Paus Sebut Santo Yosef Kreatif di Saat Krisis. Tiga Hal yang Dipelajari dari Sang Tukang Kayu dari Nazaret

1471
Romo Dr. T. Krispurwana Cahyadi SJ, Teolog Dogmatik

HIDUPKATOLIK.COM – PAUS Fransiskus menemukan bisikan panggilan di Gereja Santo Yosef, Buenos Aires, saat berusia 17 tahun. Dia pun mengawali masa kepemimpinannya sebagai Paus pada hari raya Santo Yosef, 19 Maret 2013. Pada tanggal 8 Desember 2020 dia menetapkan tahun Santo Yosef, yang berlangsung hingga 8 Desember 2021. Bahkan diakuinya dalam surat penetapan tahun Santo Yosef tersebut, Patris Corde, bahwa selama 40 tahun dia selalu mendoakan doa   kepada Santo Yosef dari abad ke-19, setelah Ibadat Pagi.  Bahkan dia memasang patung Santo Yosef yang sedang tidur di kamar kerjanya, yang menjadi tempatnya berpaling, mengadu dan memohon pertolongan saat menghadapi persoalan atau mempertimbangkan suatu keputusan.

Beberapa kali Paus mengatakan bahwa dia sangat mencintai Santo Yosef. Baginya dia adalah seorang yang sangat kuat dan diam. Kesan ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana Injil mengisahkan tentang Yosef, ayah Yesus di dunia ini. Dalam menjalani perutusan tersebut, Yosef sangat teguh, bertahan di tengah badai dan kesulitan, dan semua itu dijalankan dengan diam, rela tersembunyi serta tidak mau menonjol. Bisa dikatakan ada tiga hal dipelajarinya dari Santo Yosef: bagaimana berjalan di lorong gelap dan ketidakpastian, bagaimana mendengarkan kehendak Allah serta bagaimana menapaki perjalanan kehidupan dengan diam. Yosef bagi Paus Fransiskus adalah teladan di saat krisis, menemani perjalanan menapaki krisis dalam dunia kehidupan, juga di saat pandemi ini.

Pelindung Perjalanan

Dalam homili mengawali masa kepausannya, tepat Hari Raya St. Yosef, 19 Maret 2013, Paus Fransiskus mengangkat peran Yosef sebagai pelindung dan penjaga Yesus dan Maria, demikianlah dia kini masih terus melindungi dan menjaga Gereja-Nya. Kepada Santo Yosef pulalah lalu dia menyerahkan perlindungan serta penyertaan perjalanan Gereja di masa penggembalaannya. Dia melakukan itu dengan bijaksana, sederhana dan diam. Di tengah segala kesulitan dan tantangan yang ada, Yosef tidak pernah kehilangan ketiga ciri itu. Hal itu menurutnya mungkin karena Yosef selalu sanggup mendengarkan kehendak Allah dan membiarkan diri dituntun oleh Roh-Nya, sehingga dia memiliki kepekaan dalam hidup.

Baginya melindungi dan menjaga berarti mendidik, menemani. Pandangan Paus dari audiensi umum 19 Maret 2014 ini perlu ditempatkan dalam pernyataannya dalam Evangelii Gaudium, proses lebih penting daripada hasil. Menurutnya, proses tersebut meliputi tiga hal: usia, kebijaksanaan dan rahmat, sebagaimana dituliskan dalam Injil tentang Yesus, “..bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada pada-Nya” (Luk. 2:40.52). Proses tersebut ditapaki dalam hidup sehari-hari, dalam ketersembunyian, sambil belajar bekerja dan menekuni sabda serta tradisi agama. Yosef menemani Yesus bertumbuh dan belajar, sebab dia seakan bagai cermin atau bayangan Bapa di Surga.

Itulah sebabnya Santo Yosef bisa bermimpi, mimpi akan kehendak Allah. Demikian dikatakan Paus Fransiskus di Manila, 16 Januari 2015 dan homili di Santa Marta, 20 Maret 2017.   Yosef adalah orang yang praktis, walaupun demikian tetap menjaga diri sebagai seorang yang tetap terbuka pada mimpi. Paus menerangkan kemudian dalam homili tanggal 18 Desember 2018. Dia bermimpi namun bukan tukang mimpi, sebab mimpi baginya adalah saat dan tempat di mana Allah menyatakan rahasia kehendak-Nya. Mimpi yang diterimanya bukan sesuatu yang abstrak, melainkan konkret. Maka betapapun kepalanya terarah ke Surga lewat mimpinya, Yosef tetap menjejakkan kakinya di tanah. Kaki itu dilangkahkannya ke masa depan, tugas perutusan untuk ikut serta dalam karya keselamatan Allah. Itulah mimpi yang perlu kita, dan Gereja, mohonkan, agar Gereja tidak kehilangan untuk bermimpi seperti itu.

Menapaki perjalanan hidup, bercermin pada Santo Yosef, berarti menapaki perjalanan iman. Yosef adalah orang yang tulus hati, seorang yang sungguh beriman. Iman dan ketulusan hati terpadu dalam dirinya, demikian Paus dalam homilinya tanggal 19 Maret 2020. Dia karenanya adalah pribadi yang tidak saja mampu menjadi seorang pribadi utuh, apa adanya, tanpa menonjolkan diri, karena dia selalu sanggup berkomunikasi dengan Allah, masuk ke dalam misteri-Nya. Mimpi yang dialaminya adalah ruang dialog dengan misteri Allah. Dengan itu dia selalu menemukan misteri penjelmaan Putera di tengah kenyataan hidup biasa sehari-hari, di tengah pekerjaan nyata sebagai ayah dan kepala keluarga. Tidak mengherankanlah kalau Paus lalu mengutip ungkapan dari tradisi, “Ite, ad Joseph”, kalau kita mau belajar beriman, belajar menapaki perjalanan iman dalam kehidupan, bercermin atau datanglah kepada Santo Yosef.

Keberanian kreatif

Paus Fransiskus memiliki istilah menarik tentang Santo Yosef: keberanian kreatif. Yosef menerima segala situasi yang ada dan dihadapinya. Dalam penerimaan itu, dia menemukan langkah dan jalan bagaimana bersikap dan bertindak di tengah situasi yang seringkali serba mendadak dan tidak terduga, tidak bisa dipersiapkan. Dia menghadapi ini seperti saat tidak mendapatkan penginapan di Bethlehem atau saat harus mengungsi ke Mesir. Justru dengan menerima, Yosef menemukan kekuatan dalam dirinya, dan memberdayakan diri dalam keberanian untuk secara kreatif bertindak dan bersikap.

Hal ini muncul terutama dari cara kita menghadapi kesulitan-kesulitan. Dalam menghadapi kesulitan, kita dapat entah menyerah dan pergi, atau entah bagaimana terlibat dengannya. Seringkali, kesulitan-kesulitan mendatangkan sumber daya yang bahkan   tidak membayangkan kalau kita memilikinya.  Di dalam semua itu kita akan bagaimana melihat tangan Allah yang, dalam Roh-Nya, memanggil Yosef untuk mengikuti-Nya secara lebih dekat, menerjemahkan panggilan perutusannya dalam cara hidup tertentu, membaca tanda-tanda zaman situasi dengan mata iman dan menanggapinya secara kreatif.  Dia tidak menunggu sempurna dan beres persoalannya, baru memberikan diri, namun keluar dari diri sendiri serta memberikan diri dalam pelayanan, itulah yang diharapkan, sebab pemberian diri itulah yang akan menumbuhkan keberanian menghadapi segala tantangan dan persoalan yang ada, menemukan daya-daya kreatif dalam mengatasi tantangan.

Menurut Paus Fransiskus, kreativitas merupakan sesuatu yang penting dalam hidup seseorang.  Menjadi kreatif, baginya merupakan bagian tak terelakkan dari identitas seorang beriman. Kreativitas tersebut adalah suatu wujud tapak langkah pencarian. Menjadi kreatif berarti menapaki hidup sebagai perjalanan.

Bagi Fransiskus, berada dalam perjalanan merupakan suatu seni, sebab kalau kita berjalan tergesa, akan mudah lelah dan akibatnya tidak akan sampai pada tujuan; sedangkan kalau tidak segera melangkah maju, maka hilanglah kesempatan meraih tujuan. Perjalanan sepenuhnya adalah suatu seni memandang cakrawala pandang ke depan, memikirkan kemana kita akan pergi, betapapun dalam perjalanan tersebut ada kegelisahan, rasa cemas ataupun ketidakpastian, walaupun demikian langkah kaki tetap harus diayunkan. Maka, dalam perjalanan kadang ada hari-hari gelap, bahkan juga kegagalan, ataupun jatuh. Paus mengingatkan, jangan takut dengan kegagalan. Yang penting dalam seni perjalanan bukanlah soal jatuh atau gagal, namun bertahan dan melanjutkan perjalanan. Maka perlu ada keberanian untuk bangkit dan meneruskan langkah.    Tidak mengherankanlah kalau dalam Patris Corde, Fransiskus menyinggung soal kesanggupan menerima kerapuhan, mengakui keterbatasan, dan dari situ diajak menemukan cara Allah bekerja, pun lewat daya-daya kreatif Santo Yosef. Layaklah kalau lalu dikatakan Yosef adalah ‘mukjizat’ dari Allah kepada   semua umat manusia.

Secara khusus Paus menempatkan peran perlindungan Santo Yosef, terlebih di tahun Santo Yosef ini, dalam konteks pandemi yang sedang kita hadapi bersama saat ini. Dalam sejarah Gereja, dari berbagai dokumennya sejak Paus Pius IX dalam Quemadmodum Deus, 8 Desember 1970, yang menetapkan Santo Yosef sebagai pelindung Gereja, selain Bunda Maria, hingga Paus Fransiskus, senantiasa Santo Yosef diacu dan ditempatkan saat Gereja dan umat manusia sedang menghadapi situasi krisis, kesulitan dan tantangan. Malahan Paus Yohanes XXIII menempatkannya sebagai pelindung konsili Vatikan II. Yosef adalah orang kudus terbesar kedua dalam Gereja setelah Maria, yang menjaga dan melindungi Gereja.

Santo Yosef adalah pelindung, acuan, teladan dan bahkan bapa bagi kita semua saat menghadapi situasi krisis, di tengah segala kesulitan dan pergulatan kehidupan. Berani bergulat dan bertekun di tengah situasi krisis dalam keberanian bertindak pun secara diam dan tersembunyi, itulah yang seakan hendak diajakkan Paus.  Dia tidak hanya menyertai, namun pula menjaga dan melindungi kita semua di tengah situasi kita saat ini, dan menemani kita untuk bisa membangun langit baru dan bumi baru paska pandemi.

Romo Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ, Teolog Dogmatik, tinggal di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah

 

 

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini