi sesuatu yang ilahi. Recto verse el torso, tidak semua orang sanggup melakukannya bagi kami orang Spanyol. Hal ini pasti dilakukan Kristus berakar dari kesederhanaan, kerendahhatian-Nya agar semua orang selamat. Meskipun ia terlihat sebagai manusia lemah di atas kayu salib itu, daya Ilahi pancaran kasih-Nya kepada manusia itulah yang menjadi kekuatan-Nya.”
Maka dari itu, disebut sebagai Salib Pengampunan atau Salib Pertolongan karena salib itu bagi umat, khususnya di Spanyol bagian selatan adalah bentuk pernyataan penyertaan Tuhan tanpa batas. “Seberat apapun perjalanan hidupmu, pertolongan Tuhan, uluran tangan Tuhan selalu ada bagimu. Jangan pernah khawatir, jangan pernah takut, Tuhan selalu ada mengulurkan tangannya untuk kamu,” ungkap Carlos. Beralaskan kepercayaan itu, banyak orang yang merasakan kesusahan hidup atau merasa sangat berdosa datang kepada Salib Pengampunan untuk memohon uluran tangan Sang Penyelamat Dunia yang datang untuk menebus dosa-dosa manusia. Sebuah kerahiman tanpa batas yang ditawarkan oleh Allah Bapa melalui Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus.
Berbeda
Tidak lupa, pria yang berprofesi sebagai pengusaha swasta ini juga menegaskan perbedaan salib di Spanyol yang memiliki figur serupa namun tidak sama dengan yang ada di Kordoba. Salah satunya adalah salib di bagian utara Spanyol yang terdapat di rute peziarahan menuju Santiago de Compostela. Salib yang dikenal sebagai Salib Furelos ini juga menampilkan gambaran yang sama di mana Kristus mengulurkan tangannya. Namun, di dalam Salib Furelos tidak ditemukan “recto verse el torso”. Tubuhnya tetap tegap, hanya tangan kanannya saja yang terulur ke bawah. Dituliskan dalam banyak keterangan, Salib Furelos juga memiliki legenda serupa dengan Salib Kordoba tentang imam yang menolak memberi pengampunan kepada seorang pendosa.
Meskipun demikian, Carlos melihat Salib Furelos lebih sebagai peneguhan hati kepada para peziarah Santiago de Compostela. Dengan melihat salib itu setelah menempuh perjalanan panjang, peziarah dapat menenangkan batin dan fisiknya yang lelah. Menimba kekuatan kembali sambil berbicara dengan Yesus dari muka ke muka. “Maka menurut saya, salib di Utara lebih berbicara tentang semangatnya orang yang mengalami kesusahan dalam perjalanan, dalam proses hidup. Sedangkan salib di selatan yang di Kordoba adalah lebih kepada pengampunan. Yesus yang menunjukkan bahwa ia membumi karena mau dan mampu mengampuni dosa manusia. Itulah yang bisa saya simpulkan sementara, meskipun belum bisa menemukan kaitan di antara keduanya,” ujarnya.
Katekese Visual
Dengan antusias Carlos juga memaparkan tradisi umat di Andalusia saat Pekan Suci berlangsung. Biasanya pada Pekan Suci di Spanyol, khususnya di Andalusia ada sebuah prosesi mengelilingi Kota Kordoba. Saat itu, semua orang yang terkumpul dalam “Hermandad” (persaudaraan) dari masing-masing devosan patung Kristus atau Maria berkumpul dan berarak sambil membawa kekhasan patungnya masing-masing. Umumnya, setiap patung diangkat oleh sekitar 38 hingga 40 orang yang tersembunyi dalam kotak. Festival ini dilakukan dengan sangat meriah serta diiringi oleh musik. Penikmatnya bukan hanya orang Kristen sendiri, tetapi juga umat Muslim yang bermukim di daerah itu. “Setiap hari Jumat Agung, Kristus keliling kota,” tutur Carlos.
Ayah tiga anak ini pun menjelaskan masyarakat Andalusia memiliki patungnya masing-masing. “Meskipun disebut cerita rakyat, tetapi bagi kami ini adalah bagian dari iman kepercayaan populer di mana dahulu kita tidak punya akses kepada tulisan seperti Kitab Suci, maka dengan festival ini kita memiliki sebuah katekese visual,” ungkapnya. Dalam festival ini banyak patung muncul dari figur Kitab Suci sebagai katekese populer untuk masyarakat. Salah satu figur yang muncul adalah Nuestro Padre Jesús del Perdón (Bapa Kami Yesus Sang Pengampun).
Masyarakat Andalusia begitu lekat dengan sosok Kristus Sang Pengampun baik dari salib atau figur patung lainnya sebab jelas Carlos, “Kita lebih bisa mengidentifikasikan diri dengan Kristus yang menderita, Kristus yang jadi orang miskin daripada ketika merayakan natal dengan kesan serba mewah.” Andalusia adalah provinsi yang paling kental dalam kepercayaan dan iman, suatu kepercayaan yang bertumbuh dari akar rumput. Dapat dikatakan, iman umat di sana membumi dalam kehidupan sehari-hari. “Seperti mereka yang mengolah batu bara, walaupun tidak bisa pergi ke Gereja di hari Minggu, mereka yakin diberkati oleh Tuhan dan bisa memberikan manfaat kepada banyak orang dengan mengolah batu bara sebab semua pekerjaan dilakukan dalam nama-Nya. Selain itu, orang muda saat liburan panjang banyak yang pergi membaktikan diri membangun pusat rehabilitasi di dalam negeri maupun ke luar negeri. Itulah cara penghayatan iman masyarakat Andalusia, sesuatu yang sederhana tidak perlu diungkapkan tetapi menjadi tumpuan hidup dengan menyadari segala sesuatu yang dikerjakan untuk dipersembahkan kepada Tuhan.
Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu
Sumber: HIDUP, 08,Tahun ke-75, 21 Februari 2021