MEMAKNAI PERJALANAN PAUS KE TANAH ABRAHAM

1414
Baliho besar menyambut kedatangan Paus Fransiskus di Irak.

HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Fransiskus membuat sejarah baru lagi. Ia menjadi Paus pertama yang mengunjungi Irak. Bulan 3 Februari 2019, Paus Fransiskus menjadi Paus pertama yang mengunjungi Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Di negeri yang terleak di Semenanjung Arabia itu Paus Fransiskus bertemu Ulama Besar Al-Azhar, Kairo, Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyib, yang juga Ketua Dewan Para Tetua Muslim (the Muslim Council of Elders).

Pertemuan tersebut seakan menghidupkan kembali pertemuan antara Santo Fransiskus Asisi dan penguasa Mesir (Suriah dan Palestina), Sultan Malik al-Kamil, pada tahun 1219. Penguasa Mesir ini, adalah sepupu pahlawan dan pejuang besar Islam yakni Saladin (1137/1138-1193),  yang pada 2 Oktober 1187, merebut Jerusalem dari tangan pasukan Frank.

 

Kunjungan bersejarah di UEA tersebut menjadi tonggak sejarah dalam dialog antaragama dan membuka pintu-pintu untuk pembicaraan tentang toleransi yang perlu didengar oleh seluruh dunia. Dalam pertemuan itu kedua pemimpin besar itu menandatangani The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together, Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama. Karena itulah, Dokumen Abu Dhabi ini menjadi peta jalan yang sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama.

Apakah makna kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Irak — Baghdad, Najaf, Ur (kampung halaman Abraham), Mosul dan Qaraqosh atau Baghdeda di wilayah Niniveh, tempat di mana ISIS melakukan genosida terhadap orang Kristen danYazidi — sebuah negeri yang  masih terus berjuang melawan terorisme, konflik sektarian, dan disfungsi politik ini? Apa makna kunjungan Paus ke negeri yang masih diwarnai serangan bom bunuh diri dan roket, didera pandemi Covid-19 (menurut data Worldometer, 4/3/2021, tercatat 713.994 kasus, 13.507 meninggal) ini?

“Saya pastor dari orang-orang yang menderita,” kata Paus memberikan alasan. Namun keprihatinan Paus tidak hanya pada umat Kristen saja. Itulah, sebabnya Paus memilih Irak untuk menjembatani hubungan Sunni dan Syiah di negeri yang terpecah ini. Bila di UEA, Paus Fransiskus bertemu ulama besar Sunni    Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyib, di Irak bertemu ulama besar Syiah Irak yakni Ayatollah Besar Sayyid Ali al-Husayni al-Sistani di Najaf.

Karna itu, meskipun kunjungan Paus ini bukan kunjungan politik seperti para pemimpin negara lain, melainkan kunjungan apostolik atau rasuli, namun nuansa politik sangat melekat kuat.

Membangun Persaudaraan

Slogan kunjungan Paus ke Irak “Kamu semua adalah Saudara” (Mat.23:8) yang  ditulis dalam bahasa Arab, Chaldea, dan Kurdi  pada logo kunjungan ke Irak, menegaskan tujuan dari kunjungan apostolik ini. Gambar pohon kurma dan merpati putih terbang di atas bendera Vatikan dan Republik Irak, dengan membawa cabang zaitun, simbol perdamaian, melengkapi simbolisme logo tersebut.

Makna slogan tersebut terasa begitu penting dan pas mengingat Irak adalah negeri yang “terpecah-belah seturut garis etnis.” Berdasarkan data PBB (4 Maret 2021) jumlah penduduk Irak  40,863,881 juta orang, dan terdiri atas sejumlah etnis serta agama minoritas. Kelompok minoritas itu antara lain Kristen, Kurdi, Turkmens, Assyria, dan Yezidi. Sekitar  95 persen (65 persen di antaranya Muslim Syiah dan sisanya 35 persen Muslim Sunni) penduduknya memeluk agama Islam.

Mayoritas terbesar dari mereka adalah  Syiah Arab, minoritas Arab Sunni, dan minoritas etnis Kurdi yang juga mayoritas Sunni. Kelompok non-Muslim, sebagian besar adalah Kristen Assyria (lima persen). Komunitas Kristen di Irak sudah ada hampir 2.000 tahun dan sebagian besar adalah keturunan Mesopotamia-Assyria pra-Arab. Sebelum perang 2003, diperkirakan jumlah umat Kristen, 1,5 juta atau enam persen penduduk Irak saat itu. Tetapi, setelah perang dan juga sebagai akibat dari sepak-terjang ISIS, jumlah mereka kurang dari 250.000 orang (umat Katolik Roma hanya 0,5 persen; paling banyak Katolik Chaldea, 67,5 persen).

Konflik antara Sunni, Syiah, dan Kurdi memiliki efek negatif pada kohesi politik. Sejarah Irak menunjukkan bahwa identitas sektarian selalu memainkan peran dalam politik. Hal tersebut sangat jelas di zaman Saddam Hussein yang menindas kelompok Syiah. Setelah Saddam jatuh, situasi berbalik, kelompok mayaoritas Syiah sebagai pengendali panggung politik, tetapi kepahitan karena ketegangan sektarian, terus berlanjut.

Dalam konteks ini, kunjungan Paus dengan slogan “Kamu semua adalah Saudara”, diharapkan akan mendorong terciptaknya rekonsiliasi nasional. Memang, terasa sangat naïf bila berharap terlalu tinggi dari kunjungan apostolik Paus, akan segera mendorong terciptanya rekonsiliasi nasional. Namun, sekurang-kurangnya kunjungan Paus diharapkan akan menjadi pendorong, motor, atau penyadaran bagi mereka.

“Anak-anak Abraham”

Pesan “Kamu semua adalah Saudara” dibawa Paus ke Najaf, sekitar 160 km selatan Baghdad, yang merupakan salah satu kota tersuci Syiah, selain Karbalāʾ, misalnya. Di kota inilah Kalifah Keempat, Alī ibn Abī  Tālib—sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW–dimakamkan yakni di Masjid Imam Ali. Di Najaf, Paus akan bertemu dengan ulama besar Syiah Irak yakni Ayatollah Besar Sayyid Ali al-Husayni al-Sistani di Najaf.

Sekalipun pertemuan itu (mungkin) tidak akhiri dengan penandatangan dokumen seperti ketika bertemu dengan Al-Tayyib, di Abu Dhabi. Tetapi, pertemuannya dengan Al-Sistani akan menjadi momen penting untuk membangun hubungan persaudaraan dengan “anggota yang lain dalam rumah Islam.”

Dalam “Dokumen Abu Dhabi” Paus dan Al-Tayyib, berkomitmen antara lain “untuk bekerja keras menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama dalam damai; untuk campur tangan sedini mungkin guna menghentikan pertumpahan darah orang-orang yang tidak bersalah dan mengakhiri perang, konflik, kerusakan lingkungan, serta kemerosotan moral dan budaya yang dialami dunia saat ini.”

Satu hal yang perlu dicatat, kunjungan Paus ke Irak “terinsiprasi” oleh kata-kata Al-Tayyib saat  penandatanganan dokumen “Persaudaraan Manusia”: “Saya ingin berbicara dengan sesama Muslim di Timur,” katanya. “Pesan saya untuk Anda (Paus) adalah untuk merangkul saudara-saudari Kristen Anda. Mereka adalah rekan.”

Maka itu, pertemuan Paus dan Al-Sistani, menjadi sangat penting dan bermakna. Pertemuan itu bisa dipandang sebagai kemajuan penting dan besar dalam hubungan Sunni dan Syiah serta Muslim dan Kristen di Irak.

Seperti yang telah dilakukannya saat mengunjungi negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim—Mesir, Maroko, dan Uni Emirat Arab—di Irak pun Paus menggemakan perlunya pluralisme dan menentang keras gagasan adanya benturan peradaban (clash of civilizations) antara Timur dan Barat  (Foreign Policy, 24 Februari 2022).

Dengan demikian kunjungan dan doanya di Ur, kampung halaman Abraham menjadi simbol agar semua pihak (Yudaisme, Kristen, dan Islam) sebagai “anak-anak Abraham” kembali ke titik awal sebagai saudara.

Karena itu, sekalipun sejak awal banyak pihak yang mengkhawatirkan keselamatannya karena mengunjungi negeri yang sungguh belum aman ditambah pandemi Covid-19, Paus Fransiskus tetap jalan. Ini mengingatkan pada St Fransiskus Asisi yang “keluar batas” mempertaruhkan nyawanya di tengah kecamuk Perang Salib, untuk bertemu dengan Sultan Malik al-Kamil. Tujuannya satu: mengupayakan perdamaian antara umat Kristen dan Islam.

Itulah yang ingin ditegaskan oleh Paus dengan melakukan kunjungan apostolik ke Irak—ke Baghdad, Najaf, Ur, Mosul dan Qaraqosh—untuk mengingatkan bahwa Irak adalah Tanah Abraham yang adalah “Bapak Semua Orang Beriman” yang selama ini dilupakan. Dilupakan oleh banyak pihak karena berbagai kepentingan-kepentingan sempit yang memecahkan belah umat manusia. Kiranya, di sini arti penting kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Irak.

Trias Kuncahyono, Wartawan Senior, Penulis Buku Jerusalem, Konflik, dan Pengadilan Akhir

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini