MIMPI NAHUM

150

HIDUPKATOLIK.COM – “PAPA tidak bisa mempertahankan hubungan kita Ma. Papa mau kita mengakhiri bahtera rumah tangga kita. Persoalan ini bukan hal yang mudah untuk kamu dan anak kita, Nahum,” demikian suara Papa terdengar dari kamarku.

Papa dan Mama mengira saya sudah larut dalam buaian mimpi. Saya masih duduk di kamar menguping pembicaraan Papa Mama di ruang tengah. Mereka sengaja memintaku tidur lebih awal. Walaupun jam dinding sudah menunjukkan pukul 00:30, mataku enggan padam, dia masih menyala menyaingi lampu taman depan kamarku. Tubuhku juga masih enggan bersahabat dengan tempat tidur.

“Apakah Papa tidak memikirkan nasib puteri semata wayang kita, Nahum?” Mama balik mengomentari pernyataan Papa.

Pertanyaan Mama ini menunjukan komitmen Mama untuk tetap mempertahankan hubungan pernikahan mereka. Sebagai seorang puteri semata wayang, saya mengenal dengan baik kepribadian kedua orangtuaku ini. Saya memang sudah mengetahui kalau hubungan Papa dan Mama sedang tidak baik beberapa bulan terakhir. Itu terlihat dari ketidakharmonisan mereka, mereka berubah dan tidak seperti masa awal hidup berumah tangga. Mungkin benar mitos tentang pernikahan yang katanya tidak selalu berakhir harmonis.

Konon sebelum adanya peristiwa memalukan yang tidak ingin saya ceritakan di sini, mereka selalu bermesraan dan romantis, seperti orang yang masih pacaran – selalu bahagia. Bahkan oleh tetangga dan rekan kerja mereka, Papa dan Mama adalah pasangan terromantis. Tapi tidak sekarang!

Usia pernikahan mereka sudah memasuki satu dekade. Sebelum mereka menikah, saya sudah berumur empat tahun. Mereka pacaran sejak mereka masih kuliah tahun pertama di sebuah universitas di kota karang, Kupang. Saya lahir tepat seminggu setelah mereka wisuda, itu artinya saya sudah ada dalam perut Mama saat Mama masih awal semester tujuh perkulihan. Konon kata opa dan oma, saya adalah anak yang hendak digugurkan, karena keluarga Mama tidak merestui Mama menikah dengan Papa. Latar belakang keluarga Papa yang hanyalah petani membuat orangtua Mama enggan merestui hubungan mereka. Berbanding terbalik dengan keluarga Mama, orangtua Papa menerima hubungan mereka. Mereka tidak mau saya digugurkan ‘mereka mendapat berkat berlimpah, lulus bersamaan, diwisuda bersama, dan kamu dilahirkan saat itu, itu adalah berkat ganda dari Sang Kuasa’ kata oma ketika saya mengunjungi rumah oma tiga tahun lalu. Tapi sekarang? Entahlah! Antara berkat dan laknat.

“Aku berniat demikian karena memikirkan nasib Nahum, Dewi. Bagaimana kalau Nahum tahu kita mempunyai selingkuhan masing-masing? Bukankah itu akan membuatnya menderita seumur hidup?” Suara Papa sekali lagi terdengar jelas dari kamarku. Nada suaranya semakin meninggi. Setiap kata yang dilontarkan menggema dalam telingaku dan membuat mataku berkaca-kaca hingga tanpa sadar air mata membasahi pipiku. Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak  tahu tentang hal ini jika besok pagi aku harus bertemu lagi dengan mereka.

Jam di handphoneku sudah menunjukan pukul 02:22 dini hari. Saya berusaha melupakan semuanya dengan menutup rapat mataku. Kata orang mata yang tertutup rapat bisa melenyapkan lara dalam hidup. Saya tidak ingin mendengar lagi keributan mereka. Saya tidak tahu kapan berakhirnya perang kata ini. Mungkin tidak akan berakhir hingga mentari menampakan dirinya besok atau bisa jadi hingga kembali pada senja hari. Entahlah, saya tidak ingin mencampuri urusan Papa Mama. Sebagai anak yang dibesarkan dalam tradisi Indonesia bagian Timur, mencampuri urusan orangtua adalah hal tabu.

***

Pagi biasanya selalu menjadi sesuatu yang bahagia untuk setiap insan di bumi ini. Pagi adalah energi, yang membuat raga semangat beraktifitas, tapi tidak dengan pagiku. Pagiku adalah duka yang tidak pernah saya lupakan sepanjang hidup. Selepas bangun tidur pagi itu, saya beranjak dari kamar menuju kamar tamu. Saya sudah melupakan semua perkara semalam, walaupun ada mimpi buruk menemani tidurku semalam, saya sudah berjanji untuk melupakannya dan berusaha memberikan senyum manis penyemangat pagi untuk mereka seperti awal mula keluarga kecil kami berdiri. Tapi pagi ini segalanya ambyar. Sebenarnya saya bangun pagi ini bukan karena waktunya bagi saya untuk bangun, tapi karena ada wajah asing dalam mimpi saya.

“Kamu seperti burung pungguk Minerva yang selalu datang terlambat. Kau datang di saat hari sudah berganti malam; saat kenyataan sudah selesai. Kau terlambat membentangkan sayapmu. Kau baru membentangkan ketika hari sudah senjakala. Sekarang aku ingin engkau mengetahui bahwa pernikahan bukan hal yang mudah untuk dipertahankan, jika kau dan aku tidak bisa seiya dan sekata membangun komitmen,” demikian kalimat pembuka mimpi saya sepanjang malam selepas pamit dari keributan Papa Mama.

“Pernikahan kita adalah suci dan hanya sekali, tetapi bagaimana jika yang sekali itu tidak bisa kita pertahankan. Aku ingin menyudahi hubungan bukan karena aku menolak esensi dan nilai pernikahan kita yang suci, tapi karena kerapuhanku dalam menjaga janji  kita di hadapan Sang Esa dan kamu. Kita sepakat untuk berakhir bukan karena kita membenci puteri kesayangan kita, tetapi karena kita mencintainya. Kadang perbuatan jahat tidak selalu berarti jahat. Ada pesan baik dari perbuatan yang dianggap jahat ini. Kita berharap puteri kita tidak lagi menapaki jejak keliru yang telah kita lewati. Kalaupun dia mau menapakinya, dia harus melawan dan menolak kesalahan yang kita lakukan,” lanjut pria itu. Tampaknya pria ini memiliki karakter yang sama seperti Papaku, selalu berbicara banyak alias cerewet. Wanita yang wajahnya samar-samar di samping pria itu memilih untuk tetap diam saja selama perang dingin itu.

Pria yang ada dalam mimpiku itu mengakhiri pertengkaran itu dengan menulis sebuah surat yang sangat puitis untuk wanita yang wajahnya asing juga bagi saya itu. Tampaknya pria asing ini suka dengan sastra. Dia menulis sepucuk surat, sebelum dia pergi meninggalkan perempuan yang ada dekatnya itu. Tampaknya mereka memiliki persoalan yang sangat pelik dan rumit. Isi tulisannya demikian: Mencintaimu adalah sebuah kebahagian terbesar dalam hidupku. Karenanya saya mau mencintaimu seperti malam yang dipenuhi oleh diam dan syahdu. Saya tidak mau menjadi bintang di malam hari, karena saya tidak mau menjadi satu di antara jutaan bahkan triliunan. Demikian pun saya tidak ingin engkau menjadi bulanku karena bulan selalu berubah, dari bulan yang cahayanya seperti lampu listrik hingga seperti kunang-kunang dan kadang menghilang. Saya mau kita menjadi angin malam yang berhembus dengan mulus walaupun banyak orang tidak menghiraukan dan melihatnya, tapi ia akan selalu ada kapan dan dimana pun itu. Hingga akhirnya saya juga ingin kita setegar baja yang tidak akan terusik walau dihantam badai. Tapi badai ini lebih keras dari baja, hingga bajapun rubuh dan tidak berdiri kokoh lagi. Selamat tinggal Dewi. Jaga puteri kita.

Usai menulis surat tersebut pria tampan nan menawan tersebut beranjak keluar rumah dan langsung menunggangi motornya. Baru 30 menit berada di atas kuda putihnya itu, pria yang wajahnya samar-samar langsung menabrak sebuah mobil dari belakang. Tubuhnya jatuh dan terguling masuk ke ruas jalan dan tiba-tiba sebuah mobil roda sepuluh berkecepatan tinggi menggilas kepala pria ini. Pada saat itulah saya terjaga dari tidurku dan bergegas cepat keluar dari kamar. Itu adalah awal mengapa saya bangun cepat pagi ini. Biasanya saya akan bangun kalau Mama membangunkan saya. Saya tidak mau mempedulikan mimpi itu. Wajahnya tidak saya kenal. Saya keluar dari kamar dan mendapatkan Mama sedang tertidur di lantai ruang tengah. Mulutnya berbusa dan wajahnya pucat sekali. Saya berusaha membangunkan Mama. Usaha saya nihil. Mama tidak akan bangun lagi. Ada bungkus tablet obat di samping mama, ‘Mama bunuh diri karena berusaha mempertahankan hubungannya dengan papa’ batinku.

“Papa… kemari Pa… Mama keracunan, ayo bangun Pa…!” teriakku sambil mendobrak pintu kamar Papa Mama. Lagi-lagi usaha saya menuaikan hasil yang sia-sia. Papa tidak ada di kamar. ‘Papa sudah lari meninggalkan Mama’ batinku emosional.

Saya bergegas mengambil handphone dan mencari kontak Ibu Hermelinda, dokter yang juga teman Mama. Baru saja saya memegang handphone Mama, muncul panggilan dari nomor baru, dan ini adalah panggilan yang ke 9, setelah 8 kali panggilan tidak terjawab dari nomor yang sama. Saya menyentuh layar untuk memerima panggilan tersebut.

“Halo… apakah ini dengan keluarga Pak Mikael?” demikian suara dari balik telepon.

“Iya Pak, saya Nahum, anaknya. Ada apa ya? Pak apakah saya bisa minta bantuan ya Pak, ibu saya…” belum selesai saya bicara, pemilik suara asing itu melanjutkan pembicaraannya.

“Kamu segera ke rumah sakit sekarang juga ya, Pak Mikael Kecelakaan motor tadi pagi di jalan Anggrek 97, sekarang sedang berada di rumah sakit Flamboyan kamar nomor 1802”. Sambungan telepon langsung diputuskan.

“Ruang 1802, bukankah itu kamar mayat Pak?” tapi pertanyaan terakhir saya tidak dijawab penelepon asing tersebut.

***

Hari ini genap empat tahun pasca peristiwa memilukan itu.  Papa Mikael dan Mama Dewi sudah meninggal. Saya datang ke pemakaman mereka untuk memohon restu. Saya datang bersama seorang calon pendamping hidup. Dalam hening saya larut berdoa. Saya memulai doaku dengan mengenang wajah Papa dan Mama.

“Untuk kalian raga yang tak bisa kusentuh, jemari tangan yang tak bisa saya cekal dan genggam, dan senyum yang tak bisa kunikmati lagi, aku merindukan kalian. Bersabarlah dalam sebuah pertemuan, dan doakan saya dalam sebuah perziarahan. Saya yakin ada rasa cinta yang jarang bertatap antara kalian yang ada di atas sana dengan saya yang masih mengembara di tanah ini. Saya memiliki Credo bahwa Tuhan yang kita sembah akan menghakiri kerinduan kita kelak dalam satu atap; surga abadi. Selamat sore Papa dan Mamaku. Kalian adalah malaikat tanpa sayap yang senantiasa menjaga saya. Saya datang kerumah kalian bersama wajah asing bagi kalian, tapi dia adalah calon suamiku. Kami datang meminta restu kalian. Doakan semoga pernikahan kami berakhir bahagia. Kalau bisa hingga maut yang memisahkan hubunganku dengannya. Papa Mama aku rindu kalian hadir dalam pernikahanku bulan depan. Saya Nahum anak perempuan Papa Mama yang dihibur oleh Tuhan melalui wajah-wajah asing.” Saya membatin sambil melantunkan tiga kali doa Salam Maria dan satu kali doa Aku Percaya.

Oleh Sardy F

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini