HIDUPKATOLIK.COM – Pulau Jawa kembali diserang banjir. Dua minggu lalu Jawa Tengah, hari-hari ini Jabodetabek dan Jawa Barat. Banjir menjadi langganan rutin menimpa pulau yang termasuk terpadat di dunia.
Tiba-tiba, saya teringat dialog grup lawak di TV beberapa waktu lalu.
“Apa penyebab banjir?”.
Pancingan dari salah satu pelawak.
Teman-temannya berebut menjawab.
Ada yang menjawab sampah, penduduk terlalu padat, sungai kotor, dan banyak lainnya yang kelihatannya masuk akal.
Tapi semua disalahkan si pemancing.
“Yang benar, penyebab banjir itu adalah hujan. Coba kalau engga hujan, apa terjadi banjir?”.
Itu jawaban guyonan. Jangan ditanggapi terlalu serius. Terserah anda di posisi mana (atau siapa), jawaban si pemancing justru menyindir jawaban teman-temannya.
“Menyalahkan” hujan sebagai penyebab banjir, persis sama dengan “menyalahkan” Tuhan saat musibah tiba. Itu sikap yang tidak bijaksana. Tuhan tidak suka.
Biasanya, banjir hanya sebentar. Paling lama 1 minggu atau bisa jadi lebih singkat. Tapi bagi yang terdampak, 1 minggu atau 1 jam, cukup membuat menderita. Harta benda hancur, rumah kumuh, kendaraan kena total lost, aroma busuk. Penderitaan yang berat, moril dan materiil, jiwa dan raga. Bagi yang tak terkena banjir, jangan coba-coba maidho (mencela). Pasti salah sasaran.
Untung manusia Indonesia baik-baik. Mudah lupa akan penderitaan. Mudah memaafkan orang yang menzolimi mereka. Sebentar lagi banjir akan kering, dan prasyarat dan syarat agar banjir tidak datang lagi, menguap hilang begitu saja. Semuanya kembali dilanggar. Kesalahan dibiarkan. Tunggu tahun depan. Banjir akan datang kembali dengan perkasa. Penderitaan berulang setiap tahun.
Banjir adalah akibat. Jangan menilai sesuatu yang timbul. Tengoklah apa yang menyebabkan ia muncul. Yang harus dikoreksi adalah perilaku sebelum banjir melanda.
Kalau selama setahun ke belakang kita tak berbuat apa-apa untuk mencegah banjir, jangan salahkan curah hujan yang ekstrem. Hujan adalah berkah. Kemarau panjang, tanpa hujan lebih “menyiksa” manusia. Jadi, syukurilah hujan.
Apalagi, saat ini teknologi sudah begitu canggih untuk memprediksi datangnya hujan dengan segala resikonya.
Kuncinya adalah perilaku manusianya. Masyarakat dan pemimpinnya.
Kalau sungai tak pernah dinormalisasi, tak ada juga naturalisasi, air hujan tak dimasukkan ke tanah, tak juga dibuat gorong-gorong ke laut, sampah tak dikelola, kali dibiarkan dangkal dan nyaris tak dikeruk, waduk kota tak ditambah dan yang lama tak dibersihkan, anggaran pencegahan banjir dihapus dan dipindahkan ke pos lain yang tak jelas manfaatnya atau bahkan ditilep untuk keamanan dan kenyamanan posisi, pemimpin jangan salahkan hujan dan Tuhan bila banjir melanda.
Kalau sampah dibuang seenak perut, bantaran sungai diokupasi menjadi tempat tinggal, selokan di depan rumah tak pernah ditengok, dan buang air bersih atau kotor tanpa pengaturan yang bijaksana, masyarakat jangan ikut-ikut menyalahkan hujan dan Tuhan bila banjir menerjang rumah anda.
Biar fair dan adil, kalau banjir tiba mari kita lihat apa yang dilakukan minimal setahun ke belakang. Apakah sang pemimpin merencanakan pencegahan dan penanggulangan banjir dan mengeksekusinya?. Apakah masyarakat berbudaya bersih dan peduli lingkungan?.
Kalau sudah dan banjir tetap menerjang, mungkin memang saat itu curah hujan begitu lebat dan ekstrem.
Tapi kalau kita tak melakukan apa-apa, terus menyalahkan hujan bila banjir, hati-hati kualat.
Di mata orang Jawa, banjir adalah sesuatu yang “dihormati”. “Banjir” mempunyai sinonim dalam tutur “kromo inggil”.
“Jakarta saweg banjir”, (Jakarta sedang banjir) bukanlah kalimat yang pas diucapkan kepada orang lebih tua.
“Jakarta saweg beno” (Jakarta sedang banjir). Itu lebih pantas.
Bukan bermaksud menyamakan banjir kali ini dengan air bah Nabi Nuh. Tapi merenungkan apa yang tertera dalam Kitab Suci, adalah cara yang tepat untuk melihat diri sendiri ke dalam, tidak hanya keluar.
“Dan sungguh, kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim” (Q S 29:14).
“Berfirmanlah Allah kepada Nuh : Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnakan mereka bersama-sama dengan bumi” (Kitab Kejadian 6:13).
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku inspiratif